NovelToon NovelToon
PONDOK MERTUA

PONDOK MERTUA

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Fantasi Wanita / Pembaca Pikiran
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Rahmadaniah

Nisa anak sulung dari lima bersaudara, dipersunting oleh pria bernama Akil, Nisa berharap pernikahannya membawa perubahan pada keluarganya, Setelah sah sebagai suami istri, Akil memboyong Istrinya (Nisa) kerumah orangtuanya. Di pondok Mertua Nisa banyak menghadapi problem rumah tangga, kesabarannya runtuh setelah 11 tahun berumah tangga, bahkan Ia merasa rumah tangganya belum terbentuk. Hingga suatu ketika Nisa memutuskan untuk mengalah dan kembali ke rumah orangtuanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahmadaniah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 15

Sesampainya di rumah, Nisa dan Akil baru saja masuk ketika mereka mendengar suara pintu dibuka dengan keras dari luar. Ibu mertua, diikuti Sahrah dan Fatir, masuk dengan wajah lelah, tetapi kemarahan masih terlihat jelas di raut wajah ibu mertua Nisa.

Tanpa menunggu, ibu mertua langsung melontarkan keluhannya. “Lihat, Akil! Istrimu sudah membuat kita malu di depan keluarga besar tadi! Sampai di rumah orang, malah bikin keributan, pecahin piring segala! Apa nggak bisa dia jaga tingkah sedikit saja?”

Nisa menunduk, menahan perasaannya yang semakin terluka. Dia berusaha menatap lantai, mendengarkan omelan ibu mertuanya yang terus menyalahkannya tanpa jeda.

Sahrah menambahkan dengan suara lirih, “Nisa memang ceroboh, Bu. Sebaiknya lain kali hati-hati supaya kejadian seperti tadi tidak terulang.”

Akil menatap istrinya, melihat bagaimana wajah Nisa semakin pucat, seolah semakin kecil di hadapan cemoohan itu. Dia membuka mulut, mencoba untuk membela, tetapi sebelum ia bisa berbicara, ibunya menyambung lagi dengan nada tinggi.

“Nisa, kalau nggak bisa jaga sikap, paling tidak jangan merepotkan kami di depan orang-orang. Lihat ini! Kamu pulang tanpa rasa bersalah, seolah tidak ada apa-apa!”

Nisa menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata. Ia tak ingin menimbulkan masalah lebih besar, tetapi rasa sakit di hatinya semakin menumpuk. Merasa dirinya semakin tak diterima, Nisa akhirnya menatap Akil, menyampaikan permohonan yang selama ini hanya ia simpan dalam hati.

“Mas,” suaranya bergetar pelan, “tolong… bawa aku pergi dari sini. Aku tidak bisa tinggal di sini lagi kalau setiap hari harus seperti ini.”

Akil terdiam, menatap Nisa yang kini tak bisa menyembunyikan kepedihannya. Dia merasa hati istrinya sudah terluka begitu dalam. Rasa tanggung jawab dan cintanya mendorongnya untuk membuat keputusan besar.

Akil menatap ibunya dengan tegas. “Bu, cukup. Nisa sudah berusaha sebaik mungkin, dan aku tidak akan membiarkan dia terus disalahkan seperti ini.”

Ibu mertuanya tertegun, seolah tak percaya mendengar kata-kata Akil. “Akil, kamu lebih memilih membela istrimu daripada keluargamu sendiri? Setelah semua yang kami lakukan untukmu?”

Akil menghela napas, menenangkan dirinya. “Ibu, saya menghargai apa yang keluarga lakukan untuk saya, tapi Nisa juga bagian dari keluarga saya sekarang. Dia berhak diperlakukan dengan baik di rumah ini.”

Melihat keberanian Akil membelanya, Nisa merasakan kehangatan yang sedikit meredakan sakit hatinya. Meskipun suasana semakin tegang, Akil tetap berdiri teguh di sampingnya. Nisa menyandarkan diri ke bahu Akil, berharap keputusannya untuk berbicara jujur ini tidak sia-sia.

Tanpa banyak bicara lagi, Akil menggenggam tangan Nisa dan memutuskan untuk membawanya ke kamarnya, memberi jarak dari tekanan yang mereka rasakan di ruang keluarga. Di sana, Nisa mulai merasa sedikit tenang, tetapi hatinya masih berat. Ia tahu, setelah ini mungkin akan ada konsekuensi yang harus mereka hadapi bersama.

---

Malam itu, Nisa berbaring di samping Akil yang sudah tertidur lelap. Namun, ia tak mampu memejamkan matanya. Bayangan kejadian di hajatan tadi dan omelan ibu mertuanya masih membekas, membuat hatinya sesak. Air mata yang sejak tadi ditahannya kini mengalir pelan. Suara isakannya yang tertahan akhirnya membangunkan Akil.

“Sayang?” Akil bergumam setengah sadar, matanya terbuka perlahan, melihat Nisa yang masih terisak di sampingnya. “Kamu belum tidur?”

Nisa menggeleng pelan, berusaha menghapus air matanya dengan cepat, tetapi Akil sudah melihatnya. “Maaf, Mas… Aku tidak bermaksud membangunkanmu,” bisik Nisa, suaranya bergetar.

Akil duduk, mengusap lembut bahu Nisa, lalu menatap wajah istrinya yang penuh dengan kesedihan. “Ada apa, sayang? Kenapa kamu masih gelisah?”

Nisa terdiam sejenak, mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan perasaannya yang selama ini ia pendam. Akhirnya, ia menatap Akil dengan mata yang penuh air mata. “Akil… aku nggak sanggup lagi tinggal di rumah ini,” ujarnya dengan suara pelan tapi penuh emosi.

Akil menatapnya dengan cemas, berusaha memahami apa yang membuat hati istrinya begitu terluka. “Maksudmu apa, Nisa?”

Nisa menghela napas dalam, lalu berkata, “Selama ini, aku merasa seperti bukan bagian dari rumah ini. Apapun yang kulakukan, rasanya selalu salah di mata Ibu. Aku selalu merasa terancam dan tidak dihargai di sini. Dan tadi… kejadian di hajatan itu membuatku semakin yakin… bahwa aku tidak bisa tinggal di sini lebih lama lagi.”

Nisa menggigit bibir, berusaha menahan isakannya. “Aku ingin kita pindah, Mas. Aku ingin kita punya rumah sendiri, di mana aku bisa mengurusmu dengan leluasa, tanpa ada yang selalu mengawasi dan menghakimi setiap gerak-gerikku.”

Akil terdiam, mendengarkan dengan seksama setiap kata yang keluar dari mulut Nisa. Ia tahu, ini bukanlah keputusan yang mudah bagi istrinya, dan permintaan ini pasti lahir dari rasa sakit yang sangat dalam.

“Sayang, aku tahu tinggal di sini membuatmu tertekan… Aku minta maaf karena kamu harus merasakan ini. Aku seharusnya lebih peka terhadap perasaanmu,” kata Akil, menghela napas berat.

Nisa menunduk, jari-jarinya saling meremas, seolah mencari kekuatan. “Mas, aku hanya ingin merasa nyaman dan dihargai. Aku ingin menjadi istrimu yang baik, tapi aku butuh tempat di mana aku bisa merasa aman. Tolong, pikirkan permintaanku ini.”

Akil terdiam beberapa saat, menatap wajah istrinya yang penuh harap dan kesedihan. Ia menyadari bahwa Nisa telah berusaha sebaik mungkin menyesuaikan diri di rumah ini, namun tuntutan dan tekanan dari ibunya telah melewati batas yang bisa diterima oleh hati Nisa.

Dengan lembut, Akil meraih tangan Nisa, menggenggamnya erat. “Baik, Sayang. Aku akan pikirkan dengan serius soal ini. Kamu berhak untuk merasa tenang di rumah kita. Kalau ini bisa membuatmu bahagia, aku akan berusaha mencari cara agar kita bisa memiliki rumah sendiri.”

Nisa menatap Akil, matanya berbinar dengan harapan yang baru. Akil mengusap wajahnya, memberikan senyuman kecil yang menenangkan. “Aku janji, sayang. Aku akan selalu ada untukmu. Kita akan mencari solusi bersama.”

Untuk pertama kalinya malam itu, Nisa merasa lega, seolah beban yang selama ini menghimpitnya sedikit terangkat. Di tengah rasa lelah dan sakit hatinya, ia tahu bahwa Akil ada di sisinya, berjanji untuk memperjuangkan kebahagiaan mereka. Dengan perasaan sedikit lebih tenang, Nisa akhirnya bisa memejamkan mata di pelukan Akil, berharap hari-hari ke depan akan menjadi lebih baik.

___

Pagi itu, Nisa berada di dapur, penuh semangat menyiapkan bekal untuk Akil. Ia berharap bisa membuatkan sesuatu yang spesial agar suaminya bisa menikmati makan siang dengan baik di tempat kerja. Namun, ia tak bisa menghindari pandangan tajam ibu mertuanya, yang sejak tadi mengamati setiap gerak-geriknya.

"Masak seperti itu, Nisa?" ujar ibu mertua tiba-tiba, suaranya terdengar tegas. "Nggak usah terlalu banyak bumbu, cukup kasih rempah sama sedikit penyedap saja. Masakan jadi lebih sehat dan murah."

Nisa terdiam sejenak, mencoba menerima kritik itu dengan sabar. Namun, komentar demi komentar terus datang, mulai dari cara Nisa menumis, menakar bumbu, hingga mengemas bekal untuk Akil.

"Begini ya, kalau bawa bekal buat Akil, jangan ditata seperti itu," lanjut ibu mertuanya sambil menggerakkan tangan ke arah bekal. "Kalau makanan berantakan, nanti Akil jadi nggak semangat makannya."

Nisa merasa risih, perasaannya perlahan tersentuh oleh nada kritik yang terus-menerus. Tanpa berkata banyak, ia akhirnya mundur, meninggalkan dapur dengan wajah menahan rasa kecewa dan sedikit terluka.

Dari sudut ruangan, Sahrah, kakak ipar Nisa, melihat itu dan hanya tertawa kecil, seakan menganggap kejadian itu hal biasa yang tak perlu diambil hati. Namun, di dekatnya, Fatir, adik ipar bungsu Nisa, memperhatikan dengan tatapan iba, seakan memahami betapa sulitnya situasi yang tengah Nisa hadapi.

1
Lala lala
bukan halo nisa...baiknya saat nelp..assalamualaikum nisa, apa kabar..
Rahmadaniah: terimakasih kasih saran nya 🫰🏻🙏🏻
total 1 replies
Rahmadaniah
makasih kak🙏🏾.
Rahmadaniah
mkasih kak 🙏🏾.
Rahmadaniah
makasih kak udh mampir baca
Amalia Mirfada
merasakan getaran emosi dalam setiap kata.
Rara Makulua
Terbaik! Worth to read!
Mưa buồn
Karya yang bagus buat dibaca berulang-ulang, makasih author! 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!