Rania terjebak dalam buayan Candra, sempat mengira tulus akan bertanggung jawab dengan menikahinya, tapi ternyata Rania bukan satu-satunya milik pria itu. Hal yang membuatnya kecewa adalah karena ternyata Candra sebelumnya sudah menikah, dan statusnya kini adalah istri kedua. Terjebak dalam hubungan yang rumit itu membuat Rania harus tetap kuat demi bayi di kandungannya. Tetapi jika Rania tahu alasan sebenarnya Candra menikahinya, apakah perempuan itu masih tetap akan bertahan? Lalu rahasia apakah itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon TK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13 Mulai Luluh
"Saya pulang."
Baru masuk, Candra sudah disambut Rania. Melihat perempuan itu yang sudah mandi dan terlihat cantik, membuatnya merasa senang sendiri. Candra lalu mendekat dan mengusap kepalanya, dari jarak sedekat ini baru bisa mencium wangi tubuhnya yang enak.
"Kamu cantik sekali Rania, sengaja ya dandan untuk saya?"
"Ti-tidak kok, tapi memang pakaian saya seperti ini."
Walaupun hanya memakai daster selutut, dengan rambut panjangnya yang tergerai, tapi di mata Candra tetap cantik. Rania pun tidak memakai make up, tapi wajah naturalnya itu sungguh sangat cocok saja. Kecantikannya khas perempuan desa sekali.
"Saya tahu kok kamu memang cantik, tapi saya suka kamu yang nyambut saya pulang kerja begini. Kamu tahu? Rasa lelah saya langsung menghilang gitu aja pas lihat kamu di rumah," ungkap Candra.
"Nenek bilang memang harus begini, saya cukup mengerti."
"Ternyata kamu tahu cukup banyak, saya suka."
"Mas mau mandi dulu atau makan sekarang?"
"Makan malamnya sudah siap?"
"Sudah, seperti permintaan Mas tadi, ada gulai ikan."
"Wih jadi laper, kayanya mau makan dulu."
"Ya sudah, ayo."
Ternyata bukan hanya gulai ikan yang Rania masak, tapi ada pendamping lain. Rania masak lumayan banyak karena untuk orang seperti Candra pasti tidak cukup hanya satu dua lauk saja. Berbeda dengan dirinya yang makan sederhana.
"Biar saya bawain ya Mas," ucap Rania memberanikan diri.
"Boleh, silahkan."
Candra memperhatikan perempuan itu yang membawakan nasi untuknya, bibirnya dari tadi terus melengkungkan senyuman, merasa senang saja. Setelah selesai, langsung disimpan di depannya.
"Kamu belum makan, kan?" tanya Candra.
"Belum, masa saya makan duluan, gak enak."
"Gak papa kok kalau misal sudah lapar, takut saya pulang malam juga."
"Enggak," tolak Rania.
Saat Candra menyuapkan sesendok makanannya ke mulut, matanya terpejam beberapa saat dengan senyuman lebar. Rania yang melihat ekspresi berlebih pria itu dibuat terhibur dan senang sendiri, Ia sudah menduga jika Candra menyukainya.
"Masakan kamu memang tidak pernah gagal," ucap Candra, "Mulai sekarang saya akan dimasakin kamu terus."
"Syukurlah kalau Mas suka."
"Tentu saja suka, kamu kan memang hebat masak. Saya lupa bilang kalau di sini ada kok pembantu."
"Oh ya? Tapi saya tidak melihat dari tadi."
"Kebetulan dia memang sedang cuti dari kemarin, anaknya melahirkan. Tapi besok sudah mulai kerja lagi kok."
"Oh gitu."
"Jadi nanti kamu jangan beres-beres rumah ya, biar sama bibi aja. Tapi boleh gak, kalau untuk masak kamu aja?"
"Boleh kok, malahan saya senang bisa bekerja."
Candra terkekeh kecil, "Kenapa senang? Kan mending diem aja santai."
"Takut saya bosen."
"Hm bener juga sih, tapi kayanya selain itu kamu juga rajin orangnya."
"Lumayan."
"Saya lebih suka masakan kamu di banding bi Minah, mungkin karena dia sudah agak tua."
"Namanya bi Minah?"
"Iya, mungkin hampir seumuran sama Nenek kamu lah."
"Sudah lumayan berumur juga ya, tapi memangnya masih kuat bekerja?"
"Dia sendiri yang melamar, tapi sepertinya masih kuat."
"Tapi Mas, kalau misal gak ada pembantu juga aku bisa kok ngerjain sendiri."
"Jangan dong Rania, kamu kan sekarang istri saya."
"Tidak apa kok."
"Enggak," tolak Candra kekeuh, "Apalagi kamu sedang hamil, jangan kecapean ah kasihan bayinya."
Benar juga, batin Rania.
"Ya sudah," desah Rania pasrah.
Percakapan di antara mereka lumayan santai, melihat Rania yang mulai banyak mengobrol juga membuat Candra senang sendiri. Berharap semoga ke depannya perempuan itu bisa lebih nyaman, mungkin dengan begitu hubungan mereka pun akan semakin akrab.
"Kamu punya handphone kan?" tanya Candra.
"Ada kok, ini." Rania sampai mengeluarkan ponselnya.
Melihat ponsel milik istrinya itu sudah jelek dan dari brand biasa membuat Candra tidak tega sendiri, "Nanti saya belikan yang baru ya."
"Tidak perlu, ini saja masih bagus kok."
Bagus dari mana? Kacanya saja sudah retak. Masa saja istri konglomerat punya ponsel jelek, nanti Candra dikatai pelit lagi karena menganggap istrinya tidak terurus dan pelit.
"Rania, sekarang kamu istri saya. Kamu tahu sendiri pandangan semua orang kepada saya itu bagaimana, jadi saya ingin kamu mulai membiasakan diri dengan lingkungan baru ini."
Rania menggigit bibir bawahnya lalu mengangguk pelan, Ia mengerti maksud perkataan pria itu. Membiasakan diri dengan lingkungan di sini sudah pasti cara hidup orang kaya seperti Candra. Dan dirinya yang dulu hanya orang biasa, harus membuang sikap katro itu.
"Iya Mas, saya akan berusaha," ucap Rania.
"Bagaimana kalau mulai hari ini kita tidak terlalu formal?"
"Maksudnya? "
"Kamu sadar tidak kalau bicara kita ini terlalu formal untuk ukuran suami istri?"
Sebenarnya Rania sadar, Ia pun mengangguk pelan.
"Sebenarnya saya bisa bersikap lebih santai, tapi takut membuat kamu tidak nyaman," ucap Candra.
"Malahan saya yang takut membuat Anda tidak nyaman."
"Tidak Rania, saya malah lebih ingin kita lebih santai saat bersama. Bisa?"
"Aku usahakan."
"Nah begitu, jadi tidak terlalu canggung."
Selesai makan malam, Candra ke kamarnya untuk mandi sebelum semakin malam karena pasti akan dingin. Sedangkan Rania masih di dapur merapihkan bekas makan dan mencuci piring, benar-benar rajin.
Rania lalu melihat Candra yang sedang merokok di halaman belakang sambil ber teleponan, entah kenapa Ia pun menghampiri saja. Candra yang melihat kehadirannya lalu memintanya duduk lewat lirikan mata dan isyarat tangan.
"Oh iya, besok belikan ponsel baru ya, lengkap dengan kartu-kartunya. Kalau beli dari desa sudah pasti tidak ada, kamu ke luar kota sebentar. Saya tunggu."
Apakah itu untuknya? Batin Rania.
Candra pun mematikan panggilan itu dan tersenyum ke arahnya, "Kamu biasanya tidur jam berapa Rania?"
"Sebentar lagi, aku tidak suka tidur terlalu malam."
"Kebalik ya, aku malah tidak suka tidur terlalu pagi."
Rania terkekeh kecil, "Ini sudah malam, kok pagi sih?"
"Hahaha iya, menurut saya jam delapan sembilan itu masih pagi untuk tidur."
"Tapi kalau tidur terlalu malam kan selalu gak enak badan, besok paginya pun bangunnya suka kesiangan."
"Enggak juga, aku selalu bangun pagi untuk jogging. Sebagai pengusaha seperti aku, bangun siang itu sangat fatal sekali."
"Berarti Mas ini cukup produktif ya orangnya."
"Bisa dikatakan begitu juga."
Rania cukup kagum pada Candra, karena di usianya yang masih terbilang muda tapi sudah sukses. Memang Ia belum tahu banyak mengenai pria itu, tapi Rania tahu kalau suaminya itu adalah pekerja keras sampai bisa mencapai titik ini.
"Kamu sudah minum susu, kan?" tanya Candra.
"Aku jarang minum. "
"Loh kenapa?"
"Harganya lumayan mahal, jauh juga belinya."
"Jangan dong, pokoknya harus rajin. Besok kita belanja ya, kita beli apapun kebutuhan untuk kamu. Anak aku harus sehat."
Saat pria itu menyebut bayi di perutnya sebagai anaknya, membuat Rania tersentak sendiri. Candra terlihat benar tulus, apakah pria itu sudah ada rasa sayang pada anaknya ini?