Mika, seorang wanita yang dulunya gemuk dan tidak percaya diri, sering menjadi korban bullying oleh geng wanita populer di SMA. Dihina karena penampilannya, ia pernah dipermalukan di depan seluruh sekolah, terutama oleh Dara, ketua geng yang kini telah menikah dengan pria idaman Mika, Antony. Setelah melakukan transformasi fisik yang dramatis, Mika kembali ke kota asalnya sebagai sosok baru, sukses dan penuh percaya diri, tapi di dalam dirinya, dendam lama masih membara. Kini Mika bertekad untuk menghancurkan hidup Dara, gengnya, dan merebut kembali Antony, cinta masa lalunya, dengan cara yang jauh lebih kejam dan cerdas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepergian yang membekas
“Kontestan Lomba Makan Terbanyak: Mika vs Kuda Nil, Siapa Menang?”
Di sudut lain papan, terdapat sketsa tubuh gemuk yang menyerupai Mika dengan tambahan tanduk dan ekor babi, dilengkapi tulisan kecil: “Hati-hati, dia bisa melahapmu dalam sekali gigit!”
Tawa Dara, Nisa, dan Farah pecah dari arah belakang kelas. Mereka berdiri di ambang pintu, puas melihat ekspresi Mika yang terkejut dan terluka.
“Gimana, Mika? Kita pikir sekolah ini butuh sedikit hiburan pagi-pagi,” kata Dara dengan nada penuh kemenangan.
“Iya, biar kamu terkenal, Mika! Kita bantu kamu jadi pusat perhatian,” tambah Nisa sambil cekikikan, sementara Farah memotret reaksi Mika dengan ponselnya.
Seluruh tubuh Mika terasa panas. Ia ingin berteriak, ingin melarikan diri, tapi kedua kakinya seolah menancap di lantai. Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan, dan tawa Dara serta teman-temannya semakin menusuk telinga.
Saat itu, dari sudut ruangan, seorang siswa laki-laki memperhatikan kejadian tersebut dengan ekspresi ragu. Namanya Raka, seorang cowok culun dengan kacamata tebal dan rambut berantakan. Meski wajahnya cukup tampan, penampilannya yang lusuh membuatnya sering diabaikan. Raka juga menjadi korban bullying, namun ia tidak pernah melawan. Ia hanya menjalani hari-harinya dengan diam dan pasrah.
Dari tempatnya berdiri, Raka melihat Mika yang dihina habis-habisan. Ia tahu betul rasanya menjadi bahan olokan dan merasa tak berdaya. Hanya saja, kali ini, ia merasa sesuatu dalam dirinya mendesak untuk melakukan sesuatu.
Namun, ketakutannya lebih kuat. Ia hanya menggenggam tali tasnya erat-erat, menunduk, dan berpura-pura tidak melihat apa-apa.
Mika menangkap tatapan Raka sekilas. Seketika, ia merasa sendirian lebih dari sebelumnya. “Bahkan yang terhina seperti dia pun nggak akan menolongku,” pikir Mika pahit.
Ia menggigit bibirnya hingga berdarah, lalu dengan langkah cepat, ia keluar dari kelas tanpa berkata apa-apa. Dara dan gengnya hanya tertawa lebih keras, menikmati pemandangan Mika yang kembali lari dari kenyataan.
***
Di Toilet Sekolah
Mika mengunci diri di salah satu bilik toilet. Tangannya gemetar saat ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan, membiarkan air mata yang tertahan sejak tadi mengalir deras.
“Kenapa harus aku? Apa salahku?” bisiknya lirih, berulang-ulang.
Hatinya penuh dengan rasa marah, kecewa, dan keputusasaan. Ia merasa lelah. Lelah dengan dirinya sendiri, dengan ejekan orang-orang, dan dengan rasa tidak berdaya yang terus menghantuinya setiap hari.
Saat itu, di dalam bilik yang dingin dan sunyi, Mika merasakan sesuatu tumbuh di dalam dirinya—sebuah tekad yang lahir dari rasa sakit.
“Mereka nggak boleh menang selamanya. Suatu hari, aku akan buat mereka menyesal.” Mika mengusap air mata di pipinya dan menatap bayangannya di cermin kecil di toilet. Mungkin hari ini dia kalah, tapi dia bersumpah bahwa ini bukanlah akhir.
Di sudut pikirannya, terlintas sebuah rencana. Dia harus berubah. Tidak hanya secara fisik, tapi juga secara mental. Ini bukan tentang membalas dendam saja—ini tentang membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa dia lebih kuat dari apa pun yang mereka katakan.
***
Berhari-hari, sosok Mika tak lagi tampak di sekolah. Di kursinya yang biasanya terisi dengan tubuh gempal itu, hanya tersisa meja kosong. Seluruh kelas tahu bahwa Mika telah pindah sekolah ke luar kota. Namun, bukan rasa penyesalan atau simpati yang tersisa—melainkan tawa dan kepuasan dari geng Dara.
"Akhirnya dia pergi juga," ujar Dara sambil tersenyum puas saat mendengar kabar itu dari wali kelas. "Kasihan, nggak kuat mental."
Nisa terkikik di sampingnya. "Mungkin dia pindah ke peternakan, biar bisa gabung sama babi-babi di sana," katanya, diiringi gelak tawa Farah yang menutup mulutnya dengan pura-pura sopan.
Meski Mika sudah tidak ada, geng Dara masih sering membicarakannya. Setiap kali mereka melihat sesuatu yang mengingatkan pada Mika—entah itu siswa gemuk lainnya, makanan di kantin, atau foto-foto jadul—nama Mika selalu muncul sebagai bahan olokan.
"Eh, jangan-jangan Mika lagi, tuh, muncul di berita lomba makan!" ledek Nisa suatu hari saat mereka melihat poster makanan di kantin. Dara dan Farah tertawa terbahak-bahak, meskipun Mika tidak lagi ada di sana. Seolah bayangan gadis itu masih menjadi candu yang menyenangkan bagi mereka.
Namun, di sudut lain ruangan, ada seseorang yang tidak bisa ikut tertawa—Raka.
***
Raka duduk di bangkunya, memandangi papan tulis tanpa benar-benar memperhatikan apa yang tertulis di sana. Kepalanya dipenuhi oleh ingatan tentang Mika dan bagaimana dia berdiri diam saat Mika dipermalukan di depan seluruh sekolah.
"Kenapa aku nggak berbuat apa-apa?" pikirnya, menggenggam pensil di tangannya dengan kuat hingga ujungnya patah. Rasa bersalah yang terus menggerogotinya tidak pernah hilang, malah semakin kuat setiap kali mendengar tawa Dara dan gengnya.
Ia tahu betul rasanya menjadi korban. Betapa menyakitkan saat seseorang melihatmu direndahkan tapi memilih bungkam. Ia seharusnya tahu lebih baik. Tapi saat itu, rasa takutnya sendiri lebih kuat daripada keberaniannya. Ia tak ingin menjadi target Dara dan kawan-kawannya—jadi, dia memilih jalan yang aman. Diam.
Namun kini, kepergian Mika terasa seperti beban besar di hatinya. Seolah-olah dia telah kehilangan kesempatan untuk berbuat benar. Tidak ada lagi Mika yang bisa ia temui, tidak ada lagi Mika yang bisa ia ajak bicara. "Aku pengecut," bisiknya dalam hati, menundukkan kepala di atas meja.
Raka ingat dengan jelas tatapan Mika pada hari terakhirnya di sekolah—tatapan penuh kepedihan, keputusasaan, dan juga kekecewaan. Tatapan itu membuatnya merasa kotor, seperti dia ikut berkontribusi dalam luka Mika dengan tidak melakukan apa pun.
***
Saat jam istirahat, Raka berjalan sendirian di koridor sekolah. Seperti biasa, ia tidak punya teman dekat. Tidak ada yang mau berteman dengan cowok yang dianggap culun dan tidak keren seperti dia. Sepanjang perjalanan, ia mendengar Dara dan gengnya masih saja melontarkan lelucon tentang Mika.
"Kalau Mika balik lagi ke sini, gimana ya? Mungkin dia bakal dua kali lebih gemuk!" ucap Dara diikuti oleh gelak tawa yang keras.
Raka mengepalkan tangannya di saku. Tawa mereka membuatnya muak. Mereka tertawa, merasa menang atas penderitaan seseorang, dan itu membuat Raka merasa makin tersudut.
"Seandainya aku bisa minta maaf ke Mika..." pikirnya. Tapi Mika sudah pergi. Dan kata maaf itu kini hanya menggantung dalam hati Raka, tidak pernah tersampaikan.
Setiap malam, Raka sulit tidur. Bayangan Mika terus menghantuinya—saat Mika berdiri di lapangan dengan air mata menetes, saat dia kabur dari kelas dengan tatapan penuh luka. Dan tatapan itu... Tatapan yang sempat menangkap pandangannya, seolah-olah Mika meminta bantuan, namun ia hanya berdiri diam seperti pengecut.
***
Suatu sore, Raka kembali membuka buku harian lamanya. Di dalamnya, ia sering menulis tentang kejadian-kejadian kecil di sekolah, termasuk saat dia dibully oleh teman-temannya. Namun kini, halaman-halaman itu terasa kosong dibandingkan dengan apa yang baru saja terjadi pada Mika.
"Aku nggak bisa ulangi kesalahan ini lagi," tulis Raka di buku hariannya. "Kalau suatu saat aku bertemu Mika lagi, aku akan minta maaf. Aku akan memperbaiki semua yang aku bisa."
Meskipun Raka tidak tahu kapan atau di mana dia bisa bertemu Mika lagi, ia bersumpah dalam hati bahwa ia tidak akan membiarkan dirinya jadi pengecut untuk kedua kalinya.
Dan jika kesempatan itu datang—jika takdir membawanya bertemu Mika sekali lagi—ia akan memastikan untuk menjadi orang yang berbeda. Seseorang yang berani berdiri, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk orang lain yang terjatuh.
Untuk sekarang, ia hanya bisa menunggu. Tapi di balik rasa bersalahnya, ada api kecil yang mulai menyala di hatinya—api yang perlahan, tapi pasti, akan membentuknya menjadi sosok yang lebih kuat dan lebih berani.
Dan meski dia belum tahu bagaimana atau kapan, Raka merasa bahwa kisah antara dirinya dan Mika belum berakhir.
mampir juga dikaryaku ya kak jika berkenan/Smile//Pray/