Siang ini udara panas berembus terasa membakar di ruas jalan depan gerbang Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Matahari meninggi mendekati kulminasi. Suara gaduh di sekeliling menderu. Pekikan bersahut-sahutan, riuh gemuruh. Derap langkah, dentuman marching band dan melodi-melodi bersahutan diiringi nyanyian-nyanyian semarak berpadu dengan suara mesin-mesin kendaraan.
Rudi salah satu laki-laki yang sudah tercatat sebagai mahasiswa Unsil selama hampir 7 tahun hadir tak jauh dari parade wisuda. Ia mengusap peluh dalam sebuah mobil. Cucuran keringat membasahi wajah pria berkaca mata berambut gondrong terikat ke belakang itu. Sudah setengah jam ia di tengah hiruk pikuk. Namun tidak seperti mahasiswa lain. Pria umur 28 tahun itu bukan salah satu wisudawan, tetapi di sana ia hanya seorang sopir angkot yang terjebak beberapa meter di belakang parade.
Rudi adalah sopir angkot. Mahasiswa yang bekerja sebagai sopir angkot....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Keputusan Mendesak
Rudi tak bisa menghapus bayangan Intan kala bertemu di teras mesjid siang itu. Terutama saat gadis itu bertanya mengapa ia ada di sana, apakah ia kuliah lagi dan apakah sudah tidak cuti lagi? Lalu wajah gadis itu kecewa saat mendengar jawaban bahwa Rudi masih cuti kuliah, padahal sudah hampir tujuh tahun belum lulus. Mungkin gadis itu amat mempedulikan Rudi. Mungkin gadis itu tahu, waktu yang terlewati itu mengancam Rudi terkena DO.
Memikirkannya membuat Rudi tak dapat tidur, apalagi kini waktu sebulan yang diberikan universitas tinggal tiga hari lagi. Semua itu membuatnya tak enak makan, tak kerasan menjalani hari-hari, tak benar juga ketika main catur.
“Lah kok kalah lagi sih?” tanya Jay.
Pak Irsyad menang, tapi kelihatan tak begitu senang. Sepertinya pegawai bank itu merasa permainan catur malam ini kurang menantang.
“Kau itu kuundang buat ngalahin Pak Irsyad, bukan mengalah seperti ini! Aduh Rud….” Jay frustasi sambil mengacak-ngacak rambutnya sendiri.
“Sudah lah Jay, silahkan lanjutkan, aku ke kamar dulu!” sahut Rudi menghindar.
“Masih jam berapa ini, masa sudah ngantuk? Kan sudah ngopi!” kata Pak Irsyad.
Jay melongo.
“Ya sudah lah, main lagi yuk!” ajak Pak Irsyad.
Jay bersungut-sungut, kemudian menjawab :
“Ayo, siapa takut, kali ini aku pasti menang!”
“Ayo Guru, buktikan kata-katamu!”
“Baiklah muridku!”
Mereka tertawa memecah sunyi malam. Saat permainan catur berlangsung, Pak Irsyad bicara :
“Si Rudi kenapa ya, kok kayak ada masalah berat?”
“Tidak tahu!” sahut Jay sambil menatap ke arah papan catur, memikirkan strategi.
“Tanyain dulu deh, ada apa, kasihan!”
Jaelani yang sedang konsentrasi berusaha meredam emosi, lalu berkata :
“Haaaaaah, ya sudah, sebentar!”, Jay melangkah menghampiri pintu kamar Rudi disusul Pak Irsyad.
“Rudi…!!! Rudiii…!!!!” teriak Jay
“Ada apa?”
“Minta air panas!” teriak Jay.
“Apa…?!!”
“Minta air panas!!!” teriak Jay lagi.
Tidak lama kemudian pintu dibuka.
“Ya ampun Jay, tak perlu teriak-teriak, tinggal masuk saja!” ucap Rudi marah.
Jay dan Pak Irsyad masuk. Mereka duduk di lantai nyeduh kopi di kamar Rudi. Rudi tiduran. Jay melirik ke arah Pak Irsyad sambil berbisik dan membuat isyarat supaya bicara.
“Ada apa bisik-bisik?” tanya Rudi tanpa minat.
“Sebenarnya kami yang mau tanya, kenapa permainanmu malam ini payah sekali?” tanya Pak Irsyad.
“Mengecewakan!” timpal Jay.
“Aku… sedang ada pikiran saja!”
“Memangnya ada apa?” kejar Jay.
Rudi memejamkan mata. Ia teringat akan lanjutan perkataan Ustadz Munir setelah pernyataannya bahwa hidup yang paling tenang adalah kehidupan yang apa adanya dan tidak memaksakan diri di luar kemampuan. Lanjutannya begini :
“… Tetapi kehidupan juga memiliki kesempatan-kesempatan yang mungkin tidak akan pernah datang dua kali. Sekali-kali kehidupan ini memiliki tantangan, gejolak dan riak yang harus dihadapi. Hidup ini memang pilihan, dan ada kalanya pilihan itu ada bergantung kepada pilihan-pilihan lain di baliknya. Ingatlah bahwa Allah tidak akan merubah suatu kaum hingga kaum itu merubah diri mereka sendiri!”
Rudi bangun menghela nafas, melirik ke arah Jay dan Pak Irsyad, kemudian bicara :
“Sebelumnya aku ucapkan terimakasih kepada kamu Jay, sudah membuka jalan untuku jadi sopir angkot selama ini!”
“Sama-sama Rud, ada apa memangnya?”
“Ya… kalian sendiri tahu, sudah hampir lima tahun kuliahku tidak ada kemajuan. Aku sibuk kerja untuk keluarga. Untuk ibuku, untuk adik-adiku. Tapi selama ini aku tak punya waktu untuk kuliah, sementara tiga hari lagi aku… kena DO!”
“Jangan bercanda Rud!” sahut Jay.
“Tidak Jay, aku sungguh-sungguh!”
“Kenapa baru ngomong sekarang?”
“Sebenarnya aku sudah mau mundur, tapi ibuku tidak mau aku keluar, juga… akhir-akhir ini… ada… maksudku… akhirnya aku sadar, aku harus tetap lanjut kuliah!”
“Tapi tiga hari lagi loh! Gimana?” sahut Pak Irsyad.
“Gila kamu Rud!” komentar Jay.
“Kalau saja ada pekerjaan lain yang menyisakan banyak waktu untuk kuliah, pasti akan aku lakukan.”
“Kamu harus segera ambil tindakan!” kata Jay.
“Betul itu, harus!” timpal Pak Irsyad
Mereka bertiga terdiam. Malam ini kamar Rudi terasa mencekam.
“Apa kalian punya ide?” tanya Rudi.
Tak ada jawaban.
“Ada ide?” tanya Jay sambil menoleh ke Pak Irsyad.
Pak Irsyad merenung, kemudian bicara :
“Sepengalaman aku selama ngasih kredit sama orang-orang, ada jenis-jenis usaha tertentu yang memang biasanya dilakukan sore hingga malam, tapi….”
Mereka kembali merenung.
“Kalian ikut aku sekarang!” ajak Pak Irsyad tiba-tiba.
Pak Irsyad bergegas keluar kamar diikuti Rudi dan Jay yang masih bingung. Rudi terhenti di teras memandang ke arah Honda Prima antik miliknya yang terparkir. Sesaat ia mendapat firasat buruk. Beberapa detik kemudian Rudi melanjutkan langkah mengikuti Jay dan Pak Irsyad keluar menelusuri gang hingga pinggir jalan. Malam itu pinggir Jalan Tentara Pelajar masih ramai. Beberapa pedagang makanan dan minuman tampak di ruas jalan yang mereka lewati.
Beberapa orang mahasiswa tampak sedang memesan makanan. Beberapa mengantri depan kios minuman dan tempat foto copy yang masih buka.
Dalam beberapa menit mereka telah sampai di sebuah warung. Rudi tahu warung siapa. Ialah warung seorang ibu bersama anak gadisnya yang sempat Rudi singgahi beberapa kali untuk sekedar sarapan atau ngopi.
Ibu pemilik warung tampak sedang melayani pembeli. Begitu melihat Pak Irsyad datang wajahnya pucat, wanita itu pun berkata :
“Eh Pak Irsyad, maaf loh Pak, aduh, gimana ini, saya belum ada uang!” katanya.
Rudi dan Jay saling pandang yang artinya kira-kira begini: Kredit macet, tidak salah lagi!
“Bukan Bu! Saya cuma mau jenguk Bapak boleh?”
“Oh, boleh, boleh!”
“Sekalian mau bicara sama Ibu dan Bapak juga!”
Jay melongok-longok ke dalam warung seperti mencari-cari sesuatu.
“Bu, Neng Hani-nya ada?” tanya Jay santun.
Pak Irsyad menyenggol-nyenggol Rudi yang artinya kira-kira begini : Kau dengar? Berani sekali si Jay itu!
“Oh ada di belakang! Oh iya, Hani, Hani, sini tunggu warung. Ibu mau ke rumah dulu, ada tamu mau ketemu Bapak!”
“Oh iya Bu!” sahut suara dari belakang.
Seorang gadis keluar. Wajahnya cantik, manis berkulit kuning langsat. Sepertinya gadis itu habis bekerja di dapur. Tampak titik keringat mengkilap di wajahnya.
“Selamat malam Neng!” sapa Jay malu-malu.
“Malam! Mau beli apa?” tanya Hani.
Pak Irsyad dan Rudi bergegas mengikuti Ibu pemilik warung menuju gang ke arah rumahnya. Pak Irsyad yang menyadari Jay tidak ada, menengok ke belakang. Dilihatnya Jay masih di warung berbasa-basi dengan Neng Hani.
“Jay, Jay!” panggil Pak Irsyad.
Jay menyusul.
“Kamu itu, nggak bisa lihat cewek!”
“Tidak lah Pak, yang ini lain!”
“Lain apanya?” tanya Pak Irsyad.
“Adem orangnya!” jawab Jay terkekeh.
Pak Irsyad geleng-geleng kepala.
Tak lama kemudian mereka sudah sampai di sebuah rumah. Di rumah itu ada seorang lelaki tua duduk di kursi roda. Lelaki itu menyambut kedatangan mereka dengan ramah.