> "Dulu, namanya ditakuti di sudut-sudut pasar. Tapi siapa sangka, pria yang dikenal keras dan tak kenal ampun itu kini berdiri di barisan para santri. Semua karena satu nama — Aisyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Jalan yang Tak Pernah Mudah
Bab 4: Jalan yang Tak Pernah Mudah
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)
---
Setting: Pagi yang cerah di gang sempit tempat Fahri tinggal. Cahaya matahari mulai menerobos celah-celah atap seng rumah-rumah kumuh. Suara burung berkicau terdengar samar di kejauhan, bersaing dengan deru motor yang lalu lalang di ujung gang.
---
Awal yang Berat
Sejak pertemuannya dengan Aisyah di masjid, ada satu keputusan yang mulai tertanam di hati Fahri — ia ingin berubah. Tapi ternyata, keputusan itu jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan.
Pagi itu, Fahri bangun lebih awal dari biasanya. Ia tidak langsung keluar untuk nongkrong di markas seperti biasa. Sebaliknya, ia duduk di kasurnya, memikirkan apa yang harus ia lakukan hari ini.
"Berubah? Tapi caranya gimana?" gumam Fahri sambil menatap ke langit-langit kamar.
Selama ini, kehidupannya hanya seputar perkelahian, menagih utang, dan memaksa orang membayar "uang keamanan". Tidak ada yang mengajarinya cara hidup dengan benar.
"Kalau gue berhenti jadi preman, gue makan dari mana?" pikirnya cemas.
Pikiran itu membuat hatinya gelisah. Perutnya mulai keroncongan, tapi dompetnya kosong. Biasanya, dia tinggal minta uang dari "anak-anak" atau mengambil bagian dari hasil tagihan.
Fahri menghela napas panjang. "Kalau gue terus kayak gini, sampai kapan pun nggak akan berubah," gumamnya lagi.
---
Pertemuan di Warung Kopi
Setelah berjam-jam di kamar, Fahri akhirnya keluar rumah. Ia berjalan ke warung kopi Bu Ratna di ujung gang. Tempat itu biasanya menjadi markas para preman kecil. Ada tiga orang yang sedang duduk di sana, termasuk Iwan.
"Bang Fahri, kemana aja? Tumben baru nongol," sapa Iwan sambil mengisap rokoknya.
"Kenapa, lu kangen sama gue, Wan?" jawab Fahri sambil duduk di bangku kayu.
"Ah, kangen sih kagak, Bang. Tapi kita bingung, siapa yang mau mimpin kalau Abang nggak ada," kata Iwan sambil tertawa. Dua orang lainnya ikut tertawa.
Fahri hanya tersenyum tipis. Tapi di dalam hatinya, ia mulai merasa bahwa tempat ini bukan lagi tempat yang cocok untuknya.
"Lu masih narik uang dari warung-warung, Wan?" tanya Fahri.
"Yoi, Bang. Kemarin dapet lumayan dari Pak Rudi. Dia ngelawan sih, tapi udah biasa. Akhirnya nyerah juga," jawab Iwan bangga.
Fahri terdiam sejenak. Dulu, ia juga melakukan hal yang sama, memaksa orang membayar uang keamanan. Tapi kali ini, ada sesuatu yang mengusik hatinya.
"Berubah... berubah... berubah..."
Kata itu terus terngiang di kepalanya.
"Wan, lu nggak bosen, ya, tiap hari kerjaan kita cuma begini doang?" tanya Fahri sambil mengaduk kopi hitamnya.
Iwan tertawa kecil. "Lah, ini kerjaan paling gampang, Bang. Nggak perlu susah-susah. Duit ngalir, bisa nongkrong, makan gratis. Mau gimana lagi?"
"Terus, sampai kapan? Lu mau begini terus sampai tua?" tanya Fahri serius.
Suasana tiba-tiba hening. Iwan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Yah... nanti juga kalo udah tua, kita pensiun, Bang. Ntar tinggal nikmatin hidup."
Fahri menatap Iwan dengan pandangan kosong. "Nikmatin hidup? Hidup kayak gini mau dinikmatin gimana?"
---
Ujian Kesabaran
Siang itu, saat Fahri sedang berjalan pulang, ia melihat dua orang pemuda dari gang sebelah. Salah satu dari mereka adalah Dodi, preman dari gang lain yang terkenal suka cari masalah.
"Eh, Fahri! Mau ke mana, lu?" teriak Dodi dengan suara keras.
Fahri tidak mempedulikannya dan terus berjalan. Tapi Dodi dan temannya mengejar.
"Woy, gue ngomong, jangan sok budeg, lu!" Dodi mendorong bahu Fahri dengan keras.
Fahri berhenti. Ia menoleh ke arah Dodi, matanya tajam seperti elang. Kalau dulu, dia pasti langsung balas pukul. Tapi kali ini, ia mencoba menahan diri.
"Sabar, Fahri. Sabar," batinnya.
"Ada apa, Dod? Lu mau cari masalah?" tanya Fahri, mencoba tetap tenang.
"Wih, sekarang lu jadi sok alim, ya? Dengar-dengar lu sering ke masjid. Apa lu udah insyaf, ya?" ejek Dodi sambil tertawa keras.
Temannya ikut tertawa mengejek. "Wah, preman tobat nih, hahaha! Besok-besok jangan-jangan dia pake peci, nih."
Fahri mengepalkan tangan. Hatinya panas, amarahnya membara. Tapi ia ingat kata-kata Aisyah.
> "Orang yang kuat bukan yang menang dalam perkelahian, tapi yang mampu menahan amarahnya."
Fahri perlahan melonggarkan genggaman tangannya. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan.
"Kalau nggak ada urusan penting, mending lu pergi," kata Fahri dengan nada dingin.
Dodi terkejut. Ia tidak menyangka Fahri tidak membalas provokasinya. Biasanya, Fahri langsung melempar pukulan tanpa pikir panjang.
"Hah? Serius, lu? Hahaha, preman kok lembek!" Dodi menepuk bahu Fahri keras-keras.
Fahri tetap diam. Ia memalingkan wajah dan berjalan pergi.
"Lu pikir ini gampang, Dod? Lu pikir gue nggak marah? Gue marah. Tapi kali ini, gue nggak akan nurutin emosi gue," batin Fahri.
---
Berbagi Cerita dengan Aisyah
Sore harinya, Fahri pergi ke masjid lagi. Kali ini, ia benar-benar ingin bertemu dengan Aisyah. Saat tiba di halaman masjid, ia melihat Aisyah sedang menyiram bunga di taman kecil depan masjid.
"Aisyah," panggil Fahri dari jauh.
Aisyah menoleh dan tersenyum lembut. "Bang Fahri? Apa kabar?"
"Baik," jawab Fahri singkat. Ia berjalan mendekat dan duduk di bangku taman.
Aisyah ikut duduk di sampingnya, tapi menjaga jarak sopan. "Bang Fahri jarang-jarang mau main ke masjid sore-sore gini. Ada yang mau disampaikan?"
Fahri terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang.
"Aisyah... berat banget ya, buat berubah," katanya pelan.
Aisyah menatap Fahri penuh perhatian. "Berat, Bang. Perubahan itu nggak pernah mudah. Tapi Allah janji, Dia nggak akan mengubah nasib seseorang kalau orang itu sendiri nggak mau berubah."
Fahri mengangguk perlahan. "Gue pengen berubah, Aisyah. Tapi hari ini, Dodi dari gang sebelah nyari masalah. Rasanya, gue pengen balas. Pengen banget. Tapi entah kenapa, ada yang nahan gue dari dalam."
"Itu tandanya Allah mulai membukakan jalan buat Abang," ucap Aisyah. "Kalau Abang terus bertahan, jalan itu akan semakin terang. Tapi kalau Abang menyerah, kegelapan itu akan kembali menutup hati Abang."
Fahri terdiam, memikirkan kata-kata Aisyah. "Gue nggak tahu gimana cara jalanin semua ini, Aisyah."
"Abang nggak sendirian, kok. Abang bisa mulai dari hal kecil," jawab Aisyah. "Kalau Abang butuh tempat cerita, aku siap dengerin."
Hati Fahri terasa lebih ringan. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya.
"Aisyah..." kata Fahri, menoleh ke arahnya.
"Iya, Bang?"
"Terima kasih," ucap Fahri tulus.
---
Fahri mulai merasakan ujian dari keputusannya untuk berubah. Ia menghadapi ejekan dari teman-temannya, provokasi dari musuh, dan pergulatan batin yang berat. Namun, ada satu hal yang kini ia miliki — harapan.