Alastar adalah sosok yang terperangkap dalam kisah kelam keluarga yang retak, di mana setiap harinya ia berjuang dengan perasaan hampa dan kecemasan yang datang tanpa bisa dihindari. Kehidupan rumah tangga yang penuh gejolak membuatnya merindukan kedamaian yang jarang datang. Namun, pertemuannya dengan Kayana, seorang gadis yang juga terjerat dalam kebisuan keluarganya yang penuh konflik, mengubah segalanya. Bersama-sama, mereka saling menguatkan, belajar untuk mengatasi luka batin dan trauma yang mengikat mereka, serta mencari cara untuk merangkai kembali harapan dalam hidup yang penuh ketidakpastian. Mereka menyadari bahwa meski keluarga mereka runtuh, mereka berdua masih bisa menciptakan kebahagiaan meski dalam sepi yang menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bita_Azzhr17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Pilihan yang Tidak Mudah
Hari-hari berlalu, namun suasana di antara Alarick dan Alastar belum sepenuhnya membaik. Meski mereka sudah bicara, ada jarak yang tetap terasa. Teman-teman mereka, Barram, Falleo, dan Faldo, mencoba menjaga keseimbangan agar konflik itu tidak merusak dinamika persahabatan mereka.
Di sekolah, Frasha merasa semakin terbebani. Ia tahu hubungannya dengan Alarick kini menjadi pusat perhatian, terlebih setelah foto-foto mereka terpampang di Mading. Setiap langkahnya selalu diikuti bisik-bisik siswa lain, membuatnya ingin menghilang dari pandangan.
Kayana yang biasanya cuek mulai menunjukkan sisi pedulinya. Setelah jam sekolah selesai, ia menghampiri Frasha di ruang OSIS.
"Frasha, gue tahu ini nggak gampang buat lo," ujar Kayana, membuka pembicaraan, duduk di dekat Frasha yang memandang kosong laptop di hadapannya.
Frasha menoleh, matanya tampak lelah. "Nggak gampang? Kayana, ini bahkan lebih dari sekadar nggak gampang. Gue nggak tahu harus gimana. Semua orang lihat gue seolah-olah gue penghancur persahabatan mereka."
"Lo nggak salah, Sha. Ini masalah mereka yang nggak terbuka satu sama lain dari awal," balas Kayana dengan nada serius. "Tapi kalau lo terus-terusan nyalahin diri lo sendiri, lo cuma bikin semuanya makin rumit."
Frasha terdiam, mencoba mencerna kata-kata Kayana.
"Kalau lo sayang sama Alarick, lo harus berdiri buat dia," lanjut Kayana. "Dan kalau lo peduli sama Alastar, lo juga harus kasih dia ruang untuk sembuh. Lo nggak bisa memaksakan semuanya selesai dalam semalam."
Kata-kata Kayana membuat Frasha merasa sedikit lebih tenang. Ia mengangguk pelan, meski hatinya masih diliputi kegelisahan.
Di sisi lain, Alarick sedang bersama Barram di ruang musik. Ia duduk di depan piano, memainkan melodi pelan sambil berbicara.
"Barram, gue nggak tahu harus gimana buat nyelamatin ini," ujar Alarick, menatap tuts piano dengan tatapan kosong.
"Lo udah coba yang terbaik, Rick," jawab Barram. "Tapi kadang, yang terbaik itu nggak cukup kalau orang lain belum siap nerima."
"Gue cuma nggak mau kehilangan mereka. Gue nggak mau kehilangan Frasha, dan gue juga nggak mau kehilangan Alastar. Tapi sekarang gue kayak ada di tengah medan perang," kata Alarick, suaranya terdengar putus asa.
Barram menepuk bahunya pelan. "Waktu akan nyembuhin semuanya, Rick. Lo dan Star cuma butuh waktu. Kalau lo terus-terusan maksa buat semuanya baik-baik aja sekarang, lo malah makin jauh dari dia."
Alarick menghela napas panjang. Ia tahu Barram benar, tapi rasa bersalahnya masih menghantui.
****
Di apartemen Alastar, suasana juga tidak kalah berat. Ia duduk di balkon bersama Kayana, menatap langit malam yang penuh bintang.
"Lo nggak bisa terus-terusan kayak gini, Star," ujar Kayana, memecah keheningan.
"Apa maksud lo?" tanya Alastar, meski ia tahu arah pembicaraan Kayana.
"Lo nggak bisa terus nyalahin Alarick. Lo tahu dia nggak sepenuhnya salah, dan lo juga tahu lo nggak pernah bilang apa-apa ke dia soal perasaan lo ke Frasha," kata Kayana tegas.
Alastar hanya menunduk, memainkan ujung jaketnya.
"Lo nggak bisa terus-terusan terjebak di masa lalu, Star. Frasha udah buat pilihan, dan lo harus belajar buat nerima itu," lanjut Kayana.
"Apa lo pernah ada di posisi gue, Kay?" tanya Alastar, suaranya hampir berbisik. "Lo pernah ngerasain gimana rasanya suka sama seseorang, tapi orang itu milik sahabat lo sendiri?"
Kayana terdiam sejenak sebelum menjawab. "Mungkin gue nggak pernah ada di posisi lo, tapi gue tahu gimana rasanya kalah. Gue tahu gimana rasanya nggak dipilih. Dan satu-satunya cara buat sembuh adalah dengan berhenti nyalahin orang lain atas rasa sakit lo."
Kata-kata Kayana menghantam Alastar dengan keras. Ia tahu Kayana benar, tapi mengakui kebenaran itu tidak semudah mendengarnya.
****
Beberapa hari kemudian, Frasha memutuskan untuk menemui Alastar. Ia tahu ini bukan hal yang mudah, tetapi ia merasa harus bicara.
"Star, bisa kita ngobrol?" tanya Frasha saat bertemu Alastar di taman sekolah.
Alastar mengangguk, meski ia tidak yakin apa yang akan ia dengar.
"Star, gue cuma mau bilang kalau gue nggak pernah bermaksud nyakitin lo. Gue tahu perasaan lo, dan gue tahu gue nggak akan pernah bisa ngebalasnya. Tapi gue harap lo tahu kalau lo adalah salah satu orang yang paling penting buat gue," kata Frasha dengan suara lembut.
Alastar menatap Frasha, ada campuran rasa sakit dan penerimaan di matanya. "Gue tahu, Frash. Gue cuma butuh waktu. Tapi gue harap lo juga ngerti kalau gue nggak bisa langsung balik ke kondisi seperti dulu."
Frasha mengangguk, memahami maksud Alastar. Ia tahu ini adalah langkah kecil, tetapi setidaknya ini adalah awal dari proses penyembuhan.
***
Di malam hari, Alarick duduk di balkon apartemennya, menatap kota yang berkilauan di bawah cahaya lampu. Ia tahu perjalanan ini belum selesai, tetapi ia merasa lebih tenang.
Mungkin benar apa yang dikatakan Barram dan Kayana: waktu akan menyembuhkan segalanya. Yang ia butuhkan sekarang adalah bersabar, menerima kenyataan, dan membiarkan semuanya berjalan sebagaimana mestinya.