Firman (22) punya satu prinsip dalam hidupnya: "Jangan pernah berharap sama manusia, maka kamu tidak akan kecewa." Pengkhianatan di masa lalu mengubahnya menjadi jurnalis yang dingin dan skeptis terhadap komitmen. Baginya, cinta adalah variabel yang tidak rasional.
Di sebuah lapangan badminton di Samarinda, ia bertemu Yasmin (22). Seorang dokter muda yang lembut namun memiliki tembok yang sama tingginya dengan Firman. Yasmin adalah ahli dalam mengobati fisik, tapi ia sendiri gagal menyembuhkan luka akibat ditinggalkan tanpa penjelasan.
Mereka tidak menjanjikan selamanya. Mereka hanya sepakat untuk berada di "level" yang sama sebagai teman diskusi, teman batin, namun tanpa ikatan yang mencekik. Namun, ketika masa lalu mulai kembali menagih janji dan jarak antar kota (Bontang hingga Labuan Bajo) mulai menguji, mampukah mereka tetap di level yang aman? Ataukah mereka harus memilih: Berhenti sebelum terluka, atau berani hancur demi satu kesempatan bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12: JARAK DAN JARING-JARING KERAGUAN
Lampu-lampu jalan poros Samarinda-Bontang melesat di balik kaca bus carteran kantor redaksi, menciptakan garis-garis cahaya yang memudar di tengah kegelapan malam. Firman menyandarkan kepalanya ke jendela yang dingin, getaran mesin bus terasa sampai ke tulang-tulangnya, namun pikirannya tertinggal jauh di sebuah halte di pinggiran kota yang baru saja ia tinggalkan beberapa jam lalu.
Tugas investigasi ke Bontang kali ini datang mendadak. Ada laporan tentang pencemaran limbah industri yang ditutup-tutupi di salah satu muara sungai. Biasanya, tugas seperti ini adalah "makanan empuk" bagi adrenalin Firman. Ia mencintai tantangan, ia mencintai fakta, dan ia mencintai jarak dari keramaian.
Namun, kali ini berbeda. Setiap kilometer yang ditempuh bus menuju arah utara terasa seperti beban yang menarik dadanya.
Ia meraba ponsel di saku jaketnya. Sejak kejadian di perpustakaan dua hari lalu setelah Sarah tiba-tiba muncul komunikasinya dengan Yasmin menjadi sangat terbatas. Hanya sebatas pesan "hati-hati di jalan" yang dibalas dengan "terima kasih" yang kaku.
Apakah aku benar-benar meninggalkannya sendirian di saat Sarah sedang gila? batin Firman.
Ia mencoba membuka draf catatannya, mencoba memfokuskan diri pada daftar narasumber yang harus ia temui besok pagi. Namun, setiap kali ia membaca kata "Muara", bayangan senyum Yasmin yang tenang saat memberikan stiker bintang kepada pasien kecilnya justru yang muncul.
Firman mengembuskan napas panjang, kabut tipis terbentuk di permukaan kaca jendela akibat napasnya. Ia menyadari satu hal yang menakutkan: Yasmin bukan lagi sekadar narasumber, bukan sekadar dokter relawan, dan bahkan bukan sekadar "Teman Level". Dia sudah menjadi habit bagi pikiran Firman. Dan habit yang hilang secara mendadak akan menimbulkan efek sakau yang nyata.
Di Samarinda, di waktu yang sama.
Yasmin duduk di meja makan apartemennya yang kecil. Di depannya ada sepiring nasi goreng yang sudah mendingin, tidak tersentuh. Ponselnya terletak di samping piring, layarnya menyala setiap beberapa menit karena notifikasi yang masuk.
Namun, bukan pesan dari Firman yang membuatnya kehilangan nafsu makan.
[Nomor Tidak Dikenal]: Kamu pikir dengan dengerin ceritanya soal masa lalu, kamu jadi istimewa? Firman itu cuma butuh pendengar karena aku nggak ada. Kamu cuma ban serep, Dokter.
[Nomor Tidak Dikenal]: Aku punya ribuan foto mereka berdua. Kamu mau lihat foto saat Firman berlutut di depanku? Jangan terlalu tinggi bermimpi di atas levelmu yang rendah itu.
Yasmin mematikan ponselnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Ia tahu itu Sarah. Gaya bahasanya, aromanya yang penuh rasa tidak aman yang dibalut keangkuhan, semuanya sangat terasa. Sarah sedang mencoba menyerang titik terlemah Yasmin: keraguan.
“Teman level adalah pokoknya.”
Kalimat Firman itu kini terasa seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, itu melindunginya dari ekspektasi. Di sisi lain, itu membuatnya tidak punya hak untuk merasa cemburu, tidak punya hak untuk bertanya, dan tidak punya hak untuk merasa tersakiti. Jika mereka hanya "teman level", bukankah wajar jika Firman masih punya urusan yang belum selesai dengan masa lalunya?
Yasmin bangkit, berjalan menuju balkon. Angin malam Samarinda menerpa wajahnya. Ia menatap ke arah utara, ke arah jalan menuju Bontang.
"Kenapa kamu harus pergi di saat aku merasa sangat tidak aman, Fir?" bisiknya lirih.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar lagi. Kali ini bukan dari nomor tidak dikenal. Namanya muncul dengan jelas: Firman.
Yasmin ragu sejenak, namun akhirnya ia mengangkatnya.
"Halo?" suara Yasmin sedikit parau.
"Belum tidur, Yas?" suara Firman di seberang sana terdengar berat, di latar belakang terdengar suara deru mesin bus dan obrolan sayup-sayup rekan kantornya.
"Belum. Masih beresin beberapa catatan rumah sakit. Kamu sudah sampai?" tanya Yasmin, berusaha terdengar biasa saja.
"Baru sampai di daerah Muara Badak. Mungkin satu jam lagi sampai di penginapan Bontang," jawab Firman. Hening sejenak di antara mereka. Firman seolah sedang mencari kata-kata yang tepat, namun ia terjebak dalam levelnya sendiri.
"Yas..."
"Iya?"
"Soal Sarah... jangan dengarkan apa pun yang dia katakan kalau dia menghubungi kamu. Dia hanya sedang berusaha menarik saya kembali ke lubang yang sama, dan dia pikir dia bisa melakukannya dengan cara mengganggu kamu," ucap Firman, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
Yasmin menahan napas. Dia tahu. Dia tahu Sarah bakal menggangguku.
"Kamu nggak perlu khawatir, Mas. Kita kan 'Teman Level'. Aku tahu batasannya," balas Yasmin, namun ada nada getir yang tidak bisa ia sembunyikan.
Firman terdiam di seberang sana. Kata "Teman Level" yang ia ciptakan sendiri kini terasa seperti tamparan baginya. "Iya. Level itu. Saya cuma ingin memastikan teman saya nggak terganggu tidurnya gara-gara orang gila."
"Terima kasih sudah peduli, Mas. Selamat bekerja di Bontang. Hati-hati, katanya daerah muara di sana cukup rawan," ucap Yasmin, bersiap menutup telepon sebelum perasaannya semakin tidak terkendali.
"Yasmin, tunggu."
"Ya?"
"Saya... saya mungkin akan sulit dihubungi beberapa hari ke depan karena sinyal di lokasi investigasi cukup buruk. Tapi kalau ada apa-apa, kalau Sarah datang lagi, hubungi Rendy. Saya sudah titip dia buat jagain kamu di rumah sakit."
Yasmin tersenyum pahit. Kenapa harus Rendy? Kenapa nggak kamu sendiri, Fir?
"Iya, Mas. Makasih. Selamat malam."
Telepon ditutup. Firman menatap layar ponselnya yang kini gelap. Ia merasa sangat tidak berguna. Ia merasa seperti pecundang yang bersembunyi di balik tugas kantor demi menghindari kenyataan bahwa dia sedang sangat takut. Takut kehilangan Yasmin sebelum dia benar-benar memilikinya.
Keesokan harinya di Bontang, Firman bekerja seperti kesurupan. Ia turun ke rawa-rawa, mengambil sampel air, mewawancarai warga desa yang terkena dampak limbah dengan sangat agresif. Rekan jurnalisnya, Aldi, sampai kewalahan mengejar langkahnya.
"Man, santai dikit lah! Kita di sini buat liputan, bukan mau perang!" keluh Aldi sambil menyeka keringat.
Firman tidak membalas. Ia hanya ingin lelah. Ia ingin tubuhnya sangat capek hingga saat malam tiba, ia bisa langsung tidur tanpa harus membayangkan Yasmin yang sedang diganggu oleh Sarah.
Namun, di sela-sela waktu istirahat makan siang di sebuah warung pinggir sungai, Firman melihat sebuah unggahan di media sosial. Seseorang menandai namanya di sebuah foto lama.
Foto itu adalah foto Firman dan Sarah setahun lalu, sedang tertawa di sebuah pameran buku. Keterangannya tertulis: "Kenangan nggak pernah bohong. Beberapa tempat hanya untuk orang yang sama. See you soon, F."
Itu unggahan publik dari akun Sarah. Dan Firman tahu, Yasmin pasti melihatnya.
Darah Firman mendidih. Ia langsung mencoba menelepon Yasmin, namun benar kata dugaannya, sinyal di Bontang benar-benar hancur. Pesannya hanya centang satu. Ia mencoba menelepon Rendy, tapi panggilannya selalu terputus.
"Sial!" Firman memukul meja warung kayu itu, membuat gelas kopinya hampir tumpah.
"Kenapa lagi, Man? Masalah cewek?" tanya Aldi penasaran.
"Gue harus balik ke Samarinda sekarang, Al. Gue titip liputan lapangan sore ini ke lo ya? Gue balik naik motor warga atau apa sajalah," ucap Firman panik.
"Gila lo! Kita baru setengah jalan, Man! Bang Surya bisa mecat lo kalau lo kabur dari tugas investigasi ini!"
Firman terhenti. Karirnya. Integritas jurnalisnya. Itu adalah segalanya bagi dia selama ini. Selama ini dia selalu menempatkan pekerjaan di atas apa pun. Tapi sekarang, saat ia membayangkan Yasmin sedang membaca unggahan Sarah dan merasa sendirian...
Ia terduduk kembali. Kepalanya menunduk di atas kedua tangannya. Pengecut. Kamu bener-bener pengecut, Firman. Kamu bikin kesepakatan level supaya kamu aman, tapi malah Yasmin yang sekarang terancam.
Sementara itu di Samarinda, Yasmin benar-benar melihat unggahan itu. Ia duduk di ruang jaga dokter, menatap layar ponselnya dengan mata yang terasa panas.
Foto itu... Firman terlihat sangat bahagia di sana. Tatapan matanya ke arah Sarah begitu penuh dengan harapan yang belum hancur. Yasmin tidak pernah melihat Firman menatapnya seperti itu. Firman hanya menatapnya dengan rasa syukur, dengan kedamaian, tapi tidak dengan binar "kepemilikan" yang ia lihat di foto lama itu.
"Ternyata benar ya... aku cuma tempat untuk dia sembuh. Bukan tujuan akhirnya," bisik Yasmin pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba, pintu ruang jaga terbuka. Seorang perawat masuk dengan wajah panik.
"Dokter Yasmin! Ada pasien darurat di IGD! Korban kecelakaan lalu lintas, kondisinya kritis!"
Yasmin segera menghapus air matanya, memasang stetoskop di lehernya, dan berlari menuju IGD. Profesionalismenya mengambil alih. Namun, saat ia sampai di IGD dan melihat pasien yang terbaring di brankar, jantungnya seolah berhenti berdetak.
Pasien itu adalah seorang wanita. Mengenakan gaun kerja elegan yang robek-robek dan bersimbah darah.
Wanita itu adalah Sarah.
Dunia Yasmin seolah mendadak runtuh. Ia harus menyelamatkan wanita yang baru saja menghancurkan mentalnya selama dua hari terakhir. Wanita yang menjadi alasan pria yang ia cintai menjauh darinya secara emosional.
Tangan Yasmin gemetar saat ia memegang tensimeter. Di kepalanya terjadi pertempuran hebat. Sebagai dokter, ia harus menyelamatkan nyawa. Namun sebagai wanita yang terluka, ia merasa ini adalah ironi yang paling kejam dari takdir.
"Dokter? Tekanan darahnya turun drastis! Kita harus segera melakukan tindakan!" teriak perawat.
Yasmin menarik napas panjang, memejamkan matanya selama sedetik. “Jujur pada diri sendiri adalah pokoknya,” suara Firman seolah berbisik di telinganya.
"Siapkan cairan infus! Cek jalan napas! Kita pindahkan ke ruang tindakan sekarang!" perintah Yasmin dengan suara yang kini stabil.
Di tengah hiruk pikuk menyelamatkan nyawa Sarah, Yasmin menyadari satu hal: Level mereka bukan lagi soal siapa yang lebih dulu ada di hati Firman. Tapi soal siapa yang lebih kuat menghadapi kenyataan yang pahit.
Malam itu, di saat Firman masih terjebak di tengah hutan Bontang tanpa sinyal, Yasmin sedang berjuang menyelamatkan masa lalu Firman dengan tangannya sendiri.
Sarah berhasil diselamatkan, namun ia terus memanggil nama Firman dalam kondisi setengah sadarnya. Yasmin yang kelelahan akhirnya menelepon Firman saat sinyal di Bontang mulai muncul tengah malam. Ia memberikan kabar tentang Sarah. Bagaimana reaksi Firman? Akankah ia langsung meninggalkan tugasnya dan lari kembali ke Samarinda demi Sarah? Dan apa yang akan terjadi saat Sarah terbangun dan melihat Yasmin-lah yang menyelamatkan nyawanya?