Di antara cinta yang tak terucap dan janji yang tak sengaja diucapkan harus menjadi sesuatu yang ditanggung jawabi oleh Rafael. Setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan yang hampir terbilang sempurna, Rafael harus kehilangan wanita yang dicintainya sekaligus menerima kehadiran seorang gadis yang sangat ia sayangi—Adeline.
Dua tahun setelah pernikahannya dan bangun dari segala keterpurukannya, Rafael harus terjebak dalam sebuah dilema. Apakah ia akan memilih cinta yang sebelumnya hilang atau tetap bersama dengan seseorang yang selama ini menemani masa-masa sulitnya? Setiap pilihan datang dengan konsekuensi dan setiap keputusan menuntunnya pada jalan yang tak terduga.
Ketika cinta dan masa lalu bertabrakan, apakah Rafael akan mengikuti hati atau logika? Bagaimana jika pilihan yang benar ternyata sesuatu hal yang paling sulit ia jalani? Temukan kisahnya dengan meng-klik ‘Mulai Membaca’.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyushine / Widi Az Zahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HC 13
Adeline telah usai memasak makan malam untuk dirinya dan juga Rafael. Sepulang pergi dengan Efran, Adeline memang langsung bergegas untuk memasak, dirinya takut jika Rafael pulang namun makan malam belum tersedia di meja makan.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, tidak ada tanda-tanda adanya kedatangan Rafael. Berinisiatif untuk menghubunginya, Adeline menyambar ponselnya yang berada dimeja ruang tengah, hanya menekan angka 1, panggilan sudah terhubung ke ponsel milik pria tersebut.
“Tidak biasanya dia tidak menerima panggilanku,” Adeline mengakhiri panggilannya setelah dia mencoba beberapa kali menelpon suaminya.
Sedangkan ditempat lain, Rafael justru sedang makan bersama dengan seluruh karyawannya. Meski tak banyak bicara, Rafael memilih tempat dibalkon sehingga tidak ada yang bisa mengganggunya.
Memegang wine ditangannya, Rafael menatap pemandangan malam dari atas sana. Sunyi yang ia rasakan kali ini, mungkin hanya terdengar suara desiran ombak pantai dari bawah sana. Restaurant pinggir pantai merupakan menjadi spot favorit Rachel, setiap kali makan malam bersama dengan wanita itu, dia pasti selalu merengek pada Rafael untuk mencari restaurant yang berada dipinggir pantai.
Grind Restaurant menjadi salah satu restaurant favorit wanita itu dan disanalah saat ini Rafael membawa para karyawannya untuk acara makan bersama. “Kenapa menyendiri disini? Merindukan Rachel?” Alvaro tampak mengerti dengan apa yang tengah dilakukan sahabatnya saat ini.
“Hingga saat ini aku masih tidak percaya jika Rachel sudah pergi.”
“Tapi kau sendiri yang menguburkannya, Raf.” Sambar Daren yang baru saja tiba dan mendengar percakapan kedua sahabatnya.
“Meski begitu hatiku tetap mengatakan jika Rachel masih hidup. Lagi pula bukankah wajahnya saja tidak dikenali?” Rafael menolehkan wajahnya ke arah Daren yang berada disisi kanannya.
“Bagaimana dengan DNA? Saat itu kalian melakukan tes DNA, ‘kan?” Sahut Alvaro.
“Tes DNA juga bisa saja keliru bukan?”
Daren hanya menghela napas menanggapi reaksi sahabatnya saat ini. Sudah berulang kali sejak kecelakaan itu terjadi Daren memberitahunya bahwa kecil kemungkinannya untuk bisa Rachel selamat, namun berulang kali juga Rafael menolak hal tersebut.
Rafael berjalan ke mejanya dan duduk seraya mengiris daging yang berada dipiringnya, sedangkan Daren dan Alvaro saling tatap satu sama lain. Sejujurnya keduanya sudah sangat lelah memberitahu Rafael untuk bisa bangkit dari keterpurukannya.
“Kenapa kau tidak mengajak Adel kesini?” Tanya Daren penasaran.
“Apa kau sudah memberitahunya jika kau akan pulang telat hari ini?” Alvaro menyambar penasaran, namun Rafael menggeleng sebagai jawaban. “Kenapa? Bagaimana pun dia adalah istrimu,” tambahnya.
“Tapi dia akan tetap menjadi adikku sampai kapan pun.”
“Sampai kapan kau akan menutup hatimu, Raf? Tidak bisakah kau membuka hatimu untuk orang lain? Jika saja kau belajar membuka hati, kau akan bisa merasakan jika ada seseorang yang sangat mencintaimu, mungkin cintanya lebih besar dari Rachel.” Tutur Alvaro.
Mendengar pernyataan dari sahabatnya membuat Rafael menghentikan aktifitasnya, ia pun menatap tajam ke arah Alvaro dan Alvaro juga membalas tatapan tersebut. Alvaro sendiri sudah merasa geram dengan sahabatnya yang tidak peka dengan sekelilingnya.
Demi meredam emosinya dan tidak ingin terpancing, Rafael memutuskan untuk pergi dari restaurant itu. “Kau ingin mengibarkan bendera perang dengan Rafa? Aku tahu kau gemas dengan sikapnya, tapi kau pun harus bisa bersabar.” Daren mencoba menenangkan Alvaro yang mulai terpancing dengan keadaan.
Rafael yang saat itu sudah tiba dirumahnya pulang dalam kondisi berantakan, entah kemana dia pergi setelah meninggalkan restaurant yang jelas saat ini Rafael pulang dalam kondisi sangat lesu dan tidak bertenaga.
Melewati ruang tengah, dia melihat Adeline tengah tertidur di sofa. Langkah kakinya berjalan untuk mendekat ke arahnya, kedua matanya menatap wajah polos yang tengah tertidur lelap dibaringannya membuat tangan Rafael hendak menggapai pipi chubby wanita tersebut, namun belum mendarat di pipi itu, Adeline justru sudah membuka matanya.
"Kak Rafa? Kau sudah pulang? Kau sudah makan? Tunggu sebentar disini ya, aku akan hangatkan makanannya untukmu," dengan cepat Adeline bangun dari pembaringannya dan hendak berjalan menuju dapur.
"Aku sudah makan diluar bersama para karyawanku." Seketika langkah kaki Adeline terhenti saat mendengar kalimat tersebut. Ada rasa kecewa yang ia rasakan saat ini. Bagaimana tidak? Dirinya terburu-buru untuk pulang cepat karena takut telat membuatkan makan malam untuk Rafael, namun ternyata pria itu sudah makan tanpa memberi kabar padanya.
"Begitu ya. Yasudah tidak apa-apa, makanannya biar ku simpan dikulkas saja dan akan ku hangatkan besok," tutur wanita yang tetap tersenyum saat membalikkan tubuhnya untuk menatap Rafael.
Adeline berjalan menuju dapur untuk membereskan hidangan yang telah ia masak dengan susah payah. Kemudian, tanpa ia sadari Rafael ikut masuk ke dalam sana seraya memperhatikan masakan yang telah dimasak oleh Adeline.
"Makanannya masih utuh, kau belum makan?" Tidak ada jawaban dari bibir Adeline, dia terus membereskan masakan itu ke dalam beberapa kotak agar dapat disimpan dengan rapi didalam kulkas. "Kau menungguku?" Rafael kembali mengajukan pertanyaan dan hanya anggukan yang dapat diberikan oleh Adeline sebagai jawabannya.
Seketika pikirannya mundur ke belakang dan teringat ucapan Alvaro. Sahabatnya itu ternyata benar, Adeline tengah menunggu dirinya, menunggu dirinya pulang dan makan malam bersama dengannya, dia bahkan sampai tertidur diruang tengah hanya karena menunggunya pulang.
Spontan Rafael langsung merogoh saku celananya, dia mengambil ponselnya dan langsung membuka ke layar utama, disana banyak sekali panggilan tidak terjawab yang berasal dari Adeline dan juga beberapa pesan masuk yang menanyakan keberadaan dirinya.
"Bagaimana jika aku hangatkan makanannya? Lalu aku temani kau makan?" Ucap Rafael yang merasa bersalah.
"Tidak apa-apa kak. Lagi pula ini sudah hampir larut malam, sebaiknya kau juga istirahat, ya. Setelah membereskan ini aku juga akan segera tidur."
Rasa bersalah menghinggapi perasaan Rafael saat ini. Meski tidak pernah menganggap Adeline sebagai istrinya, Rafael tetap menganggap Adeline sebagai adiknya, adik kecil yang akan selalu ia lindungi, sesuai dengan janjinya pada mendiang ayah Adeline dan juga mendiang ayahnya.
Tidak lama setelah Rafael masuk ke dalam kamarnya, Adeline pun selesai membereskan pekerjaannya. Tanpa menunggu lagi, ia pun bergegas untuk pergi ke kamarnya agar bisa kembali beristirahat mengingat bahwa dirinya harus berangkat lebih pagi esok hari.
Besok aku berangkat lebih awal. Itu artinya aku tidak akan bisa berangkat bersama dengannya bukan?
Adeline membatin seraya menatap kamar Rafael yang berada dilantai atas. Ia menghela napasnya dengan kasar, berharap Rafael juga berangkat awal dengan begitu ia memiliki alasan untuk bisa pergi bersama dengannya meskipun pria itu sering kali menolak dengan alasan tidak satu arah.
Entahlah sampai kapan aku bisa bertahan, yang jelas selama apapun itu, aku akan menunggumu ditempat yang sama.