Tak terima lantaran posisi sebagai pemeran utama dalam project terbarunya diganti sesuka hati, Haura nekat membalas dendam dengan menuangkan obat pencahar ke dalam minuman Ervano Lakeswara - sutradara yang merupakan dalang dibaliknya.
Dia berpikir, dengan cara itu dendamnya akan terbalaskan secara instan. Siapa sangka, tindakan konyolnya justru berakhir fatal. Sesuatu yang dia masukkan ke dalam minuman tersebut bukanlah obat pencahar, melainkan obat perang-sang.
Alih-alih merasa puas karena dendamnya terbalaskan, Haura justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Ervano hingga membuatnya terperosok dalam jurang penyesalan. Bukan hanya karena Ervano menyebalkan, tapi statusnya yang merupakan suami orang membuat Haura merasa lebih baik menghilang.
****
"Kamu yang menyalakan api, bukankah tanggung jawabmu untuk memadamkannya, Haura?" - Ervano Lakeswara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11 - Back To Single Era!!
Sekuat itu pendirian Ray untuk terus bersama. Namun, pendirian Haura untuk berpisah tidak kalah kuat, bahkan sangat kuat.
Tanpa peduli panggilan Ray, bahkan tatkala pria itu mengejarnya Haura terus fokus melaju dan tidak berniat menoleh ke belakang.
Sengaja dia hindari karena tidak ingin goyah lagi. Walau sakitnya luar biasa, tapi Haura merasa akan lebih baik pahit di awal sebagaimana yang dia utarakan sebelumnya.
Bukan dia tidak cinta, bukan pula berharap akan bersatu pada Ervano yang telah menghancurkannya. Namun, Haura hanya tidak ingin egois dan menjadi pemeran utama dalam kisah Ray yang seharusnya bisa mendapatkan wanita lebih baik darinya.
Dalam diam, Haura terus berharap bahwa Ray akan mendapat pengganti yang lebih baik. Meski saat ini Ray mengatakan menerima apapun keadaannya tetap saja Haura tidak bersedia.
Apalagi jika sampai terjadi seperti yang Ray katakan, menerima anak hasil perbuatan Ervano dengan suka rela, jelas Haura tidak bersedia.
Bisa-bisanya Ray sudah berpikir sejauh itu. Padahal, Haura sendiri bahkan tidak menginginkan kehadiran anak dalam dirinya. Mengingat ucapan Ray, sontak wanita itu menggelengkan kepala dan menepuk-nepuk perutnya dengan harapan tidak akan terjadi apapun di sana.
"Jangan sampai hamil, Ya Tuhan, bagaimana nasibku nanti? Sekecewa apa papa dan Mama? Mustahil aku tidak akan ditampar nantinya?"
Setakut itu Haura andai sampai hamil nantinya. Ketakutan yang tadi sempat memudar seketika menyeruak dan mengganggu pikiran Haura.
Alhasil, dia mulai kehilangan konsentrasi dan hampir saja menabrak pengendara motor dan berakhir diserang di tengah jalan.
"Lihat-lihat dong, Mbak!! Jangan mentang-mentang artis jadi seenaknya!!"
"Dia artis? Artis apa?"
"Artis, kurang terkenal mungkin tapi terserah ... ganti rugi dong, ini motor saya lecet!!"
Haura tidak memiliki tenaga untuk berdebat. Tanpa banyak bicara dia mengeluarkan semua uang yang ada di dompet sebagai ganti rugi motor korbannya itu.
"Cukup?"
"Cu-cukup kok, hati-hati lain kali ... jangan ngelamun nanti banyak yang_"
"Saya permisi," pamit Haura tanpa peduli nasihat dari kedua pria itu.
Sedikit pun dia tidak peduli dan tidak butuh dinasihati. Jiwanya saat ini benar-benar terasa kosong, bingung dan tidak tahu kemana tujuannya.
Haura hanya mengikuti kata hatinya. Lagi dan lagi, karena kegalauan itu Haura justru menghabiskan waktu di luar sampai malam.
Seakan tidak jera pasca mengalami hal buruk dalam hidupnya, Haura menyendiri di tempat sepi yang memungkinkan dia bisa menjadi korban atas kekerasan lain lagi.
Namun, tentang itu Haura jujur saja seakan tidak lagi peduli. Dengan tubuhnya yang merasa tak berharga itu, Haura tidak memiliki ketakutan andai terjadi hal buruk suatu saat nanti.
Sudah tentu dia sudah pamit dan meminta izin Abimanyu. Dia juga mengirimkan live location agar membuat kakaknya percaya dan juga meyakinkan Abimanyu bahwa dirinya tidak akan lama.
Hanya sesaat menikmati malam di ibu kota. Berharap dengan cara itu sesak di dalam dadanya akan musnah. Bisa dibilang, dia merasakan hari perpisahan bersama Ray - pria yang dicintainya.
"Hah!! Back to single era ... no cinta-cintaan, kita fokus karir agar tidak lagi menyakiti hati pria!!" ucap Haura bermonolog demi meyakinkan diri sendiri.
Dia tengah berusaha menata diri tanpa peduli luka lama. Hari ini, detik ini Haura bertekad untuk menjadi Haura yang baru.
Kehilangan per-awan bukan jadi alasan. Sebagaimana yang Haura yakini, mahkota wanita ada di kepala, bukan di bawah.
.
.
"Ya, fokus karir dan_ Ya Tuhan kenapa seberat ini ... aku sakit, sakit sekali."
Sekali lagi, Haura meratap dan menangisi nasibnya. Bohong jika dia tidak terluka, Ray adalah manusia paling berharga setelah keluarga yang dia punya.
Pria itu tipe idealnya, ketampanan dan sikapnya seolah sempurna. Jika saja penyebabnya bukan karena kehancuran ini, mungkin Haura akan kembali memohon kepada Ray agar tidak pergi.
Lagi dan lagi, dia kehilangan kendali. Menangis sejadi-jadinya di atas jembatan penyeberangan semacam ini sama sekali tidak pernah Haura rencanakan.
Seakan sengaja menenangkan diri di tengah gemerlapnya cahaya ibu kota, Haura berharap dengan cara ini akan berkurang sedikit lelahnya.
Cukup lama dia menghabiskan waktu dengan menangis di sana, hingga dirasa puas barulah Haura berbalik dan berniat angkat kaki.
Namun, tepat saat tubuhnya berbalik wanita itu dikejutkan dengan sosok pria tampan yang tengah berdiri tak jauh darinya.
Kehadirannya sungguh mengejutkan, Haura sampai mengira bahwa dirinya tengah berhalusinasi. Akan tetapi, jika memang berhalusinasi kenapa harus pria itu? Bukankah ada Ray yang lebih pantas hadir dalam lamunanya?
"Jangan dibiasakan, kamu punya seribu cara menyelesaikan masalah dibanding teriak-teriak seperti orang gila, Haura."
"Heuh?"
Mata Haura mengerjap pelan, Ervano bicara dan kini mendekat. Artinya bukan sekadar khayalan, tapi memang Ervano.
Sontak Haura mundur perlahan. Semakin dihindari, pria itu justru semakin dekat dan sialnya Haura justru tidak bisa menjaga keseimbangan dan hampir saja terjatuh.
Secepat kilat Ervano menangkap tubuh Haura hingga pandangan keduanya terkunci beberapa saat. Untuk pertama kali, Haura menatapnya sedekat ini.
"Sedang apa? Berencana bu-nuh diri?" tanya pria itu tanpa melepaskan Haura, baik pelukan maupun tatapan sama saja.
"Ck, bukan urusanmu!!" ketus Haura sembari mendorong tubuh Ervano agar menjauh darinya.
Tak lupa Haura mengusap tubuhnya yang tadi pernah Ervano sentuh seolah terkena noda dan berakhir senyuman tipis di wajah pria itu.
"Padahal sebelumnya lebih dari itu," gumamnya begitu pelan, tapi masih dapat terdengar oleh Haura.
"Apa katamu?"
"Ah, tidak," jawabnya kemudian memalingkan muka.
Haura yang masih kesal terus menatap jengkel pria di hadapannya. Cukup lama Haura perhatikan, hingga baru sadar dengan memar di wajah dan tangannya tampak terbalut perban.
Bukan sekadar perban biasa, tapi no-da da-rah di sana terlihat juga. Apa Haura peduli dengan lukanya? Tentu saja tidak. Namun, hal itu cukup mengganggu pikiran Haura dan mulai terpikir tentang Abimanyu.
"Luka dan memar itu ... bukankah Abimanyu bilang hanya kenalan?" Haura membatin, tentu sembari menatap teliti Ervano yang membuat pria itu salah mengartikan.
"Saya tahu saya tampan, tapi sampai kapan kamu terus menatap saya seperti seperti itu?"
"Cih, terlalu percaya diri ... siapa juga terpesona!! Ketemu saja sudah jadi bencana!!"
"Oh iya? Begitukah?"
"Banyak tanya, iya!! Puas?" sentak Haura berharap Ervano akan tersinggung dan angkat kaki segera.
Namun, alih-alih tersinggung pria itu justru terkekeh pelan dan berakhir membuat Haura semakin geram.
Dia yang tadi bersedih seketika hilang, tergantikan rasa ingin mendorong Ervano hingga terperosok ke tengah jalan.
"Wah, bisa-bisanya tertawa ... apa di sini ada yang lucu?"
"Tidak juga."
Tidak katanya, tapi Ervano kembali tertawa dan tingkah pria itu semakin membuat Haura kian muak.
"Bapak ngikutin saya?" tanya Haura langsung pada intinya karena dia memang menaruh kecurigaan akan kehadiran Ervano yang persis makhluk halus malam ini.
Tanpa mengelak, Ervano justru mengangguk hingga membuat mata Haura membulat sempurna. "What? Anda mau apa lagi? Masih kurang setelah menghancurkan saya? Hah?"
"Tidak."
"Lalu apa?"
"Saya hanya ingin melanjutkan pembicaraan yang tadi sempat tertunda."
"Bicara? Bicara tentang apa lagi?"
"Kita," jawab Ervano tetap santai.
"Kita? Apanya yang mau dibicarakan, sejak kapan saya dan Anda menjadi kesatuan yang disebut kita? Hah?"
Haura meluap-luap, jelas sekali seberapa dongkol hatinya. Menghadapi itu, Ervano hanya tersenyum tipis sebelum kemudian menjawab dengan santainya. "Sejak tadi malam, kamu lupa?"
Plak!!
.
.
- To Be Continued -
Assalamualaikum, selamat malam ... Last eps hari ini, semoga lulus dan tidak terhambat. See you esok hari, siapkan vote untuk Haura jika berkenan ya ... sarangheo♥️
Follow Ig : desh_puspita untuk visual dan ilustrasi novelnya.
dan Sukses selalu thor....