NovelToon NovelToon
Casanova Kepincut Janda

Casanova Kepincut Janda

Status: tamat
Genre:Romantis / Tamat / Perbedaan usia / Romansa-Percintaan bebas
Popularitas:184.8k
Nilai: 5
Nama Author: Wiji

Bari abdul jalil, nama yang religius. Kedua orang tuaku pasti menginginkan akun tumbuh menjadi pribadi yang sesuai dengan nama yang diberikan. Tapi kenyataan justru sebaliknya. Saat dewasa justru aku lupa dengan semua ajaran yang diajarkan oleh mereka di waktu kecil. Aku terlalu menikmati peranku sebagai pecinta wanita. Hingga suatu ketika aku bertemu dengan seseorang yang sangat berbeda dari wanita yang aku pacari.
Mau tahu apa bedanya? dan bisakah aku mendapatkan apa yang aku mau?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13

Mampus!

Ibu sudah berada dalam kamar dan sedang menjereng gamis yang ada di ranjang ku.

"Ini buat suaypa Bar? Kenapa kamu simpan di kamar?" tanya ibu tanpa menoleh ke arahku. Mata beliau fokus pada kain cantik yang ada di tangannya.

"Itu, itu titipan teman bu. Kebetulan aku punya teman yang punya istri bercadar. Iya punya teman." Aku menjawab dengan gugup seraya merebut hamis tersebut dan meletakkan kembali ke dalam tas.

"Bukannya kamu bilang kalau ini bajumu?" Rupanya ibu masih antusias menyelidiki pemilik baju ini. "Mainan baru lagi? Kamu ini kenapa sih Bar. Kenapa susah sekali di beri tahu? Ibu melarang kamu untuk berhubungan dengan wanita yang mengumbar aurat dan kamu sekarang pacari wanita yang memakai pakaian seperti ini? Meskipun kamu pacaran sama wanita yang seperti ini kalau nggak mau menikahi jangan di dekati Bar. Astaghfirullah, Bari. Ibu bingung mau kasih tahu kamu pakai cara apa." Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, ibu sudah mencerca ku kembali.

"Ibu aku nggak pacaran sama wanita yang berpakaian seperti ini. Aku bahkan sekarang nggak punya pacar bu. Nggak mungkin juga wanita alim seperti ini mau pacaran sama aku," kilahku.

Ibu tiba-tiba memegangi kepalanya dan seperti meringis menahan sakit. Aku membantunya untuk duduk dan memberikan segelas air putih. Akhir-akhir ini darah tinggi ibu sering kumat.

"Bar, berubah bar. Ibu mohon, ibu juga pengen kayak teman-teman ibu yang punya cucu. Udah gendong cucunya kemana mana. Cuman ibu yang belum punya Bar. Ibu mau kamu juga punya masa depan. Ibu mau ada yang merawat kamu, mempersiapkan kebutuhan kamu, ibu nggak selamanya sehat Bari," ujar ibu di tengah sakitnya. Melihat ibu yang menangis membuat hatiku sakit. Tak pernah ibu menangis memohon padaku seperti ini.

"Iya bu, aku sudah berubah. Aku tidak bermain wanita lagi seperti dulu. Akan ada waktunya untuk aku cerita bu. Tapi nggak sekarang, aku janji akan aku bawa wanita yang akan menjadi menantu ibu selamanya. Aku janji bu, sabar sebentar saja. Aku sedang berjuang mendapatkannya." Aku membawa ibu ke dalam pelukan ku.

Wanita yang sudah melahirkan ku ini rasanya sudah lelah dengan sikap ku yang memang sudah belasan tahun tak berubah. Aku betekad dalam hati untuk mendapatkan Arumi secepatnya.

Ditengah tengah aku memikirkan bagaimana cara mendekati Arumi, tiba-tiba saja tubuh ibu lemas dan ambruk begitu saja. Aku tak ada waktu untuk membangunkan beliau. Langsung saja aku membawanya ke rumah sakit. Sudah pasti darah tinggi ibu kumat. Di tambah lagi ibu sekarang punya penyakit lambung. Pikiranku jadi semakin tak karuan.

Ditengah perjalanan, aku merasa mobilku tak enak ditumpangi. Aku menepikan mobil dan mengecek ban mobil yang rupanya sudah kempes. Kenapa keadaan sama sekali tak mendukungku hari ini?

Aku berlari menuju bagasi, dan sialnya tak ada ban serep di sana. Aku berteriak kesal. Saling terburu burunya tadi aku tak sempat membawa ponsel. Celingukan ke sana kemari tak ada taksi. Tak mau buang waktu, aku menggendong ibu dan berjalan ke rumah sakit. Dengan harapan ada taksi yang aku temui di depan sana. Untunglah hari masih pagi, matahari tak terlalu membakar kulit-kulitku.

Entah sudah berapa lama aku berjalan di trotoar. Banyak orang yang berlalu lalang, namun tidak ada satupun yang menawarkan bantuan. Entah pergi kemana hati nurani para manusia jaman sekarang. Melihat orang lain yang kesusan pura-pura buta, mendengar orang yang kesulitan pura-pura tuli. Ah sudahlah, persetan peduli dengan perginya hati nurani manusia sekarang. Fokus saja dengan ibu yang butuh bantuan. Sesekali aku menengok ke belakang barangkali ada taksi yang sedang berjejer di belakang ku. Puluhan kali aku menoleh, puluhan kali juga aku kecewa.

Peluh sudah membasahi wajah tampan ku. Nafas sudah mulai tersengal-sengal. Tenaga sudah berkurang banyak, aku sudah mulai lelah. Hingga tiba-tiba sebuah mobil putih berhenti di depan ku. Aku berjalan melambat, aku masih berharap ada bantuan dari orang lain.

Jantungku terasa berhenti berdetak sesaat setelah melihat siapa pemilik mobil itu. Namun, di detik berikutnya jantungku terasa bertalu-talu dan bergemuruh hebat. Benarkah dia Arumi?

"Maaf, ibunya kenapa?" tanya Arumi melihat trotoar.

"Ibu pingsan, kayaknya darah tingginya kumat." Aku menjawab dengan nafas yang entah bagaimana caraku menjelaskan.

"Mari masik mobil saya, biar saya antar."

"Nggak apa-apa? Kita bukan mahram." Aku terpaksa menanyakan itu agar terlihat baik di depan Arumi, agar dia tahu aku tak seperti beberapa waktu lalu.

"Tidak apa-apa. Kita tidak berdua saja, ada ibumu. Mari saya antar. Kebetulan saya juga mau ke rumah sakit."

"Terimakasih Arumi."

Wanita itu hanya mengangguk dan membantu membuka pintu mobil bagian penumpang. Dalam hati aku sangat bersyukur atas pertolongan ini. Selain bisa dekat dengan wanita pilihan ku, ini adalah kesempatan emas bagiku untuk mengambil hati Arumi.

"Minumlah. Kamu pasti haus." Arumi memberikan sebotol air mineral padaku. Aku hanya bisa mengucapkan terimakasih lagi. Mau bagaimana? Terimakasih dengan bonus cium pun tak mungkin bisa aku lakukan.

Lima menit kemudian.

"Tugas saya sudah selesai, ibu kamu masih dalam penanganan. Saya permisi ya, ada pasien yang harus segera saya tolong."

"Arumi tunggu. Bisa kita bicara setelah kamu melakukan operasi?" tanyaku memberanikan diri.

"Apa ada yang penting?"

"Penting bagiku," jawabku dengan nada melas.

"Baiklah. Akan saya temui kamu di sini setelah saya menyelesaikan tugas." Arumi melanjutkan langkah setelah mengatakan itu.

Aku bernafas lega. Arumi bersedia bicara denganku. Meskipun jujur saja, sebenarnya aku tak tahu apa yang akan aku bicarakan dengannya nanti. Aku tadi hanya asal bicara agar aku bisa memandang Arumi dengan durasi yang lama. Pikiran ku sekarang bercabang, karena harus memikirkan keadaan ibu dan juga topik untuk bahan pembicaraan ku dengan Arumi. Ah aku jadi pusing sendiri karena kata-kata ku.

Tak berselang lama, dokter wanita berkaca mata membuka pintu. Aku langsung bertanya bagaimana keadaan ibu. Syukurlah ibu tak apa, ibu hanya kelelahan saja. Memang darah tingginya naik, jadi beliau harus di rawat di sini sampai kembali stabil.

Sebelum masuk ke ruangan ibu, aku ke resepsionis untuk melakukan pembayaran sekalian meminjam telepon rumah sakit untuk menghubungo Farah. Gadis itu pasti bertanya-tanya dan mencari ibu. Pasalnya, ibu jarang keluar rumah tanpanya. Kalaupun harus pergi tanpa Farah, ibu pasti akan mengatakan akan pergi kemana.

Selesai dengan urusan administrasi, aku berniat kembali ke ruangan ibu. Di tengah jalan, aku berpapasan dengan Alex dan juga anak istrinya.

"Lo di sini? Siapa yang sakit?" tanya Alex.

"Biasa ibu datah tingginya kambuh. Lo sendiri?"

"Anak gue imunisasi, gue pamit duluan ya. Sorry banget nggak bisa jenguk ibu, keluarga bini gue ada acara."

"Nggak masalah, santai aja."

Obrolan kami seputar itu-itu saja jika ada pasangan masing-masing. Seakan kami ini sahabat yang baik dan tidak neko-neko. Padahal di belakangnya, kami membicarakan banyak hal termasuk wanita. Tapi tenang, kedua buaya yang sudah memiliki istri dan buntut itu sudah tobat dan tak tertarik dengan wanita lain selain istrinya masing-masing. Jadi kami hanya membahasnya saja.

Aku kembali melanjutkan perjalanan ke ruangan ibu. Aku terkejut begitu membuka pintu, mataku dihadapkan dengan Arumi yang ada di dalam ruangan ibu. Aku sampai mengucek mata ku demi memastikan apakah mataku ini salah lihat atau memang Arumi duduk di samping ibu. Bahkan mereka seperti mengobrol biasa saja. Apa mereka kenal?

Bersambung.

1
Harjanti
lha tegas gitu dong bari..
Ani Yuliana
itu dia 5thn baru hamil, keguguran, trus rahimnya d angkat sis 🙏
Harjanti
arumi belagu...
Duda Fenta Duda
bukan kumpul sapi bari tapi kumpul monyet😁😁
Kusii Yaati
celap celup tp di bibir sama aja bohong bari,itu bibir kamu bekas lumatan cewek2 kamu🙉
Erlinda
kok aq seperti membaca diari ya bukan novel
langit
mantap cerita nya
langit
apakah tasbih? benda kecil yg dimaksud?
Fitriyani
bgtu syng nya Arkan sm istrinya,tp bs bgtu brutalnya Dy SM Arumi,,,🤦
emang sih Dinda org yg Dy cinta,tp bs Dy lgsg brubah psiko SM Arumi..
Fitriyani
untung tiba2 Aksan bs menyikapi bijak...
Fitriyani
apa sih krj Arkan tu Thor,kq Dy bs LBH brkuasa gt dr bari....
Fitriyani
mgkin sebagian orang akan menganggap sikap Arumi salah n brlebihan,tp mnrt q,,sikap Arumi udh benar.mengingat gmn sikap Arkan terdahulu.klo q ada d posisi Arumi,aq jg akan mlkukn hal yg sm,aq g akan rela org yg dulunya g prnh mngakui ank,bhkn mnyiksa lahir batin,skrg tb2 dtg butuh pengakuan,,
mamp*s aja Lo Arkan😠
Fitriyani
jgn bilang nti xan sibuk mau ngrebut hak asuh Caca y.....
Abid
Biasa
linamaulina18
BNR t ibu, msh single blm tentu menjaga k hormatnya
linamaulina18
lumayan
linamaulina18
jgn2 anknya dokter yg bercadar itu lg
linamaulina18
🤣🤣🤣🤣
linamaulina18
bgs deh kirain ska celap celup
linamaulina18
selain tampan dirimu ska celap celup jg gt aja bangga ckckck
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!