Hamil atau tidak, Danesh dengan tegas mengatakan akan menikahinya, tapi hal itu tak serta merta membuat Dhera bahagia.
Pasalnya, ia melihat dengan jelas, bagaimana tangis kesedihan serta raungan Danesh, ketika melihat tubuh Renata lebur di antara ledakan besar malam itu.
Maka dengan berat hati Dhera melangkah pergi, kendati dua garis merah telah ia lihat dengan jelas pagi ini.
Memilih menjauh dari kehidupan Danesh dan segala yang berhubungan dengan pria itu. Namun, lagi-lagi, suatu kejadian kembali mempertemukan mereka.
Akankah Danesh tetap menepati janjinya?
Bagaimana reaksi Danesh, ketika Dhera tetap bersikeras menolak lamarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#1. Aku Hamil•
#1
Wajah cantik itu terlihat pucat, belakangan ia menyadari telah kehilangan banyak bobot tubuhnya, karena mual dan muntah yang kerap ia alami di pagi hari.
Dan kini benda tipis seukuran korek api itu telah memberinya jawaban, mual, muntah, pusing, bahkan ia tak bisa beranjak dari tempat tidurnya sebelum jam 11 siang. semua keanehan yang terjadi di tubuhnya, terjadi karena kini ia sedang mengandung.
Dhera meraba perutnya yang masih rata, air mata haru merebak, bahagiakah? Entahlah, ia tak pernah merasakan cinta untuk pria itu, tapi kini ia memiliki sebagian dari diri Danesh.
‘Lantas, tunggu apa lagi? ayo cepat, segera beritahu Kapten Danesh!’
Suara hatinya lantang berseru, karena Danesh sudah pernah mengatakan bahwa, “Hamil atau tidak, aku akan tetap bertanggung jawab menikahimu!” ujar Danesh Saat itu.
Tapi peristiwa emosional yang Danesh alami malam itu kembali terbayang, ketika Renata nekat meledakkan bom untuk memb^unuh dirinya sendiri, beserta Gerald. Danesh berteriak, meraung, bahkan seolah ia hendak berlari menyusul Renata yang tubuhnya musnah dilalap si jago merah.
Jika bukan karena Nick, Marco, dan Bastian, yang bekerja sama menahan tubuh Danesh, pastilah pria itu sudah benar-benar membawa dirinya sendiri ke dalam kobaran api.
Dhera mengusap air di sudut matanya, yah, seperti yang Dhera katakan sejak awal, tak ada keharusan bagi Danesh untuk bertanggung jawab. Karena Dhera juga tak pernah menyalahkan Danesh yang akhirnya tergoda, hingga mereka menghabiskan malam panas berdua.
Maka Dhera menguatkan dirinya sendiri, yah, menjauh pergi adalah pilihan terbaik, dengan demikian Danesh akan memahami, bahwa Dhera memang tidak hamil. Karena jika hamil, maka Dhera pasti akan mengaku pada pria itu.
•••
Setelah memastikan semua barang-barang pribadinya berpindah ke dalam 2 koper besar miliknya, Dhera pun meninggalkan apartemen.
Apartemen tersebut bukan miliknya, karena itu fasilitas ketika ia menjalankan misi. Keadaan kantor pusat carut-marut, pasca kedok asli Adipati Auriga terbongkar, kini mereka mengalami krisis kepemimpinan.
Dhera tak peduli, karena ia tak berminat kembali ke tempat tersebut, selain karena merasakan sakit akibat pengkhianatan, kini kondisinya pun tak memungkinkan lagi untuk menjalankan misi berbahaya.
Sepertinya ini juga adalah doa ibunya yang selalu memintanya berhenti dari pekerjaannya saat ini. Karena itulah Tuhan memaksa Dhera berhenti, dengan cara yang kejam. Sungguh miris.
Taksi yang Dhera pesan telah tiba, Dengan bantuan sopirnya Dhera memasukkan barang-barangnya ke bagasi mobil.
“Sesuai aplikasi, Nona?” tanya sopir taksi.
“Iya, Pak.”
Taksi pun berjalan, melintasi jalanan Ibu Kota Jakarta yang selalu ramai. Ojek, becak, hingga kopaja, semuanya berebut mendapatkan penumpang. Pedagang asongan, pedagang makanan, hingga supermarket pun juga sibuk memikat pembeli. Ah, rupa-rupa romantika hidup. Semua berjalan demi melanjutkan kehidupan yang harmoni dan selaras.
Taksi melintasi kantor polisi tempat Danesh bertugas, Dhera menatap bangunan tersebut hingga kedua matanya tak mampu lagi menatapnya karena jarak yang semakin jauh. Ia mengusap perutnya yang masih datar, ‘Ayahmu bekerja di sana, Nak’, Dhera berbicara dalam hati, sementara bibirnya tersenyum tipis.
Dhera tiba di rumah kedua orang tuanya, ia menyeret 2 koper besar kemudian meletakkan kedua benda tersebut di teras, karena tak akan lama singgah di rumah tersebut.
“Kakak.” Dhesiva yang membukakan pintu rumah, gadis ceria tersebut memeluk Dhera dengan sayang, bahkan terasa erat karena Dhesi sangat merindukan kakak sulungnya tersebut.
“Siapa Dhes?” tanya Ayah Randy.
“Kakak pulang, Yah.” Dhesi menjawab pertanyaan sang Ayah. “Ayo masuk, Kak, biar aku yang bawain kopernya.”
“Dhes, jangan! Kakak akan pergi lagi.”
Mendengar kalimat Dhera, wajah Dhesi menjadi muram, “Kak …” ujarnya dengan kedua mata berkaca-kaca. “Kakak sudah lama tak pulang, masa hari ini juga cuma mampir?”
Dhera tersenyum, kemudian menggandeng lengan Dhesi masuk kedalam rumah. “Ayah, sehat?” sapa Dhera sembari mencium punggung tangan Ayah Randy.
“Siapa Dhes?” Kali ini Bu Rita yang bertanya, ia tampak segar usai mandi.
“Kakak pulang, Bu.”
“Oh, pulang, tumben,” sapa bu Rita, dingin seperti biasa.
“Buu … “ Dhesi menegur bu Rita, gadis itu tak ingin sang kakak pergi lagi, karena ia begitu kesepian di rumah orang tuanya.
Dhera mencium punggung tangan bu Rita. “Bu, jangan khawatir, seperti biasa, aku tak akan lama.”
Bu Rita menatap datar wajah Dhera, ia melipat kedua tangannya di dada, “Ingat, Ibu memberimu waktu sampai akhir tahun.”
“Sampai akhir tahun pun aku tak akan pulang, Bu.”
“Kemana misimu kali ini?” tanya Ayah Randi, menengahi pembicaraan Dhera dan bu Rita.
“Aku sudah mengundurkan diri, Yah.”
“Baguslah, kalau sudah mengundurkan diri, ibu akan menghubungi bu Tita, agar mempercepat proses pencarian jodoh untukmu … “
“Aku hamil, Bu.”
Bu Rita yang hendak berdiri guna mengambil ponsel, tiba-tiba terdiam, dan …
Plak!
Sebuah tamparan Ayah Randy hadiahkan pada Dhera, “Ayah sudah mendidikmu menjadi wanita tangguh, agar Kamu tak mudah tergoda untuk tidur dengan sembarang pria! Tapi ternyata semua sia-sia!”
Dhera mengepalkan kedua tangannya diatas lutut, tak hendak pula ia menjelaskan apa yang sebenarnya telah dia alami. Dhera bukan gadis cengeng yang lemah, maka apa yang sudah ia lakukan, akan ia pertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya, termasuk keberadaan janin dalam kandungannya.
“Katakan siapa yang membuatmu hamil?!” teriak bu Rita. “Apa kurir rendahan itu?”
“Berhenti menghinanya, Bu. Dia pria yang baik.”
“Kalau dia baik, dia tak akan melakukan ini terhadapmu!”
“Kehamilanku, adalah tanggung jawabku, dan Aku tak akan menyalahkan siapapun.” Dhera tetaplah Dhera, si gadis tangguh segala medan. Jika di depan Danesh ia mengatakan tak akan meminta pertanggungjawaban, maka di depan orang tuanya pun ia mengatakan hal serupa.
“PERGI DARI RUMAH AYAH!! KAMU BUKAN ANAKKU!” Teriakan keras itu menggema di seluruh ruangan, Dhesi hanya bisa mengkerut ketakutan, belum pernah ia mendengar ayahnya semarah ini.
Dhera tak lagi membantah, ia pun berdiri dari tempat semula ia duduk, menunduk hormat mengucap salam, kemudian pergi dari rumah yang tak pernah membuatnya nyaman tersebut.
Di Airport, Dhera berjalan dengan langkah pasti tanpa menoleh ke belakang lagi. Meninggalkan banyak kenangan yang beberapa bulan ini ia ukir bersama Danesh, Marco, Bastian, dan Rara yang telah pergi mendahului mereka.