Terikat oleh kisah masa lalu yang saling bertalian, takdir pun menuntun langkah tiga pemuda pengembara untuk dipertemukan. Mereka harus melakukan perjalanan bersama untuk menggenapi takdir karmaphala.
Ada kutukan bawaan lahir yang harus dimusnahkan, ada juga kutukan takhta berdarah yang harus mereka hancurkan. Di samping itu, ada nama baik seseorang yang telah difitnah selama bertahun-tahun harus dibersihkan untuk mengembalikan kehormatannya.
Dibimbing takdir lewat jiwa-jiwa masa lalu yang masih tercecer di buana, ketiganya menghadapi berbagai macam rintangan dan goda tanpa gentar. Tujuan perjalanan mereka adalah Istana Kerajaan Jagat Kawiwitan karena dari sanalah segalanya berawal.
Namun, sebelum itu mereka harus singgah ke sebuah gunung untuk bertemu dengan ratu siluman ular. Perjalanan menuju ke sana pun tidak mudah, karena selama berada di wilayah hutan dan gunung ilmu kanuragan mereka tidak bisa digunakan, padahal ada begitu banyak bahaya mengancam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Altairael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ARC 1.13 PERTEMUAN: PENGLIHATAN
Kunci semua misteri adalah Eyang Pamekas. Walaupun tidak berniat selamanya menyimpan rahasia, tetapi pria tua itu juga tidak ingin dengan gamblang menjabarkannya. Dia hanya membekali Bumirang dengan kaweruh yang kelak bisa dijadikan petunjuk.
"Bumirang, aku lapar!" Teriakan Kamandaka mengalihkan perhatian Bumirang.
Tanpa mengatakan apa-apa, dia meletakkan buntalan kain di atas batu, kemudian memasukkan tangan ke dalamnya dan begitu ditarik ke luar, sebuah benda mirip cangkir minum berwarna perak ada di tangannya. Benda itu ada tutup berbentuk kerucut menyerupai menara istana.
Asap putih mengepul ke luar ketika tutupnya dibuka. Awalnya hanya tipis, tetapi lama-kelamaan menjadi sangat tebal dan secara alami membentuk sosok manusia. Tidak lama kemudian Kamandaka sudah berdiri sambil meregangkan otot-otot.
"Akhirnya aku bisa bergerak bebas lagi ...."
Bumirang tersenyum geli melihat tingkahnya. "Duduklah dan makan ini." Dia memberikan sesuatu yang dibungkus daun pisang dan satu bubu kepada Kamandaka.
Setelah menerima makanan wajahnya berseri-seri, Kamandaka pun duduk di atas rerumputan dan langsung melahapnya dengan rakus. Entah sudah lupa bagaimana rasanya menjadi anak orang kaya yang terbiasa memakan hidangan lezat, atau memang seperti itulah aslinya dia---tidak pernah pilih-pilih makanan. Apa pun yang diberikan selalu dilahap sampai habis tanpa komplain sedikit pun. Bahkan jika itu hanya beberapa buah pisang kukus yang sengaja Bumirang simpan untuknya.
Ketika sudah duduk bersila di atas batu, Bumirang berkata, "Kamandaka, aku harus bersemedi. Kamu jangan berkeliaran ...."
Dengan mulut penuh, Kamandaka menyambung ucapan Bumirang, "... tetap di dekatmu kalau tidak ingin tersesat dalam gelap dan dimakan binatang buas. Aku tau. Sana tidur saja, aku akan menjagamu. Apa enaknya tidur sambil duduk? Dasar aneh."
Setelah mengoceh, Kamandaka bersikap acuh tak acuh dan kembali makan. Lagaknya seperti orang waras yang benar-benar bisa diandalkan. Bumirang tidak bisa menahan senyum, bahkan sempat terkekeh ringan sebelum akhirnya memejamkan mata dan memusatkan pikiran.
Semadi untuk tirakat berbeda dengan semadi‐semadi lain yang kerap Bumirang lakukan, juga tidak sama dengan semadi khusus ketika bulan mencapai paripurna. Bila biasanya dalam semadi-semadi itu dia membuka hati dan pikiran serta seluruh panca indra supaya bisa melihat, merasakan, dan mendengar aktivitas semesta, dan khusus di malam purnama untuk menyerap cahaya dan energi rembulan, beda halnya dengan semadi tirakat di bulan mati. Dalam semadi tirakat, Bumirang justru harus menutup rapat-rapat hati, pikiran, serta seluruh panca indra. Dia diharuskan hanya boleh merasa, melihat serta mendengar apa yang terjadi di dalam dirinya sendiri.
Dalam hening, Bumirang bisa merasakan sesuatu yang selama ini tersembunyi di lubuk hati yang paling dalam perlahan merayap ke cahaya. Sosoknya hanya berupa asap hitam, meliuk-liuk seperti ular membelit tubuh Bumirang dan berbicara dengan suara Bumirang juga.
Sisi gelap itu berkata, "Akhirnya ada sedikit titik terang tentang kedua orang tua yang selama ini sangat kamu rindukan, Bumirang. Kamu bahagia? Ya, tentu saja kamu harus bahagia. Tapi bagaimana dengan mereka? Bagaimana perasaan mereka jika tau kamu malah menolong anak orang-orang yang telah berkhianat?"
"Tentu saja mereka akan bangga." Bersamaan dengan hadirnya suara Bumirang yang ini asap putih muncul menyerupai sosok manusia dan meliuk-liuk di hadapan pemuda itu.
"Membohongi diri sendiri itu tidak enak, Bumirang. Capek. Sampai kapan akan terus berpura-pura baik-baik saja, huh? Kamu sudah melihatnya, bukan? Api .... Api itu---"
Asap putih menyela, "Orang-orang durjana itu sudah mendapatkan balasan---"
"Anak macam apa kamu, huh?!" Asap hitam murka dan semakin kuat membelit Bumirang, sampai-sampai wajah Bumirang mengernyit dan berkeringat. "Mana baktimu?! Seharusnya kamu tidak usah pedulikan bocah tidak waras itu!"
"Dia tidak tau apa-apa---"
"Dia juga bukan tanggung jawabmu! Untuk apa kamu membawanya?!"
"Di dunia ini tidak ada yang kebetulan terjadi. Eyang Pamekas selalu mengatakan---"
"Untuk apa kamu mempercayai pria tua pembohong itu?! Dia pembohong besar, Bumirang! Apa pun yang dia katakan hanyalah tipu daya!"
"Jangan dengarkan dia, Bumirang!"
Dua sisi dalam diri Bumirang terus berdebat, membuat jiwanya terombang-ambing di antara kobaran amarah dan lautan ketulusan. Meskipun di dalam dirinya terdapat banyak keistimewaan, tetapi Bumirang tetaplah manusia biasa yang bisa merasa sakit juga marah. Tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua, kerinduan Bumirang terhadap mereka merupakan momok paling menakutkan jika sisi gelap dalam hatinya sudah mulai bersuara.
"Lihatlah itu, Bumirang ...."
Lidah-lidah api tiba-tiba muncul di bidang pandang Bumirang, berkobar liar melalap apa saja yang ada di dekatnya. Suara jerit pilu menyayat hati terdengar, meratap memanggil namanya.
Tubuh Bumirang menegang, telapak tangan yang semula terbuka tengadah di atas paha perlahan mengepal. Wajahnya sekarang tidak hanya basah oleh peluh, tetapi juga air mata. Siksaan semacam inilah yang kerap dialaminya ketika tengah menjalani tirakat bulan mati. Dia harus bertarung melawan diri sendiri untuk mengalahkan sisi gelapnya. Hasil akhir pergumulan menentukan akan menjadi seperti apa Bumirang setelahnya.
Dalam mode seperti itu, Bumirang benar-benar terisolasi dari dunia luar. Apapun yang berlaku di sekitar, dia tidak bisa mendengar ataupun merasakan. Kamandaka memperhatikan raut wajah Bumirang yang tampak tidak baik-baik saja. Dia perlahan mendekat, lalu berlutut di hadapan Bumirang dan memperhatikan wajahnya dengan saksama.
"Huh? Ada cahaya di dahinya."
Setelah cukup lama memandang, rasa ingin tahu pun tidak mampu Kamandaka bendung. Perlahan dia mengulurkan tangan hendak menyentuh titik cahaya yang samar-samar menembus ikat kepala Bumirang. Namun, sebelum ujung jarinya berhasil menyasar target tiba-tiba sebuah benda menyerupai sabit, menyala-nyala, melayang ke arah Bumirang. Saat itu juga, sebuah bola cahaya kebiruan melesat secepat kilat merasuki tubuh Kamandaka.
Wajah dan sikap bodohnya seketika sirna. Matanya tiba-tiba menatap tajam, gestur pun tegak waspada, dan secepat bayangan berkelebat tangan kanannya menangkap sabit menyala-nyala yang hendak menghantam Bumirang.
"Kurang ajar!" Bersamaan dengan raungan murka suara perempuan, cahaya merah berkelebat dan langsung menghantam tangan Kamandaka yang sedang memegang sabit api. Benda itu terpelanting ke udara, sedangkan tubuh Kamandaka terdorong mundur dan berhenti saat menghantam pohon.
"Ugh ... uhuk uhuk ...." Kamandaka melenguh kesakitan dan terbatuk-batuk sambil memegangi dada yang rasanya seperti ditusu-tusuk. Sedikit darah segar mengalir di ujung bibir kanan dan dia pun perlahan mengelapnya menggunakan punggung tangan.
Perempuan tua jelamaan sabit api dan perempuan muda jelmaan cahaya merah, berdiri angkuh menatapnya. Ketika Kamandaka menaikan pandangan dan bertemu tatap, senyum culas dan tatapan penuh angkara tampak jelas di wajah mereka. Secara naluriah Kamandaka mengalihkan perhatian kepada Bumirang yang posisinya berada dalam jangkauan kedua perempuan itu.
Celaka. Apa yang harus aku lakukan? Aku cepat, tapi kedua wewe (perempuan dalam bahasa nyilu; bahasa siluman) ini juga cepat.
Dan saya salut Author bisa kepikiran menciptakan bahasa sendiri. Ini jadi nilai plus dan menambah kesan mistis. Terima kasih sudah membuat karya yang baik 👍
mungkinkah author punya jalannya sendiri /Hey//Hey/
cerita ini penuh dengan perjuangan, cinta kasih, juga tantangan
pokoknya berasa ugh.....banget
pada dasarnya Oyot Ngulo itu Ular yang seperti akar atau akar yang seperti ular...???
/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
bukannya lagi bertarung di luar y