"Pergi kamu! Jangan pernah datang ke sini lagi! Bapak dan ibuku bukanlah bapak dan ibu kamu!" usir kakak sulungku yang ucapannya bagaikan belati menusuk hati, tapi tidak berdarah.
Kakak kandungku mengusir aku yang datang menemui bapak dan ibu kandungku, tapi bapak dan ibuku hanya diam tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Inilah kisahku. Kisah seorang gadis yang terjebak dalam konflik keluarga. Memaksa diriku yang masih kecil berpikir dewasa sebelum waktunya.
Aku berusaha menjalani hidup sebaik yang aku bisa dan melakukan apapun semampuku. Selalu berusaha berpikir positif dalam setiap masalah yang menderaku. Berjuang keras menahan semua penderitaan dalam hidupku. Berusaha tetap tegar meskipun semua yang aku hadapi tidak lah mudah.
Bagaimana caraku, menghadapi kemelut dalam keluargaku yang berpengaruh besar dalam hidupku?
Yuk, ikuti ceritaku!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Malu Karena Tak Punya
Tak terasa kami sudah tiba di rumah. Nenek duduk di ruang tamu seraya melihat beberapa macam obat yang diberikan dokter tadi.
"Makanya nenek malas pergi ke dokter. Banyak pantangan dan jadi tahu segala penyakit nenek yang malah bikin nenek kepikiran. Mana bayarnya mahal lagi. Kalau bukan karena udah nggak tahan rasa sakitnya, malas nenek pergi ke dokter. Kata dokter tadi seharusnya nenek di rawat di rumah sakit. Ah, malas nenek. Seumur hidup nenek nggak pengen dirawat di rumah sakit. Sampai mati pun nenek nggak mau dirawat di rumah sakit. Ngeri nenek." gerutu nenek.
"Kenapa ngeri, Nek?" tanyaku.
"Ngeri kalau sampai tubuh nenek di bedah sama dokter. Nanti gimana kalau ada bagian tubuh nenek yang diambil oleh para dokter itu? Nenek nggak mau kalau ada bagian tubuh nenek diambil," ucap nenek bergidik ngeri berpikiran kolot. Entah dari mana asal pemikiran seperti itu.
"Siapa bilang ada bagian tubuh kita yang di ambil dokter saat kita dirawat di rumah sakit, Nek?" tanya ku yang merasa aneh dengan alasan nenek.
"Kamu anak kecil nggak akan ngerti," ucap nenek membuat aku menghela napas panjang.
Aku ini sekolah, meskipun baru masuk kelas satu SMA, tapi aku juga nggak bodoh-bodoh amat. Paling alasan nenek nggak mau dirawat di rumah sakit karena takut biaya perawatannya mahal.
Sekarang aku semakin takut. Bagaimana nasib ku kalau nenek meninggal? Sedangkan aku belum mampu hidup mandiri, karena belum punya penghasilan sendiri.
Aku berbaring di cabang pohon tempatku biasa berbaring. Seolah aku sedang berbaring di atas dipan. Ah, tidak. Ini bahkan lebih nyaman dari berbaring di dipan milikku. Angin yang menerpa membuat cabang pohon yang aku jadikan tempat berbaring ini jadi bergoyang, hingga aku merasa seperti sedang berada di atas ayunan. Padahal aku berbaring di cabang pohon yang tingginya sekitar enam meter. Sudah seperti berada di bangunan lantai dua.
Beberapa kali aku menghela napas panjang memikirkan nasibku ke depannya. Aku jadi galau setelah mengantar nenek ke dokter kemarin.
Ah, sudahlah! Semakin dipikirkan semakin membuat kepalaku pusing. Tapi tetap saja aku nggak bisa menjernihkan dan merilekskan pikiranku. Rasa takut di tinggal nenek semakin besar.
Tiba-tiba perutku terasa sakit. Aku pun bergegas turun dari pohon jambu, lalu masuk ke dalam kamarku. Sepertinya penyakit maag ku kambuh lagi. Yap, aku punya penyakit maag. Seharian di sekolah tanpa makan apapun selain air putih, dan setiap banyak pikiran aku tidak nafsu untuk makan. Mungkin itu yang menyebabkan aku terkena maag.
Aku tidak punya tempat untuk berbagi, tidak ada tempat untuk mengadu. Aku selalu menyimpan rasa sakit ku sendiri. Memilih diam saat merasa sakit hati. Tidak bisa berdebat seperti orang lain.
Saat anak-anak seperti aku bisa mengeluh dan mencurahkan isi hati pada orang tua mereka, bisa menceritakan apa yang membuat mereka kesal dan bahagia, aku hanya bisa menyimpan semua perasaan itu sendiri.
Nenek tidak akan mengerti perasaanku, atau mungkin tidak mau mengerti perasaan ku. Sedangkan satu-satunya orang yang paling dekat dengan aku hanyalah nenekku.
"In..In.." panggil nenekku.
Aku hanya diam meringkuk di atas kasur kecil ku seraya memegangi perutku. Aku dengar ada yang membuka pintu kamarku. Aku rasa itu pasti nenek.
"Kenapa kamu? Sakit perut?" tanya nenek.
Aku hanya mengangguk dengan posisi membelakangi nenek. Sumpah, perutku sakit banget. Seperti di peras dan di tusuk-tusuk. Ah sakit sekali sampai lidahku kelu untuk berkata-kata. Ini lebih parah dari yang sudah-sudah.
"Ini, minum obat maag dulu," ucap nenek.
Aku berusaha duduk dan meminum obat yang diberikan oleh nenek. Setelah itu aku kembali meringkuk memegangi perut ku.
Saat sakit seperti ini, ingin rasanya aku mati saja. Membayangkan kehidupan ku selanjutnya yang pasti akan semakin sulit membuat aku merasa putus asa. Aku merasa berjuang sendiri dan tidak ada yang peduli. Merasa seperti orang yang terbuang dan tersisihkan. Salahkah kalau aku jika berpikir demikian?
Nenek mendidik aku dengan keras, menuntut aku menjadi gadis dan pribadi yang kuat. Tidak mau mendengar, bahkan tidak mengizinkan aku untuk mengeluh. Mendoktrin bahwa apa yang diajarkan adalah benar tanpa mau mendengarkan pendapat ku, apalagi protes dariku.
Tapi sekuat-kuatnya aku, aku juga memiliki sisi rapuh. Aku berusaha tegar dan terlihat ceria meskipun sesungguhnya aku merasa tertekan dan rapuh tanpa sandaran. Berusaha melakukan apapun yang membuat orang lain senang hanya karena ingin merasakan perhatian dan kasih sayang yang sudah lama hilang.
Ya, aku selalu merasa kekurangan kasih sayang dan terkadang merasa sendirian. Salahkah aku jika berpikir demikian? Aku tidak pernah lagi merasakan hangatnya pelukan kasih sayang setelah Bik Mina pergi. Ingin rasanya aku tidur dan tidak bangun lagi. Astaghfirullah...
Aku benar-benar putus asa.
*
Aku menghampiri nenek yang sedang duduk bersantai di teras rumah. Ia meminta aku memijit bahu dan pundaknya seperti biasa.
"Nek, punya uang, nggak? Aku mau bayar baju olahraga," ucap ku meskipun yakin nenek sekarang tidak punya uang lebih untuk membayar baju olahragaku.
"Minta sama paman kamu sana. Nenek baru saja membeli pupuk untuk padi, jadi nggak punya uang lagi," sahut nenek seperti dugaanku.
"Aku sudah minta sama paman, tapi di suruh paman minta sama bibi. Kata bibi dia nggak punya uang," ujarku yang kemarin memang sudah meminta uang dari paman dan bibi.
"Nggak punya uang apanya? Tadi pagi bibirmu membelikan baju untuk Reni. Coba minta lagi sana!" ujar nenek membuat aku menghela napas panjang yang terasa berat.
Sepertinya bibi memang tidak mau mengeluarkan uang untuk aku. Seandainya aku bisa mencari uang sendiri, aku tidak perlu meminta-minta seperti ini.
"Bibi kamu itu gembar gembor ngomong sama orang-orang kalau dia menyekolahkan kamu, tapi tiap diminta duit untuk keperluan sekolah kamu selalu banyak alasan. Ujung-ujungnya nggak di kasih," gerutu nenek yang selalu saja mengoceh setiap membicarakan bibi.
Setelah merasa puas di pijat nenek menonton televisi. Aku melihat bibi dan Reni keluar rumah, sepertinya mereka mau pergi ke warung. Aku pun menggunakan kesempatan ini untuk menemui pamanku.
"Paman, kemarin aku sudah minta uang sama bibi buat bayar baju olahraga. Kata bibi, bibi nggak punya uang. Tapi.. tadi pagi bibi beliin baju buat Reni," ucap ku ragu.
Bagaimana pun, Reni adalah anak kandung paman. Sedangkan aku.. Aku hanya keponakan yang diangkat sebagai anak. Aku merasa bukan siapa-siapa lagi di hati paman.
"Nanti paman tanya sama bibi kamu," ujar paman tanpa ekspresi.
Mendengar jawaban paman dan melihat wajah paman seperti itu, aku pun beringsut pergi. Fix, rasanya aku nggak bakal mendapatkan uang dari paman untuk membayar baju olahragaku.
Aku masuk ke dalam kamarku dan membaringkan tubuhku dengan pikiran menerawang. Di kelasku tinggal aku yang belum punya baju olahraga. Semua sudah memakai baju olahraga SMA, tapi aku masih memakai baju olahraga SMP.
Malu? Tentu saja aku merasa malu. Tapi, ya, mau bagaimana lagi kalau ceritanya begini.
Dulu juga seperti ini. Aku masih ingat dengan jelas. Saat dulu tour perpisahan di SD, aku tidak ikut tour karena nenek tidak punya uang dan bibi juga bilang nggak punya uang. Saat teman-teman ku berangkat tour naik mobil, aku malah naik sepeda berangkat ke sawah.
Jangan tanya bagaimana perasaanku. Malu kepergok berangkat ke sawah di saat teman-temanku berangkat tour ke gunung Bromo. Sedih rasanya melihat mereka yang begitu ceria berada di dalam mobil akan pergi berwisata. Sedangkan aku? Aku harus pergi ke sawah.
Huff.. beginilah nasib orang tak punya.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
trus kabarbindah yg dijodohkan dan udah nikah bagaimana ??
apa akan di lanjutkan di cerita indah yg sudah dewasa nanti ??
terimakasih author.ditunggu karya berikutnya