Ketika cinta hadir di antara dua hati yang berbeda keyakinan, ia mengajarkan kita untuk saling memahami, bukan memaksakan. Cinta sejati bukan tentang menyeragamkan, tetapi tentang saling merangkul perbedaan. Jika cinta itu tulus, ia akan menemukan caranya sendiri, meski keyakinan kita tak selalu sejalan. Pada akhirnya, cinta mengajarkan bahwa kasih sayang dan pengertian lebih kuat daripada perbedaan yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjodohan
Di ruang tamu yang terang, Arman duduk berhadapan dengan istrinya, Rini. Wajahnya serius, sementara Rini terlihat cemas dan kesal. Mereka baru saja selesai makan malam, tapi Arman memutuskan bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk membahas sesuatu yang sudah lama mengganggunya.
"Aku sudah berpikir lama tentang ini, Rini," kata Arman dengan nada tegas. "Tama harus dijodohkan dengan putri temanku. Itu satu-satunya cara."
Rini mendelik kesal. "Arman, kamu tidak bisa begitu saja memutuskan hidup anak kita tanpa mempertimbangkan perasaannya. Tama bukan anak kecil lagi."
"Aku tahu dia bukan anak kecil," jawab Arman, berusaha tetap tenang. "Tapi Tama sudah terlalu lama terlibat dengan Freya. Hubungan itu tidak membawa apa-apa selain masalah. Kita harus memikirkan masa depan Tama, dan ini satu-satunya cara untuk membuatnya menjauh dari Freya."
Rini terdiam sejenak, menatap suaminya dengan penuh kekecewaan. "Jadi kamu pikir dengan menjodohkannya, masalah ini selesai? Tama mencintai Freya, Arman. Kamu pikir dia akan menerima dijodohkan begitu saja?"
Arman mendesah berat. "Aku tidak tahu apakah Tama akan menerimanya langsung, tapi aku harus mencoba. Tama sudah kehilangan fokus, performa kerjanya menurun, dan semuanya karena hubungannya dengan Freya. Aku tahu kamu peduli pada Tama, Rini, tapi aku tidak bisa duduk diam melihat anak kita menghancurkan masa depannya hanya karena perasaan sesaat."
Rini mengerutkan kening, tapi amarahnya mulai mereda. "Tapi Freya, Arman … apa benar Freya yang menjadi masalah? Atau kamu hanya tidak menyukainya sejak awal? Kita bahkan belum bertemu dengan gadis itu."
Arman menatap istrinya dalam-dalam, tahu bahwa pertanyaan itu akan muncul. "Freya bukan perempuan yang buruk, aku tahu itu. Tapi mereka terlalu berbeda. Tama tidak bisa bertumbuh dalam hubungan ini, Rini. Temanku punya anak perempuan yang cocok dengan Tama, seorang wanita yang kuat dan bisa mendukungnya dalam karir. Ini bukan soal aku tidak suka Freya, ini soal apa yang terbaik untuk Tama."
Rini menghela napas, berusaha menenangkan pikirannya. Ia tak bisa sepenuhnya menyalahkan Arman, tapi ia juga tidak ingin memaksa Tama ke dalam sesuatu yang tidak dia inginkan. "Aku hanya tidak ingin Tama merasa terjebak dalam keputusan yang kita buat untuknya. Tapi kalau kamu yakin ini bisa membuatnya bahagia dan maju, mungkin kita perlu bicara lebih lanjut dengan Tama."
Arman tersenyum tipis, merasa sedikit lega bahwa Rini mulai melihat dari sudut pandangnya. "Aku akan mencoba bicara dengan Tama. Aku hanya ingin dia melihat bahwa ada pilihan lain selain Freya."
Rini mengangguk perlahan, meskipun di dalam hatinya masih ada keraguan. Ia tahu cinta tak bisa dipaksakan, tapi ia juga ingin yang terbaik untuk anaknya.
***
Arman dan Rini tiba di rumah temannya, Pak Rahmat, dengan hati-hati menyusun rencana dalam pikiran mereka. Mereka disambut dengan hangat oleh Rahmat dan istrinya, Bu Sri, di ruang tamu yang nyaman. Kunjungan ini, meskipun bersahabat di luar, sebenarnya memiliki tujuan besar. Arman datang untuk meminang putri Rahmat tanpa sepengetahuan Tama.
Setelah berbasa-basi sejenak, Rahmat mulai merasakan bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kunjungan biasa.
"Jadi, Arman, sepertinya kamu membawa sesuatu yang penting kali ini," kata Rahmat, dengan senyuman penuh arti. "Apa yang bisa kami bantu?"
Arman menarik napas panjang, merasa sedikit tegang meskipun sudah lama memikirkan hal ini. Dia melirik Rini yang duduk di sebelahnya. “Benar, Rahmat. Sebenarnya, aku dan Rini datang untuk membicarakan hal serius. Ini soal Tama, anak kami.”
Rahmat mengangguk, penasaran. "Apa sesuatu terjadi pada putra sulungmu itu?"
Arman ragu sejenak sebelum melanjutkan. "Kami ingin menjodohkan Tama dengan putri kalian, Nisa. Kami pikir ini akan menjadi langkah yang baik untuk masa depan kedua keluarga kita."
Rini memperhatikan ekspresi Rahmat dan istrinya, sedikit gugup karena tahu bahwa mereka melakukan ini tanpa persetujuan atau pengetahuan Tama. Ia khawatir jika niat ini dianggap terlalu mendadak atau bahkan memaksa.
Bu Sri tersenyum lembut. "Oh, Nisa tentu akan merasa terhormat. Tapi, apakah Tama tahu tentang hal ini? Apa dia setuju?"
Arman menegakkan tubuhnya, berusaha terlihat tegas. "Belum. Kami belum memberitahunya. Tapi kami yakin ini adalah yang terbaik untuk Tama. Hubungan yang dia jalani sekarang tidak membawa dampak positif, dan kami percaya Nisa bisa menjadi pasangan yang tepat untuknya. Kalian tahu sendiri, Nisa perempuan yang pintar, sopan, dan punya nilai-nilai yang baik. Kami yakin dia bisa membantu Tama kembali fokus."
Rahmat tampak berpikir, sementara Bu Sri terlihat sedikit ragu. "Aku paham niat kalian, Arman. Tapi, bagaimana jika Tama menolak? Bagaimana jika dia tidak setuju dengan keputusan ini?"
Arman tersenyum, mencoba meredakan kekhawatiran itu. "Aku yakin setelah Tama mengenal Nisa lebih baik, dia akan melihat betapa cocoknya mereka. Ini bukan tentang memaksa, tapi memberikan kesempatan kepada mereka untuk saling mengenal. Aku yakin Tama akan mengerti bahwa ini yang terbaik."
Rini menunduk sedikit, merasa tak enak karena mereka menjalankan rencana ini di belakang punggung anak mereka. Tapi ia tetap diam, percaya bahwa suaminya tahu apa yang terbaik untuk keluarga mereka.
Rahmat akhirnya tersenyum, lalu menepuk bahu Arman. "Kalau begitu, kami terima maksud baik kalian. Nisa tentu akan diberi tahu, dan kita bisa rencanakan pertemuan selanjutnya. Tapi aku harap kalian juga bisa memastikan bahwa ini keputusan yang datang dari Tama sendiri, bukan paksaan."
Arman mengangguk. "Tentu. Kami akan bicara dengan Tama secepatnya. Terima kasih atas pengertiannya."
Setelah kunjungan ke rumah Pak Rahmat, Arman dan Rini akhirnya tiba kembali di rumah mereka. Suasana terasa sedikit tegang, seolah ada hal besar yang menggantung di udara. Arman masuk ke ruang tamu dan duduk di sofa dengan wajah serius, sementara Rini mengikuti di belakang, masih memikirkan langkah yang baru saja mereka ambil.
Arman melihat ke arah istrinya. "Rini, aku pikir ini saat yang tepat untuk bicara dengan Tama. Kita tidak bisa menunda lebih lama lagi," katanya dengan nada tegas.
Rini menghela napas pelan, matanya dipenuhi kecemasan. "Kamu yakin ini saat yang tepat, Arman? Tama mungkin akan terkejut, dan aku khawatir dia akan marah jika tahu kita sudah bertindak tanpa memberitahunya."
Arman mengangguk perlahan. "Aku tahu ini tidak mudah, tapi semakin lama kita menunda, semakin sulit untuk menghadapinya. Tama harus tahu bahwa ini untuk kebaikannya."
Rini tak bisa membantah. Dia tahu bahwa Arman sudah bulat dengan keputusannya, meskipun ada keraguan dalam hatinya. Dengan berat hati, Rini berjalan menuju dapur, tempat ponselnya berada, lalu menelepon Tama. Suara Tama terdengar di seberang, tenang namun sedikit heran.
"Ibu? Ada apa? Tumben menelepon malam-malam begini," tanya Tama.
Rini berusaha terdengar normal, meskipun jantungnya berdebar. "Tama, bisa kamu pulang sebentar? Ada sesuatu yang penting yang perlu dibicarakan dengan ayahmu. Ini soal masa depanmu."
Di seberang telepon, Tama terdiam sejenak, mungkin menyadari bahwa ini bukan panggilan biasa. "Baik, Bu. Aku akan pulang sebentar lagi."
Setelah menutup telepon, Rini kembali ke ruang tamu dan melihat Arman yang masih duduk dengan ekspresi serius. "Tama dalam perjalanan. Aku harap kita bisa membicarakan ini dengan hati-hati," katanya, duduk di samping suaminya.
Arman menggenggam tangan istrinya, mencoba memberikan keyakinan. "Aku tahu ini berat, tapi kita melakukannya demi kebaikannya. Dia akan mengerti pada akhirnya."
Mereka berdua duduk dalam keheningan, menunggu kedatangan Tama. Rini tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya, sementara Arman berusaha mempersiapkan dirinya untuk percakapan yang akan menentukan langkah besar dalam hidup anak mereka.
To be continued.. like.. like ToT