Kara sangat terkejut saat Ibunya tiba-tiba saja memintanya pulang dan berkata bahwa ada laki-laki yang telah melamarnya. Terhitung dari sekarang pernikahannya 2 minggu lagi.
Karna marah dan kecewa, Kara memutuskan untuk tidak pulang, walaupun di hari pernikahannya berlangsung. Tapi, ada atau tidaknya Kara, pernikahan tetap berlanjut dan ia tetap sah menjadi istri dari seorang CEO bernama Sagara Dewanagari. Akan kah pernikahan mereka bahagia atau tidak? Apakah Kara bisa menjalaninya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ririn Yulandari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Marah
Setelah semua makanan sudah siap di atas meja, Mama menyuruhku untuk memanggil Mas Saga untuk makan dan ku dapati laki-laki itu sedang berkutik dengan laptopnya. Tapi, walaupun begitu dia segera menyimpan laptopnya dan kami turun bersama dengan Mas Saga menggenggam tanganku. Padahal sudahku bilang bahwa aku malu bergandengan tangan di dalam rumah begini, tapi dia dengan keras kepalanya tak mendengarkan perkataanku.
Hingga kami sampi di ruang makan, sudah ada Mama dan Papa disana belum memulai makan. Papa tampak mengulas menatap kearah kami, begitupun dengan Mama yang tersenyum hangat walaupun dapat ku lihat sebelum itu dia menampakkan wajah tak sukanya padaku.
"Pengantin baru udah datang, kapan kalian sampainya, Nak?" tanya Papa kepada kami berdua.
"Tadi, Pa, waktu jam empat. Iya kan, Mas?" ujarku bersalaman dengan Papa bergantian dengan Mas Saga yang juga bersalaman dengan Papanya itu.
"Iyaa, Sayang. Ayo duduk," suruh Mas Saga menarik kursi untuk aku duduk. Aku pun menurut lalu Mas Saga pun menarik kursi lagi di sampingku untuk ia duduki.
"Gimana kantor, Pa, aman?" tanya Mas Saga pada Papa.
"Ga aman, nyuruh kamu ngecek kesana karna udah di tinggal empat hari," ujar Papa.
Mama lalu ikut menyahut menengahi percakapan kedua anak dan Papa itu yang baru saja mulai. "Ayo sekarang makan dulu, nanti aja bahas kerjaan," ujar Mama menyendokkan nasi ke piring Papa.
Tak ingin diam, aku pun melakukan hal yang sama yaitu mengisi piring Mas Saga yang masih kosong.
"Mau rendang dari Ibu, dong sayang," ucap Mas Saga yang memanggilku dengan kata sayang. Sungguh apa dia tidak malu memamerkan kemesraan di depan orang tuanya?
Aku pun menurut mengambilkan 2 potong daging yang sudah di masak dengan sebutan rendang ke piring Mas Saga.
"Cobain loh itu, Pa. Rendang buatan Ibu di rumah, yakin Papa pasti suka karna lebih enak daripada buatan Mama," ujar Mas Saga menatap Mama tersenyum menggoda.
"Hahaha, mana ada yang tandingin masakan Mama kamu ini Ga," ujar Papa sedikit tertawa menanggapi. "Ambilin sini Ma, ke piring Papa," pinta Papa mertuaku itu.
Saat Papa mencobanya ku lihat pupil matanya membulat takjub. "Beneran enak ini, Saga ga boong Ma, ayo coba jangan marah gitu dong masakan Mama tetap paling enak ga ada duanya," puji Papa pada masakan Mama yang menatap kesal ke suaminya itu tapi tak urung tetap membuka mulut menerima suapan dari Papa.
"Sudah tua ini Mama, tetap kaya anak gadis ngambeknya," ucap Papa lagi yang membuat Mama tambah melayangkan tatapan sengit padanya.
Aku dan Mas Saga tertawa melihat interaksi mereka berdua, masih seperti anak muda cara mereka berinteraksi, dan sampai kami selesai makan pun Papa terus bercanda yang membuat kami tertawa tapi Mama yang kesal sebab dia yang jadi bahan candaan Papa.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Setelah makan malam selesai aku dan Mas Saga kembali ke kamar. Niatnya aku ingin membantu membereskan tapi Mas Saga sudah memanggilku yang sudah berjalan terlebih dahulu ke kamar, pun dengan Mama yang menyuruhku agar kembali ke kamar karna masih ada 2 art yang tugasnya akan membereskan piring kotor bekas kami makan tadi.
Mas Saga sampai duluan di dalam kamar, ia tengah duduk di kasur. "Ada apa Mas?" tanya ku mendekat padanya.
"Sini duduk depan Mas," pintanya lalu aku pun menurut duduk di depannya yang duduk sila di atas ranjang.
Aku mengerutkan kening karna bingung saat Mas Saga mengeluarkan salap di tangannya. "Salapnya buat apa?" tanyaku bingung.
Dia tak menjawab melainkan memintaku untuk mengulurkan tangan kananku. "Tangan kanannya sini."
Ku ulurkan lah tanganku itu, dan aku merasa terkejut saat Mas Saga membalikkan telapak tanganku dan kini memperlihatkan punggung tanganku yang melepuh akibat wajan tadi.
"Kamu abis ngapain tadi di dapur sampai melepuh gini tangannya?" tanya Mas Saga menatapku penuh intimidasi. Aku yang ditatap seperti itu pun seketika gugup bercampur takut sedikit, karna ada raut marah di wajah Mas Saga.
"Jawab Mas, sayang!!" ujarnya sekali lagi karna aku belum menyahutinya. "Ngomongnya sambil tatap, Mas."
Dengan takut-takut aku pun balas menatap wajah Mas Saga yang mengintimidasiku. "Tadi ga sengaja kena wajan, waktu lagi goreng ayam," jelasku lalu menunduk kembali tak berani menatap wajahnya.
"Jangan nunduk!"
Aku pun dengan sigap kembali menatap Mas Saga yang masih saja menatapku dengan raut wajah menahan marah.
"Kan udah Mas bilang ga usah ikut bantu-bantu, tapi kamu ngeyel di bilangin, ada art yang di gaji buat masak, bersihin rumah. Jadi, kamu ga perlu repot-repot buat bantuin pekerjaan mereka. Ini lah, akibat kamu ngeyel di bilangin, ceroboh sampai luka tangannya."
Aku tak berani berkutik sedikitpun, lalu ku dengar Mas Saga menghela napas untuk meredakan amarahnya. Dia tak mengeluarkan suara lagi, mulai mengoleskan salep ke tanganku yang masih merah.
"Sakit?"
"Ngga, Mas," sahutku menatap Mas Saga yang dengan penuh hati-hati mengobati tanganku. Aku merasakan hangat di dadaku, saat sadar Mas Saga begitu perhatian dan mengkhawatirkanku.
Sambil mengobati tanganku, Mas Saga pun tak berhenti meniupnya, seperti takut sekali melukai tanganku.
"Besok ga usah bantu-bantuin lagi," ucapnya setelah selesai.
"T-tapi Mas..."
Tak ingin mendengarkan protesan ku, Mas Saga buru-buru memotong ucapanku. "Ga ada tapi-tapi, nurut kalau dibilangin sayang!"
"Iya, Mas, maaf," cicitku sedikit takut.
"Sini tidur, ga usah kemana-mana lagi," ujarnya menyuruh aku untuk merebahkan diri lalu Mas Saga juga ikut menidurkan dirinya di sampingku.
"Aku belum ngantuk, Mas," ujarku menatap matanya.
Dia mendekat padaku, menarik pinggangku untuk dekat padanya. "Pejamin matanya, nanti tidur sendiri. Mas temenin disini."
Tak ingin semakin membantahnya, aku pun menurut dan memejamkan mataku walaupun belum mengantuk. Ku rasakan keningku basah karna di kecup Mas Saga.
Entah lah, ini terlalu cepat atau tidak tapi aku sudah merasakan kenyamanan berada di dekat Mas Saga selama 4 hari, dan 3 malam ini tidur bersamanya. Tak pernah, aku merasakan setenang ini hingga aku berada di dekapannya. Padahal awalnya aku dengan keras menolak perjodohan ini, tapi kenapa malah cepat sekali merasa nyaman.