Arabella seorang anak perempuan yang menyimpan dendam terhadap sang Ayah, hal itu diawali sejak sang Ayah ketahuan selingkuh di tempat umum, Ara kecil berharap ayahnya akan memilih dirinya, namun ternyata sang ayah malah memilih wanita lain dan sempat memaki istrinya karena menjambak rambut selingkuhannya itu.
Kejadian pahit ini disaksikan langsung oleh anak berusia 8 tahun, sejak saat itu rasa sayang Ara terhadap ayahnya berubah menjadi dendam.
Mampukah Arabella membalaskan semua rasa sakit yang di derita oleh ibunya??
Nantikan kisah selanjutnya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Hujan belum juga berhenti ketika Sena dan Ara tiba di rumah. Jaket mereka masih lembap, sepatu basah, dan suasana di dalam rumah terasa lebih sepi dari biasanya.
Sena menyalakan lampu ruang tamu, lalu meletakkan payung di dekat pintu. Ara langsung berjalan menuju kamarnya tanpa banyak bicara. Langkah kecilnya terdengar pelan tapi berat, seperti menyimpan sesuatu yang tak sanggup diucapkan.
Sena menatap punggung anak itu lama.
Hatinya terasa hancur.
Ia tahu betul, Ara sudah menunggu dengan harapan kecil harapan bahwa ayahnya akan datang, meski hanya untuk sekadar menatap. Tapi kenyataan terlalu kejam untuk anak seusianya.
Sena menunduk, menatap lantai yang basah oleh jejak air hujan.
"Dia bahkan tak tahu aku sedang mengandung anaknya..." batinnya lirih.
Dengan langkah perlahan, ia menuju dapur. Membuatkan segelas susu hangat untuk Ara, lalu mengetuk pintu kamar anak itu pelan.
“Sayang, Mama masuk ya?”
Tak ada jawaban, tapi Sena tetap membuka pintu. Ara sedang berbaring membelakangi, wajahnya menghadap dinding, bahunya naik turun pelan menahan tangis.
Sena duduk di tepi ranjang, mengelus rambut lembut itu dengan hati-hati.
“Minum dulu, Sayang. Biar kamu tenang, ya.”
Ara membalik tubuhnya, wajahnya sembab. “Mama, kenapa sih, Papa selalu bohong?” suaranya serak, getir, tapi jujur.
Sena menahan air mata yang hampir jatuh.
“Kadang orang dewasa juga salah, Nak. Papa mungkin bingung, mungkin juga takut. Tapi itu bukan salah kamu, ya? Kamu anak yang baik.”
Ara menggigit bibir, menatap ibunya. “Tapi kenapa Mama selalu membela dia?”
Sena tersenyum kecil, meski hatinya bergetar. “Mama nggak membela, cuma Mama nggak mau kamu tumbuh dengan marah. Marah itu bikin dada sakit, bikin tidur nggak tenang.”
Ara terdiam. Ia lalu duduk, memeluk ibunya erat-erat. “Kalau Papa nggak mau datang, aku nggak mau nunggu lagi. Aku cukup punya Mama aja.” Berulang kali gadis kecilnya itu menegaskan.
Pelukan itu membuat air mata Sena akhirnya menetes juga. Tapi kali ini bukan karena lemah melainkan karena rasa syukur yang sesak di dada.Ia mengusap punggung anaknya pelan. “Terima kasih, Sayang. Mama juga cuma punya kamu.”
Malam itu, keduanya tertidur dalam pelukan yang diam, diiringi suara hujan yang tak kunjung reda. Dan di antara tetes-tetes air di luar sana, ada kehidupan kecil yang mulai berdenyut lembut di dalam rahim Sena tanda cinta yang tersisa, meski dari hubungan yang telah retak.
☘️☘️☘️☘️☘️
Sementara itu, di rumah sakit, Dirga duduk di tepi ranjang dengan wajah tegang. Ika meringis, tangan kirinya menekan perut, sedangkan tangan kanannya menggenggam tangan Dirga erat.
“Perutku sakit banget, Mas... kayak ditusuk-tusuk,” suaranya dibuat serak dan lemah.
Dirga panik. “Tadi dokter bilang apa? Kenapa mendadak begini?”
Ika memejamkan mata, berpura-pura menahan sakit. “Katanya aku kecapekan, aku tadi maksa beresin rumah.”
Dirga berdiri, mondar-mandir, wajahnya kusut. “Harusnya kamu bilang kalau gak kuat, Ka. Aku ....”Belum sempat ia lanjutkan, Ika meringis lagi.
“Mas, tolong jangan tinggalin aku, ya? Aku takut...”
Kata-kata itu membuat langkah Dirga terhenti. Ada sesuatu dalam suaranya yang membuat rasa bersalah menyergap. Ia duduk kembali di sisi ranjang, menggenggam tangan Ika dengan ragu.
“Aku gak ke mana-mana, Ka. Tenang aja.”
Di balik kelopak matanya yang tertutup, sudut bibir Ika naik sedikit. Senyum tipis, samar, nyaris tak terlihat siapa pun. Ia tahu betul, dengan caranya sendiri, Dirga takkan berani meninggalkannya hari ini bahkan untuk menemui mantan istrinya yang pernah menjadi rumah bagi hatinya dulu.
Hujan di luar makin deras, mengetuk kaca rumah sakit seperti nada ejekan. Dan di tengah kesunyian itu, Dirga sama sekali tak sadar... bahwa setiap rasa iba yang ia berikan hari ini adalah bagian dari jebakan yang sedang Ika tenun dengan halus.
☘️☘️☘️☘️☘️
Sementara di dalam kontrakan kecil itu, Sena menatap sendu anaknya yang seperti menahan rasa kecewa, meskipun susah berulang kali anak kecil itu menyatakan tidak butuh sang ayah, namun dalam guratan wajahnya menyimpan rasa rindu akan sosok ayahnya.
"Maafkan Mama Nak, yang gagal menyakinkan papamu, bahwa setiap anak yang terlahir di dunia merupakan anugerah, tidak menikah dari jenis kelaminnya, dari bayi anakku selalu diperlakukan acuh tak acuh, hingga pada akhirnya anak pertamaku menjadi mandiri secepat ini," ucapnya dari ambang pintu.
Ara mulai meminum susu yang tadi dibuatkan oleh ibunya, tatapan anak kecil itu seolah getir, ia melihat televisi, namun tidak sedang menontonnya pikirannya terlalu fokus dengan kejadian tadi, dimana sang ayah tidak menepati janji.
"Aku tidak mau lagi bertemu Papa, sampai kapanpun itu," gumamnya sendiri dengan tatapan sinis.
Di luar hujan masih mengguyur, suasana dingin kerap melanda, dan rasa mual muntah pun mulai membuat ibu hamil itu kerepotan sendiri harus keluar masuk kamar mandi.
"Ueeeeegh ...." lagi-lagi Sena Haris mengeluarkan semua isi perutnya.
Selesai dari kamar mandi ternyata Ara sudah menunggunya di depan pintu. "Mama, kenapa lagi kan sudah diperiksa," ujar anaknya itu dengan nada heran.
"Iya Sayang, Mama memang sudah diperiksa, tapi? Masih muntah lagi," sahut Sena.
Sena mulai menatap kasihan kepada ibunya, namun di sisi lain anak itu teringat akan ucapan temannya di sekolah kalau ibunya di rumah muntah-muntah dan ternyata sedang hamil.
"Ma, memangnya Mama sakit apa?"tanya Ara sedikit curiga.
Sena merasa tidak tega untuk membohongi anaknya tapi di sisi lain ia tidak mau membebani sang anak dengan kehamilannya ini.
"Mama hanya masuk angin Nak," sahutnya.
"Gak mungkin Ma, kata teman-teman Ara kalau orang dewasa muntah-muntah terus itu tandanya hamil," sahut anaknya itu.
Sena menatap wajah polos anaknya, ada rasa iba karena sebentar lagi kasih sayangnya akan terbagi dengan anak yang ada di dalam kandungannya.
"Sayang, memangnya kamu tidak marah jika Mama beri tahu yang sebenarnya?" tanya Sena hati-hati.
Secepat mungkin anak itu menggelengkan kepalanya. "Tidak Ma," sahutnya dengan nada polos.
"Iya Nak yang dikatakan teman kamu itu benar, Mama sedang hamil," ucap Sena.
"Berarti saat ini Mama sedang mengandung adik Ara," seru anaknya itu antusias.
"Iya Nak, Mama harap Ara mampu myayangi adik bayi nantinya," pinta sang Ibu.
"Ara sayang sama adik bayi, tapi jangan pernah temui adik bayi dengan Papa, karena Ara gak suka."
Deg!!
Bersambung. .....
janji "aja tuh