~Jingga melambangkan keindahan dan kesempurnaan tanpa celah ~
Cerita ini mengisahkan tentang kehidupan cinta Jingga. Seorang yang rela menjadi pengantin pengganti untuk majikannya, yang menghilang saat acara sakral. Ia memasuki gerbang pernikahan tanpa membawa cinta ataupun berharap di cintai.
Jingga menerima pernikahan ini, tanpa di beri kesempatan untuk memberikan jawaban, atas penolakan atau penerimaannya.
Beberapa saat setelah pernikahan, Jingga sudah di hadapkan dengan sikap kasar dan dingin suaminya, yang secara terang-terangan menolak kehadirannya.
"Jangan harap kamu bisa bahagia, akan aku pastikan kamu menderita sepanjang mejalani pernikahan ini"~ Fajar.
Akankah Jingga nan indah, mampu menjemput dinginnya sang Fajar? layaknya ombak yang berguling, menari-nari menjemput pasir putih di tepi pantai.
Temukan jawabannya hanya di kisah Jingga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rengganis Fitriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Perhatian
Malam itu hujan turun dengan begitu lebatnya membasahi bumi, sinar bulan begitu lenyap seketika tergantikan awan petang yang singgah di langit. Layaknya malam ini, semua terasa begitu tegang menunggu kehadiran dokter yang akan memeriksa Mama mertuanya.
Hampir sepuluh menit berlalu, tak ada tanda-tanda vital dari Bu Nadin yang memberikan isyarat untuk lekas membuka matanya. Semua begitu khawatir dan resah. Raut wajah tegang terpancar sempura di wajah-wajah penghuni yang ada dalam kamar itu.
Jingga meraih satu botol minyak angin, perlahan ia memberanikan diri untuk membuka kemeja yang di gunakan Bu Nadin. Semerbak aroma minyak angin langsung memecah keheningan dalam ruangan. Semua mata tertuju padanya.
Pak Angga, sedikit memberikan senyuman pada Jingga, seolah sebagai isyarat jika ia menyetujui apa yang akan di lakukannya.
Berbanding terbalik dengan tatapan sinis dan juga menakutkan, tertuju langsung untuknya dari mata Fajar.
“Saya hanya ingin mengoleskan minyak angin pada Mama”. cicitnya lirih dan menunduk, dengan tangan yang kembali fokus membuka satu persatu kancing bagian atas kemeja Bu Nadin.
Jingga, mengoleskan minyak angin itu di leher Bu Nadin, di bawah hidung dan juga memberikan sedikit pijatan lembut pada bagian belakang lehernya.
Tak ad respon dari tubuh Bu Nadin.
Kini tangan Jingga, beralih memberikan minyak angin pada dada Bu Nadin, mengoles dengan lembut minyak angin di sana.
“Duduklah di sini”, ucap Fajar dengan menggeser tubuhnya untuk mundur memberikan ruang pada Jingga, mengoleskan minya untuk Mamanya.
Kini Jingga, beralih memijat kaki Bu Nadin dan mengoleskan minyak angin hampir di seluruh tubuhnya. Tak berselang lama Bu Nadin mulai menggeliat membuka matanya dengan cukup pelan. Pandangannya kabur dan juga kaget kala mendapati semua orang berkumpul di kamarnya.
Bu Nadin mencoba untuk bangkit dari posisi tidurnya.
“Ma istirahat saja dulu, biar Jingga ambilkan minum untuk Mama”.
Tak ada jawaban yang terlontar dari Bu Nadin, ia masih menatap Jingga dengan pandangan tak suka.
Sementara Jingga, ia langsung keluar dari kamar meracik minuman hangat untuk Mama mertuanya.
Lima langkah kemudian.
“Janan nak, biar Papa panggil Susi saja”.
“Pa, Jingga menantu di rumah ini sudah sewajarnya Jingga melakukan hal ini untuk Mama”.
“Kalau dasarnya upik abu, ya tetap saja upik abu”. Fajar melirik sekilas ke arah Jingga.
Pak Angga begitu kesal dengan perilaku sang anak, yang sudah kelewat batas, memperlakukan istrinya seperti itu.
Jingga mulai menuju dapur meracik minuman tradisional untuk menghangatkan badan. Ia memilih untuk membuat wedang jahe, selain dapat menghangatkan badan, wedang jahe juga berkhasiat untuk menurunkan tekanan darah serta dapat meningkatkan kesehatan jantung.
Tak berselang lama, Jingga kembali masuk dengan membawa segelas air hangat, dengan kepulan asap di atasnya serta beberapa rempah-rempah yang mengambang di dalam gelas.
“Masih panas Ma, hati-hati”. Tangannya terulur menuangkan gelas itu ke dalam cawan agar lebih cepat dingin, Jingga mengipas-ngipas dengan tangannya kepulan asap yang ada di atasnya.
Dengan wajah yang cukup kesal Bu Nadin, meraih lepek yang di bawa Jingga, menempelkan bibirnya pada ujung lepek kaca, lalu menyeruput air hangat cenderung panas dengan kencang, hingga ia merasakan udara pun turut masuk kedalam mulutnya.
“Slruppp’.
Matanya mendelik sempurna kala merasakan wedang tersebut.
“Ah minuman apa ini yang kamu berikan padaku? Kamu ingin membuatku tambah sakit dengan minuman yang terasa aneh dan pedas”. Sorot mata Bu Nadin semakin berkobar kala merasakan minuman yang begitu asing menurutnya.
“Itu wedang jahe Ma dan gula merah, kaki, tangan dan juga leher Mama terasa dingin sekali sewaktu Jingga, mengoleskan minyak angin tadi. Insyaallah setelah minum wedang jahe ini badan Mama akan terasa lebih hangat”.
“Sudah singkirkan saja minuman aneh itu, yang ada nanti aku semakin mual”. Perintah dari Bu Nadin dengan mengibas-ibaskan tangannya menyuruh Jingga, untuk menjauh darinya.
Tak ingin membuat masalah semakin runyam Jingga, menuruti perintah sang Mama mertua. Kini ia mundur beberapa langkah dari pembaringan Bu Nadin dan duduk di sofa yang berada si sebelah pintu masuk kamarnya. Jingga juga membawa serta wedang jahe yang ia buat tadi.
Lagi-lagi Pak Angga menatapnya dengan iba.
Sementara Bu Nadin masih diam, enggan untuk mengatakan sesuatu pada semua orang yang ada dalam kamar tersebut. Ia begitu kesal dengan keadaan yang ada.
Hening, begitulah aura yang terasa dalam kamar. Ketegangan di antara Fajar dan juga Pak Angga masih begitu terasa.
Beberapa saat kemudian Bu Nadin, merasakan hal yang berbeda dalam tubuhnya, ia tak menggigil lagi. Tubuhnya mulai terasa menghangat dan sedikit nyeri yang ada di lehernya mulai berkurang.
Ia menatap segelas wedang jahe yang di bawa Jingga.
Ingin rasanya meminum kembali minuman itu, hanya saja ia malu untuk mengutarakan niatnya. Bu Nadin lebih memilih untuk diam. Dalam hati berfikir nanti akan meminta Susi, untuk membuatkan minuman yang sama seperti yang jingga bawa untuknya.
Tiba-tiba dalam keheningan dalam kamar itu, terdengar suara ketukan pintu. Pak Angga lekas mempersilahkan untuk masuk .
Tampak seorang laki-laki muda dengan perawakan tinggi, kulit putih, menggunakan kemeja warna biru muda dan sebuah tas yang ada di tangannya.
“Bu Nadin kenapa Tuan?”.
“Sepertinya tekanan darahnya tinggi Yu”.
“Saya periksa dulu ya Bu, rileks ya Bu”. Dokter muda itu mulai mengeluarkan beberapa peralatan medis yang ia bawa, memeriksa keadaan Bu Nadin dengan segera.
Jingga turut berdiri dan bergabung mendekat ke pembaringan mertuanya.
Bayu kembali memeriksa tekanan darah Bu Nadin dan denyut nadinya.
“Tekanan darahnya sedikit naik, tapi masih dalam batas aman. Saya akan meresepkan obat untuk Bu Nadin”.
Pandangan Bayu menatap semua orang yang ada di dalam kamar tersebut satu persatu, menjelaskan keadaan bu Nadin. Pandangannya berhenti cukup lama kala menatap wajah Jingga yang terlihat asing dalam jajaran keluarga Pak Angga Dirgantara.
“Cantik”. Ucapnya lirih, namun dapat terdengar orang di sebelahnya.
Fajar yang mendapati Bayu, memandang Jingga cukup lama membuatnya tak suka.
“Eem Hem’. sebuah deheman Fajar membuyarkan tatapan Dokter Bayu yang terpana pada pesona Jingga.
“Bu Nadin sebaiknya banyak-banyak istirahat, makan makanan yang bergizi dan juga jaga pola pikir jangan terlalu stres”.
“Ini minuman apa?”, Tunjuk Dokter Bayu pada segelas air yang di bawa Jingga.
“Jahe anget Dok”. Jawabnya dengan pelan.
“Bagus ini Bu, sebaiknya perbanyak minum ini untuk menghangatkan tubuh dan merilekskan pikiran, jahe juga dapat menurunkan tekanan darah dan mengurangi rasa mual yang sedang mendera”. Puji Dokter Fajar yang memandang lekat wajah Jingga, ia semakin kagum pada perempuan di depannya.
Fajar, mencoles benar-benar tak suka dengan tatapan yang diberikan Bayu, pada Jingga.