Dua kali Kenan melakukan kesalahan pada Nara. Pertama menabrak dirinya dan kedua merenggut kesuciannya.
Kerena perbuatannya itu, Kenan terpaksa harus menikah dengan Nara. Namun sikap Kenan dan Mamanya sangat buruk, mereka selalu menyakiti Nara.
Bagaimana perjalanan hidup Nara?
Akankah dia mendapat kebahagiaan atau justru menderita selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZiOzil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 13.
Hari-hari yang Nara lalui sungguh berat, hampir setiap hari dia merasakan sakit hati dan menangis karena kata-kata Windy maupun sikap sombong Kenan. Namun Nara tak ingin lemah, dia berusaha tetap tegar dan kuat. Dia bahkan beberapa kali membantah ucapan kasar Kenan padanya.
Karena hari ini weekend dan Hendra ada di rumah, Nara pun bisa makan dengan tenang di meja makan. Kalau tidak ada Hendra, Windy pasti akan mengusir dan memarahinya.
Nara merindukan Heri dan Anna, sejak mereka meninggal beberapa Minggu yang lalu, Nara belum pernah mengunjungi makam Om dan Tantenya itu. Walaupun keduanya sering bersikap buruk pada Nara, tapi Nara tetap menyayangi kerabatnya tersebut.
"Hem, Pak. Boleh enggak hari ini saya berkunjung ke makam Om dan Tante saya?" tanya Nara hati-hati.
"Ya, tentu boleh, dong! Kamu pergi bersama Kenan, kan?"
Nara melirik Kenan yang duduk di sampingnya, kemudian menggeleng, "Enggak, Pak. Saya pergi sendiri saja."
"Tapi kamu belum pulih, Papa enggak bisa izinkan kamu pergi sendiri. Jadi biar Kenan yang antar!"
"Tapi hari ini aku ada janji dengan teman-temanku. Aku tidak bisa!" bantah Kenan.
"Utamakan istrimu, bukan teman-temanmu. Pergi bersama Nara atau hari ini kau jangan keluar kemana pun," ucap Hendra tegas.
"Pa, jangan memaksa Kenan, dong! Dia kan juga ada acara," protes Windy.
"Jangan terus-terusan membelanya, Ma! Sebagai suami dia harus selalu berada di sisi istrinya, bukan malah asyik sendiri!" sungut Hendra.
"Pak, tidak apa-apa! Saya bisa pergi sendiri, kok." Nara menengahi.
"Biarkan saja, Nara! Sudah seharusnya dia melakukan hal itu," sahut Hendra tegas, "dan satu hal lagi, berhenti memanggil saya Pak! Sekarang kamu juga anak saya, jadi panggil Papa!"
Windy dan Kenan pun saling pandang, sementara Nara hanya terdiam mendengar permintaan Hendra itu.
"Kamu dengar itu?" Hendra memastikan.
"Iya, Pak, eh ... maksudnya Pa," jawab Nara canggung.
Baik Windy maupun Kenan merasa kesal dengan sikap keras kepala Hendra, dan mereka semakin membenci Nara karena menganggap wanita itu sebagai penyebab semua ini.
***
Setelah bersiap-siap, Nara dan Kenan pun akhirnya berangkat dari rumah bersama, tapi baru beberapa meter melaju, Kenan menghentikan mobilnya.
"Turun!" pinta Kenan.
"Kenapa turun di sini?" tanya Nara bingung.
"Kau pikir aku akan berbaik hati mengantar mu? Jangan bermimpi!" ujar Kenan sinis.
Nara pun segera turun dengan perasaan kesal, dan Kenan kembali melajukan mobilnya, meninggalkan Nara begitu saja di pinggir jalan.
Nara lalu berjalan kaki menuju halte bus yang lumayan jauh dari rumah Hendra, karena uangnya hanya cukup untuk menaiki kendaraan umum itu. Uangnya tidak akan cukup jika menaiki ojek online ataupun taksi.
Namun tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di samping Nara, membuat wanita manis itu terkejut dan langsung bergerak menjauh.
"Hai, Nara," sapa si pengendara motor itu sembari melepas helm full face nya.
"Rendy ...?" Nara terkejut saat mengetahui ternyata itu adalah Rendy.
Rendy tersenyum manis.
"Wah, motor baru, ya?" puji Nara, matanya berbinar mengamati sepeda motor keluaran terbaru yang Rendy kendarai itu.
"Iya, aku baru bongkar celengan, jadi beli motor," seloroh Rendy.
"Kamu ini ada-ada saja."
Rendi tertawa, tapi pandangannya tertuju pada lengan Nara yang masih dibebat perban elastis.
"Tangan kamu kenapa, Ra?" tanya Rendy cemas.
"Oh, tangan aku patah. Soalnya beberapa Minggu yang lalu aku kecelakaan. Tapi sekarang sudah baikkan, kok!"
Rendy terkesiap, "Kecelakaan? Kok bisa?"
"Ya bisalah, namanya juga sudah nahas," jawab Nara enteng.
"Maksud aku kok bisa sampai kecelakaan, kamu ditabrak atau gimana?" cecar Rendy gemas.
"Aku ditabrak mobil saat mau nyebrang, Ren."
"Astaga! Kamu kenapa enggak kabarin aku?"
"Aku enggak mau buat kamu cemas," sahut Nara, sejujurnya dia tak ingin Rendy tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Iya, setidaknya kan aku tahu kalau kamu sedang sakit."
"Sudahlah, semua sudah berlalu, lagian aku enggak apa-apa, kok," balas Nara sembari tersenyum, dia kemudian mengalihkan pembicaraan, "oh iya, kamu sedang apa di sini?"
"Rumah aku disekitar sini."
Nara tercengang, dia baru tahu kalau Rendy tinggal disekitar tempat itu.
"Kamu sendiri kenapa bisa ada di sini?" lanjut Rendy yang heran sebab Nara berada di area perumahan elite tersebut.
Nara mendadak gugup, dia tak mungkin mengatakan jika sekarang dia tinggal di rumah Kenan, karena pemuda sombong itu pasti marah kalau sampai temannya ada yang tahu tentang mereka.
"Ra." Rendi menyentuh pundak Nara karena wanita itu melamun.
Nara tersentak, "Eh, itu tadi aku ke rumah temannya Om ku, ada perlu."
"Oh. Jadi sekarang kamu mau ke mana? Pulang?"
Nara terdiam, sepertinya dia harus berbohong agar Rendy tidak curiga.
"I-iya, Ren."
"Kalau begitu biar aku antar!"
"Eh, enggak usah! Aku bisa pulang sendiri, kok!" tolak Nara.
"Ra, jangan menolak! Aku enggak akan bisa tenang kalau membiarkan kamu pulang sendiri dalam keadaan seperti ini. Apalagi langit sudah mulai mendung begini." Rendy menunjuk awan hitam yang mulai berkumpul di langit.
"Tapi, Ren!"
"Ya sudah, cepat naik! Kalau enggak, aku marah, nih!" ancam Rendy, dia tahu Nara jenis orang yang tidak mau merepotkan orang lain, dan satu-satunya cara agar wanita itu mau menerima tawarannya adalah dengan mengancam seperti yang dia lakukan saat ini.
Dengan terpaksa Nara mengalah, "Iya, deh."
"Ya sudah, buruan naik. Tapi hati-hati!"
Nara memegang pundak Rendy lalu naik ke atas motor pemuda itu dengan perlahan.
"Sudah?"
"Sudah," sahut Nara.
"Pegangan, ya!"
Nara meremas jaket yang Rendy kenakan, dan pemuda itu segera melajukan sepeda motornya. Mau tak mau Nara harus berbohong dan pura-pura pulang ke rumah lamanya.
Namun belum lagi sampai di tempat tujuan, tiba-tiba hujan turun. Rendy mendadak menepikan motornya ke teras salah satu toko untuk berteduh.
"Tuh kan hujan!" gerutu Rendy.
Nara hanya berdiri diam sambil menahan hawa dingin karena hembusan angin, Rendy yang menyadari jika Nara kedinginan langsung melepas jaketnya
"Pakai ini, Ra! Biar enggak kedinginan." Rendy menyodorkan jaketnya kepada Nara.
"Enggak usah, Ren! Aku enggak kedinginan, kok," tolak Nara sungkan.
"Apanya yang enggak kedinginan? Badan kamu saja gemetaran begitu!" Rendy menunjuk tubuh kurus Nara yang gemetar.
"Kalau aku pakai jaket kamu, terus kamu pakai apa? Memangnya kamu enggak kedinginan?"
"Aku anak laki-laki, harus kuat. Sudah pakai ini!" Rendy memakaikan jaketnya di badan Nara.
Sebuah mobil sedan mewah melintas pelan di depan toko tempat Nara dan Rendi berteduh, dari dalam mobil seseorang tercengang melihat dua insan itu dan langsung merekam mereka menggunakan ponselnya.
"Ini bakal jadi hot gosip."
***
beruntung papa Hendra bersikap tegas