Wanita Janda Istri Sang Dokter

Fahmi lalu tersenyum menimpali ucapan gadis itu. "Tidak mirip sekali? " ulangnya membuat Lusi mengangguk cepat.

"Apakah warna kulit kami tampak berbeda ?" Fahmi menunjukkan kulit lengannya.

Lusi terlihat menggeleng, lalu Fahmi mendekatkan wajahnya pada Bagas. Wanita kecil yang berdiri itu pun memperhatikan keduanya.

"Apakah masih terlihat sama jika sedekat ini ?" tanya Fahmi mempengaruhi bocah itu.

Lusi lalu menggeleng cepat dan melihat orang yang menjemputnya datang.

"Dah Bagas, sampai ketemu besok lagi!" pamitnya sambil melambaikan tangan mengakhiri perjumpaan. Lalu berlari kecil ke arah wanita yang tidak lain adalah ibu Lusi.

Bagas segera membalas lambaian itu begitu pula dengan Fahmi.

Fahmi mengajak Bagas untuk memasuki mobil. "Apa sekolah mu hari ini menyenangkan?" tanyanya ramah.

"Iya, Om. Eh maksudku, Ayah!" Bagas menutup cepat mulutnya. Ia lupa jika sudah membuat kesepakatan dengan pria dewasa ini.

Fahmi tampak tersenyum lalu bergegas mengantar Bagas pulang. Ia tidak bisa terlalu lama berada di luar, ada jadwal operasi se jam lagi. Sepanjang perjalanan pulang, Fahmi mengajak Bagas untuk mengobrol seputar sekolah nya hari ini. Dan tanpa sengaja Fahmi menyinggung tentang ayahnya.

"Bagaimana dengan Bapakmu, apa kamu tidak rindu padanya?"

"Bapak di penjara sekarang. Dan itu tempat yang pantas untuknya."

"Bapak nggak pernah perduli tentang kehidupanku dengan bunda. Bahkan bapak selalu memukul bunda jika bunda tidak memiliki uang. Bapak selalu kalah bermain judi lalu pulang untuk meminta uang bunda." imbuhnya lagi. Kenangan pahit itu seolah terekam jelas bagaimana perlakuan bapaknya terhadap dirinya dan Saras.

"Kamu tidak boleh berkata seperti itu. Biar bagaimanapun dia adalah orang tuamu."

Bagas terdiam lalu menunduk, seperti ada luka yang terpaksa harus ia lupakan.

Fahmi melihat kebencian terpancar dari wajahnya. "Untuk itu, rajinlah mendoakan kedua orang tuamu. Terutama bapakmu agar mendapat hidayah suatu saat nanti."

"Bapak jahat. Untuk apa mendoakan dia." celetuk Bagas yang sudah meradang kebenciannya terhadap Joni.

Fahmi mendesah kasar, sulit juga menghadapi anak kecil. "Terserah kamulah. Yang jelas pesanku, jangan sampai suatu hari nanti kamu menyesal. Orang tua adalah orang pertama yang wajib kita hormati." Dan tak terasa mereka sudah sampai di halaman rumah.

Bagas turun dari dalam mobil, sementera Fahmi memutar kembali badan mobilnya menuju rumah sakit.

Melihat Bagas pulang diantar Fahmi, Amira naik daun dan bergegas menghampiri Bagas. "Kurang ajar kamu ya! Kamu sudah berani membuat anakku takluk pada setan kecil sepertimu!" Amira menampar Bagas sampai topi merah putih di atas kepalanya terlempar.

Amira mendorong tubuh kecil itu hingga terjerembab.

Bagas masih meringis sakit dengan tamparan di pipinya itu ditambah pantatnya yang mendarat kasar di lantai. Perlahan bulir air matanya menitik. "Aku salah apa, Nyonya?"

"Kamu dan ibumu hanya membuat susah saja di rumah ini. Gembel seperti kalian tidak pantas tinggal di rumahku!" umpat Amira yang membuat Saras segera keluar dari dalam kamar.

Melihat tindakan Amira yang anarkis, Saras setengah berlari menghampiri putranya. "Apa yang Anda lakukan, Nyonya !"membawa pria kecil itu ke dalam dekapan.

Amira menyebik, "Kalian berdua sama saja. Sampai kapan kamu akan terus menggerogoti hati anakku, hah!"

"Nyonya, jika semua ini salahku maka jangan melampiaskan kekesalanmu pada Bagas. Dimana rasa keibuan Anda !" Saras menekankan di kalimatnya yang terakhir.

"Kamu berani meninggikan suaramu di hadapanku !" teriak Amira sambil menunjuk ke arahnya.

Dan, "Plak ...!" sebuah layangan tangan mendarat kasar di pipinya Saras. Saras sampai menoleh cepat.

Ia merasakan sudut bibirnya perih dan berdarah. Saras memalingkan mukanya dan menatap Amira kembali. "Sadarlah Nyonya dengan apa yang telah Anda lakukan padaku ini. Bisa saja aku melaporkan tindakan ini sebagai tindakan kriminal, penganiayaan terhadap menantu sendiri. Apa Nyonya saat ini sangat ingin menjadi terkenal? Maka dengan aku melakukan pengaduan pada pihak polisi, dan penjara adalah tempat yang pantas untuk orang yang seperti Anda."

Mendengar ucapan Saras, Amira sampai mendelik dan ketakutan mulai menyergap hatinya. Kata polisi terdengar menakutkan di benaknya. Amira membisu ia hanya mampu menatap.

"Beruntunglah Nyonya memiliki putra berhati tulus seperti mas Fahmi. Ia sampai rela menikahiku dengan menyelamatkan kehormatan ku yang terhina. Jangan khawatir Nyonya ! Aku tahu pasti hati Anda merasa panas mendengarkanku bicara. Karena Anda ibunya mas Fahmi, maka aku tidak akan melaporkan tindakan Anda pada polisi. Kurang baik apa aku terhadap Anda, hah?"

Amira jengah menatap wanita yang selalu ia panggil dengan sebutan wanita liar itu. Lalu ia membalikkan badan dan pergi dengan geram. Rasanya ia ingin menyobek mulutnya yang terlalu lancang bicara.

Saras memeluk Bagas. "Kamu sudah makan?" tanyanya mengalihkan pembicaraan agar Bagas tidak sampai trauma.

Bagas mengangguk cepat, "Bekal Bunda enak! Besok aku dibawakan lagi ya ..." kelakarnya lalu melepaskan pelukan bunda, mengambil topi lalu masuk ke kamar untuk mengganti seragam. Saras menatap punggungnya.

Saras tidak bisa terlalu lama di sini. Ia harus segera pindah, jika tidak maka saat dirinya tidak ada disekitar Bagas, Bagas yang akan menjadi amukan mertuanya.

Sudah cukup baginya mengalami penderitaan.

Bik Yem sejak tadi melihat adegan itu sampai tercengang. Tidak pernah sebelumnya ia melihat Amira semarah itu. Lantas tidakkah dia ingat dulunya dia berasal dari mana?

Amira dinikahi Hendra saat mereka bertemu di sebuah panti asuhan. Dimana panti asuhan itu akan terkena gusuran jalan dan akan dibuat sebuah stadion olah raga.

Amira terlihat lusuh dan tidak punya apa - apa, karena kasihan dan iba, Hendra sampai menikahinya meski pernikahan mereka menimbulkan pro dan kontra di keluarga Hendra.

Untungnya Hendra punya pendirian yang kuat sehingga bisa menyakinkan keluarga untuk bisa menerima Amira menjadi menantu.

Amira pun mendapatkan kehidupan yang layak setelah statusnya menjadi istri.

Pakaian yang bagus - bagus dan tempat tinggal yang nyaman. Hendra begitu mencintai dan memanjakan dirinya sampai ia hamil anak pertama. Membuat semua orang di keluarga itu mulai menyukai Amira.

Ibunya Hendra meninggal setelah 5 tahun meninggal suaminya. Dan secara garis keturunan semua kekayaan jatuh ke tangan Hendra.

Hendra pun dengan penuh tanggung jawab membangun perusahaan hingga sesukses saat ini.

Amira tanpa sadar telah membuang kenangan dari mana ia berasal dulu. Gadis yatim piatu dan tanpa orang tua kini berdiri angkuh menatap sebelah mata kehidupan Saras.

Kebencian nya terhadap Saras sudah mendarah daging.

Untuk itu ia ingin sekali mengusir Saras dari rumah. Tapi Fahmi sepertinya telah dibutakan oleh wanita liar itu.

Amira mendengar sendiri dari mulut Fahmi jika ia tidak mencintai Saras. Tapi, waktu terus bergulir jika mereka terus bersama bisa saja kan benih - benih cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya.