Dirga sangat mencintai Maya. Ia tidak ingin bercerai meski Maya menginginkannya. Ia selalu memaklumi Maya yang bertingkah seenaknya sejak Dirga kehilangan pekerjaan dan membuat keluarga mereka terpuruk.
Tapi suara desahan Maya di ponsel saat ia menghubunginya merubah segalanya.
Apa mereka akan tetap bercerai atau -lagi lagi- Dirga memaafkan Maya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
"Rania! Raka! Kalian kok harus dibangunin aja, sih? Kalau nggak dibangunin nggak bangun! Raka! Raka?" Maya berhenti mengomel. Matanya membulat sempurna. Tidak ada Raka di kamarnya. Hanya selimutnya yang terjatuh di lantai.
"Raka!" Maya menuju kamar Rania. Tapi kembali matanya membulat sempurna. Kamar itu kosong.
Maya baru merasakan suasana rumah yang lengang.
"Mereka kemana, sih?" Maya teringat Dirga dan bergegas berlari ke kamarnya untuk mengambil ponselnya.
Berdering..
Maya berjalan mondar mandir di dalam kamar sambil menggigiti kuku jarinya.
"Angkat, dong. Angkat!"
Begitu nada dering berhenti, Maya langsung menyembur,
"Dirga! Kamu bawa kemana anak - anakku?"
"Dirga?" suara di sana terdengar heran, tapi dingin.
"Iya! Dirga! Kamu bukan suamiku lagi! Mana anak - anakku?"
"Mereka anak - anakku, May. Mereka nggak mau punya Ibu yang egois dan mau senang sendiri."
"Terserah!" Maya membanting ponselnya ke atas tempat tidur. Menjambak rambutnya sendiri ke atas dengan kemarahan yang meluap.
"Tenang, May. Tenang. Bisa apa Dirga. Kemana Dia bisa membawa anak - anak kalau nggak ke rumah.. Ibu. Ya, pasti anak - anak di bawa ke sana." Maya bergegas berganti pakaian dan mematut diri seperlunya sebelum melesat ke rumah mertuanya.
"Anak - anak nggak ada di sini!" ketus Dedi. Maya tersentak kaget. Ia mulai panik. Kemana Dirga membawa anak - anak?
"Anak - anak udah berangkat sekolah, May." ucap Juwita lembut.
"Kenapa? Kamu ini gayanya aja mencemaskan anak - anak. Kemana Kamu seharian kemarin? Apa Kamu pikirin anak Kamu udah makan atau belum? Apa Kamu pikirin mereka kalau berdua aja di rumah, Apa Kamu nggak takut kalau mereka ada yang nyulik?"
"Siapa yang mau nyulik sih, Pak? Memangnya anak konglomerat?" pungkas Maya. Ia malas mendengar berondongan omelan mertuanya ini.
"Kamu..!" tubuh Dedi gemetar menahan emosi. Juwita mencoba menenangkannya,
"Sudah, Pak."
"Jangan suka marah - marah gitu, Pak. Bapak kan udah tua. Nanti kalau kena stroke gimana?"
Plakk!
Spontan Dedi menampar menantunya ini. Juwita hanya dapat membelalakkan matanya sebelum ia menarik tangan suaminya untuk menjauhi Maya.
"Pergi Kamu! Najis Kamu injak rumahku ini!"
Maya mendengus,
"Saya cuma mau jemput anak - anak! Apa itu salah?"
"Pergi!" teriak Dedi murka. Wajahnya menjadi merah padam. Juwita sangat mengkhawatirkannya.
"May, sebaiknya Kamu pergi." Juwita mendorong tubuh Maya keluar.
"Ibu ngusir Aku?" protes Maya.
"Ya!" jawab Juwita tegas. Ia segera menutup pintu dan menguncinya.
"Dasar tua bangka sialan!" rutuk Maya seraya berbalik dan melangkah pulang ke rumahnya.
"Aku akan menunggu anak - anak di rumah. Awas aja kalau mereka mau ketemu anakku!"
Maya terus merutuk.
Perjalanan dari rumah menuju rumah mertuanya cukup melelahkan baginya. Apaplagi ia langsung diusir pulang tanpa sempat duduk sejenak.
"Hai, Maya! Kebetulan ketemu di sini. Aku ada perlu sama Kamu!" teriak Monik. Monik ini tetangga sekaligus pelanggan setianya. Dia ini bekerja di club malam.
"Perlu apa?" tanya Maya malas. Ia biasa melayani teman - teman sosialitanya. Hanya pinjaman 1 juta dianggapnya remeh.
"Biasa, lah. Ada, kan?"
"Berapa?"
"1 juta aja. Ada, kan?" Maya mencibir. Tuh, kan.
"Aku nggak bawa uang. Ayok ke rumah."
"Yaah~, padahal mumpung ketemu di sini. Kenapa nggak bawa uang, sih?" tanya Monik. Tapi ia mengikuti langkah Maya. Namanya juga orang butuh.
"Aku tadi cuma mau nyamperin anak - anak di rumah Ibu. Tapi mereka udah berangkat."
"Kenapa anak - anak ada di rumah Ibumu?"
"Bukan Ibuku!" ketus Maya. Ia masih merasa kesal.
"Iya, Ibu mertuamu." mereka sudah sampai di rumah Maya.
Maya mengeluarkan kunci dari kantong jeansnya.
"Ayok masuk." Maya membuka pintu lebar - lebar.
"Ya amplop!" seru Monik.
"Kenapa?" tanya Maya heran.
"Rumahmu kayak kapal pecah gini, May. Acakadul beibeh!" Maya tertawa. Bahasa si Monik ini memang selalu ajaib.
"Emang Kamu belum beberes rumah, May? Males pake banget sih, Kamuu..!"
"Bawel, ih!" Maya masuk ke dalam kamarnya sementara Monik menghempaskan bokongnya yang bahenol di atas sofa. Bokong yang laris diobok - obok di tempatnya bekerja.
*****************
"Biasanya ada si Bibik, tapi nggak tau, deh. Udah 2 hari ini ngelalntur kemana! Nih, 1 juta, kan?"
Monik menerim uang yang diulurkan Maya.
"Ke laut, kalii..! Eh, Kamu nggak mau nyari penggantinya?"
"Pengganti siapa?"
"Pengganti si Bibik, lah. Masa' pengganti suamimu, siih?"
Senyum di bibir Maya hilang. Monik merasa ada yang aneh.
"Kenapa? Kamu mau cari pengganti suamimu juga?" tawanyaa membahana di dalam rumah.
"Kepalamu!" sungut Maya.
"Udah, kan? Pulang sana!"
"Ngusir?"Maya tersenyum kecut. Itu pertanyaan yang sama pada ibu mertuanya.
"Aku kan mau beres - beres rumah? Emang Kamu mau bantuin?" jelas saja Monik memilih pergi dari rumah Maya.
"Sudah kuduga." Maya menjebik dan mulai merapikan rumahnya. Ia juga memasak demi mengambil hati putra putrinya hingga tak terasa siangpun menjelang.
Maya berdiri di depan rumah untuk menyambut Raka dan Rania tapi ia terkejut saat melihat Diana pulang sendirian.
Maya bergegas berlari mencegatnya,
"Raka dan Ranianya mana?"
"Nggak tau, Tante." jawab gadis kecil teman sekolah Raka dan Rania itu.
'Biasanya mereka pulang bersama.' batin Maya heran.
"Memang mereka belum pulang, ya?"
"Udah kok, Tante. Semuanya udah pulang."
"Lho? Mereka kemana, ya? Mereka nggak bilang sama Kamu?" gadis kecil itu menggeleng. Ia terlihah takut.
"Aku mau masuk, Tante." Maya tersadar. Dari tadi ia memegang tangan anak itu.
"Iya - iya. Masuk sana." Maya tersenyum pada Diana. Ia sendiri kembali ke depan rumahnya, tempat ia menunggu sejak tadi.
Maya mulai merasa kesal. Ia sengaja memasak banyak untuk mengambil hati anak - anaknya. Tapi mana?
Mana - Mana Manaa?!
Maya merasa sangat marah ketika menyadari kalau Raka dan Rania tidak pulang ke rumah. Mereka pasti pulang ke rumah Eyangnya.
Maya masuk ke dalam rumahnya dengan langkah di hentak - hentakkan.
"Aku nggak mungkin menjemput mereka ke rumah Ibu." sungutnya kesal.
"Apa tadi kata orangtua itu? Najis kalau Aku menginjak rumahnya lagi!"
Maya berjalan mondar - mandir. Ia lalu meraih ponselnya dan mulai memencet panggilan.
Berdering..
"Apa lagi, May?" kini Dirga yang langsung bicara begitu hubungan tersambung.
"Kamu di mana?!"
"Aku dimana? Kamu ingin tau? Tumben,"
"Dirga! Aku nggak bercanda!" terdengar suara keluhan dan helaan nafas.
"Sejak kapan Kamu jadi senang bercanda, May?"
"Kamu dimana?!" pertanyaan dengan nada tajam. Tepatnya, menginterogasi. K
"Aku lagi keluar sama Tikno."
"Ngapain? Kemana?"
"Kok Kamu mau tau? Apa Kamu mau nyusul Aku ke sini?" Maya terdengar mendecih.
"Aku mau bicara!"
"Ini Kita lagi bicara." Maya mengepalkan tangannya. Rasanya ia ingin meninju tembok tapi nanti tangannya yang sakit.
"Kamu sama anak - anak?" Dirga tertawa sinis.
"Anak - anak kan, sekolah."
"Mereka udah pulang, tapi nggak pulang ke rumah!" Dirga menarik nafas panjang.
"Dirga, dengar. Aku minta Kamu bawa anak - anak pulang." kembali Dirga menarik nafas sepanjang - panjangnya dan menghembuskannya dengan kasar. Tikno menoleh.
************