Tipe pria idaman Ara adalah om-om kaya dan tampan. Di luar dugaannya, dia tiba-tiba diajak tunangan oleh pria idamannya tersebut. Pria asing yang pernah dia tolong, ternyata malah melamarnya.
"Bertunangan dengan saya. Maka kamu akan mendapatkan semuanya. Semuanya. Apapun yang kamu mau, Arabella..."
"Pak, saya itu mau nyari kerja, bukan nyari jodoh."
"Yes or yes?"
"Pilihan macam apa itu? Yes or yes? Kayak lagu aja!"
"Jadi?"
Apakah yang akan dilakukan Ara selanjutnya? Menerima tawaran menggiurkan itu atau menolaknya?
***
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Wajah Ara memerah, bibirnya juga merah dan sedikit bengkak, matanya berkaca-kaca menahan rasa pedas yang menyapa lidahnya berkali-kali. Namun, itu semua tak mengurangi rasa sakit hatinya.
Selain itu, sebenarnya Ara juga sudah terbiasa memakan mie pedas seperti ini. Selagi tidak ada yang melarang atau mengawasinya, maka Ara akan bebas-bebas saja.
"Wah, gila. Yang bikin bumbunya wajib diacungi jempol," gumam gadis itu.
"Suapan terakhir!" Ara langsung melahap suapan terakhir mie pedas itu. Setelah mengunyah sampai habis, Ara buru-buru minum susu yang ada di kotak. Susu kotak 1 liter itu langsung Ara minum dari tempatnya.
Selesai makan mie dan minum susu serta mencuci piring bekasnya, Ara langsung berjalan menuju kamarnya. Namun baru sebelah kakinya menapak anak tangga, bel rumah berbunyi.
Deg!
"Itu bukan dia, kan?" gumam Ara. Tubuhnya mematung.
Ting tong
Bel nya berbunyi lagi. Ara memegang dadanya yang berdegup kencang. Dengan perlahan gadis itu berjalan menuju pintu utama. Dalam hati, Ara berharap itu bukanlah Gevan.
Ceklek
Pupus sudah harapannya.
Gevan, pria bertubuh kekar nan tegap itu berdiri sambil menatapnya tanpa dosa. Ara menghela nafas, ia menggaruk keningnya yang tak gatal.
"Apa saya boleh masuk?" tanya Gevan. Kedua alisnya terangkat melihat reaksi Ara.
Ara menyingkir, mempersilakan Gevan masuk. Kaos yang melekat di tubuh tegap pria itu terlihat sedikit basah karena Gevan berlari menuju teras tadi. Untungnya ada satpam yang mau membukakan gerbang. Tentunya Gevan memiliki alasan untuk bisa masuk ke dalam.
"Kenapa Bapak datang ke sini, sih?"
Tadi Om, sekarang Bapak. Ara benar-benar tidak punya pendirian.
Gevan mengikuti langkah Ara. Di tangannya ada plastik putih berisi makanan ringan dan juga mie. Karena memang tujuannya kemari adalah makan mie bersama, jadi Gevan inisiatif untuk beli mie sendiri.
"Kamu yang suruh," jawab Gevan.
"Panggil nama saja, jangan panggil Bapak. Saya bukan Bapak kamu," lanjut Gevan. Telinganya panas mendengar panggilan Ara untuknya.
"Itu panggilan sayang namanya. Bapak gak asik!" cetus Ara.
Mereka berdua duduk bersebelahan di sofa panjang.
"Umur saya baru 24 tahun," sahut Gevan.
"Tuh kan tua," cibir Ara.
Gevan menghela nafas. Akhirnya dia tak lagi menegur Ara. Suka-suka gadis itu saja lah. Cewek selalu ribet.
"Bapak kenapa pake ke sini malam-malam, apa kata tetangga nanti? Bisa-bisa kita digrebek warga nanti," kesal Ara.
"Jangan salahkan saya, kamu yang menyuruh saya ke sini tadi," ucap Gevan.
Ara melipat kedua tangannya di depan dada.
"Aku cuma bercanda padahal!"
"Tapi, saya gak suka bercanda."
Segala ocehan Ara selalu Gevan timpali. Ini seperti bukan dirinya yang sebenarnya. Gevan yang asli adalah galak dan tak tersentuh. Lalu apa ini?
"Ternyata hidup Bapak se-kaku itu ya, sampe gak suka bercanda," cibir Ara.
Gevan diam tak menjawab lagi. Jujur, mulutnya lelah untuk selalu menjawab ocehan Ara.
"Ini Bapak beneran mau makan mie di sini?" tanya Ara sambil mengintip isi plastik yang Gevan bawa tadi.
"Seperti yang kamu tawarkan pada saya," jawab Gevan.
"Tapi, aku udah makan mie tadi. Baru aja habis."
"Kalo gitu aku temenin Bapak makan aja, ya. Bentar aku bikinin dulu," lanjut Ara dan langsung melenggang ke dapur setelah mengambil satu bungkus mie yang Gevan bawa.
Gevan menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa, dia menatap isi rumah yang dia pijak saat ini. Memang mewah, tapi dindingnya kosong dan perabotannya pun tidak terlalu banyak. Rumah sebesar ini rasanya aneh jika ditinggali Ara seorang diri.
Memang benar, sesuatu yang mewah belum tentu membahagiakan.
Gevan sudah tau apa yang terjadi di kehidupan Ara. Koneksinya memang sekuat itu. Apapun yang ingin ia selidiki, pasti akan terbongkar sampai akar. Dia juga tau tentang Ara yang dibenci keluarganya.
Sebenarnya tanpa menyelidikinya pun, sejak dulu Gevan tau semua tentang Ara.
"Bapak suka kopi? Mau aku buatin, gak?" tanya Ara. Dia kembali membawa sepiring mie buatannya untuk Gevan. Ada toping telur mata sapi, sosis dan juga sawi di atas mie tersebut.
"Saya suka apapun yang kamu buat," jawab Gevan.
"Gombal!" cibir Ara. Dia pun balik lagi ke dapur untuk membuatkan kopi.
Ara suka kopi, tapi bukan kopi hitam. Jika stok kopinya sudah habis, Ara pasti akan beli lagi, karena memang secinta itu dia dengan kopi.
Gevan menatap sepiring mie buatan Ara. Bentuknya begitu indah di matanya, dia jadi sayang untuk memakan mie itu.
"Di makan, Pak. Jangan cuma diliatin doang!" celetuk Ara yang baru saja tiba. Dia membawa 2 gelas kopi.
"Wajib habis pokoknya. Aku buatinnya pake cinta." Ara menyengir.
Gevan berdehem. Dia pun mulai memakan mie nya. Benar-benar nikmat. Rasanya bahkan beda dengan mie buatannya, entah bumbu apa yang Ara tambahkan ke dalam mie itu.
"Itu semuanya buat kamu." Gevan menunjuk plastik putih di atas meja menggunakan dagunya.
Ara yang tadi sedang memainkan ponselnya pun menoleh.
"Beneran?" tanyanya.
Gevan mengangguk, karena mulutnya sibuk mengunyah.
"Ah, Bapak repot-repot segala. Jadi enak kan akunya," cengir Ara. Dia mulai menggeledah isi plastik tersebut. Sedari tadi dia memang menunggu Gevan berkata seperti itu.
"Kalau kurang, besok kita beli lagi," ucap Gevan. Pria ini memang royal pada orang terdekatnya. Idaman Ara sekali.
"Ini lebih dari cukup kali, Pak," ucap Ara. Mengingat dia tinggal sendirian, mana mungkin dia bisa menghabiskan snack itu dalam waktu singkat.
"Aku gak tau niat Bapak sebenarnya apa. Tapi, kalo bapak royal gini, aku pasrah aja sih. Mau diajak tunangan atau nikah pun aku oke aja," ucap Ara. Cengiran nya tak luntur sedikitpun.
Seketika pikiran Ara berubah. Tadinya dia ragu untuk menerima Gevan sebagai calon suaminya, tapi, sekarang tiba-tiba dia mau. Umumnya, para perempuan mencari tipe pasangan hidup itu ialah yang punya uang atau kaya dan pastinya royal juga. Kalau kaya tapi pelit? Sorry, gak dulu. Gitu kata Ara.
Di dalam diri Gevan, Ara menemukan paket lengkap. Ganteng, berduit, royal, dan sepertinya bisa memanjakan Ara juga. Intinya paket lengkap lah. Jodoh memang gak kemana. Ara merasa beruntung bisa dilamar pria di sampingnya ini.
"Jangan biasakan main hp kalau lagi sama saya," celetuk Gevan. Ia mengelap bibirnya dengan tisu, setelah itu meminum kopi buatan Ara.
Ara mengerjapkan matanya lalu menyengir. Dia pun segera mematikan ponselnya. Sebenarnya bukan terbiasa, tapi Ara tak pandai cari topik pembicaraan, jadilah dia memainkan ponselnya dari pada ngang ngong.
"Maaf, Pak," ucap Ara.
"Bapak mau nambah lagi?" tanya Ara saat melihat piring Gevan sudah kosong.
Gevan menggeleng. "Kamu bohongi saya. Katanya mau makan mie berdua."
"Kan cuma bercanda tadi." Bibir Ara cemberut. Kalau tau Gevan beneran datang, Ara pasti menunggu pria itu dan makan mie bersama. Sayangnya dia sudah kenyang lebih dulu karena bukan hanya 1 bungkus mie saja yang dia makan, tapi 2 sekaligus.
"Lain kali, deh, Pak. Janji!" Ara menyengir.
"Sekarang kamu mau apa? Langsung tidur?" tanya Gevan.
"Mana bisa langsung tidur, nih lihat. Kopi nya udah hampir habis, kayaknya aku bisa begadang sampe pagi."
"Kalau Bapak, mau pulang sekarang atau besok?" Ara menyengir di akhir ucapannya.
"Boleh sampai besok di sini?" Kedua alis Gevan terangkat.
"Ya enggak lah! Pake nanya!"
Lihat, bagaimana Gevan tak sakit kepala menghadapi kerandoman Ara? Padahal ucapan gadis itu terdengar seolah menawarinya untuk pulang besok saja.
"Pak, mau nonton film gak? Aku banyak koleksi film yang belum aku tonton soalnya." Tanpa mendengar balasan Gevan selanjutnya, Ara beranjak menuju kamarnya untuk mengambil laptop dan selimut serta bantal.
Dan ya, malam itu mereka habiskan untuk menonton film bersama di ruang tamu. Dan baru kali ini Gevan melakukan hal itu bersama seorang gadis. Karena selama ini hidup Gevan terlalu monoton. Bahkan dia jarang menonton film. Bersama Ara, Gevan menemukan sesuatu yang tak pernah dia temukan sebelumnya.
***
LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE
indah banget, ga neko2
like
sub
give
komen
iklan
bunga
kopi
vote
fillow
bintang
paket lengkap sukak bgt, byk pikin baper😘😍😘😍😘😍😘😍😘