Di hari pernikahannya, Farhan Bashir Akhtar dipermalukan oleh calon istrinya yang kabur tanpa penjelasan. Sejak saat itu, Farhan menutup rapat pintu hatinya dan menganggap cinta sebagai luka yang menyakitkan. Ia tumbuh menjadi CEO arogan yang dingin pada setiap perempuan.
Hingga sang ayah menjodohkannya dengan Kinara Hasya Dzafina—gadis sederhana yang tumbuh dalam lingkungan pesantren. Pertemuan mereka bagai dua dunia yang bertolak belakang. Farhan menolak terikat pada cinta, sementara Kinara hanya ingin menjadi istri yang baik untuknya.
Dalam pernikahan tanpa rasa cinta itu, mampukah Kinara mencairkan hati sang CEO yang membeku? Atau justru keduanya akan tenggelam dalam luka masa lalu yang belum terobati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Farhan menelan ludahnya dengan pahit. Raut wajahnya tetap dingin seperti tidak ada apa pun yang bergolak di dalam dirinya.
Ustadz Yusuf lalu melanjutkan dengan penuh kebijaksanaan.
“Farhan, letakkan tanganmu di kepala istrimu, nak. Dan bacakan doa untuknya. Karena di saat inilah kamu resmi menjadi imam baginya.”
Farhan terdiam sepersekian detik, merasa enggan untuk melakukan hal itu, tapi tidak mampu menolak. Perlahan ia mengangkat tangannya dan menyentuh kepala Kinara yang tertunduk. Sentuhan itu terasa lembut. Berbanding terbalik dengan sorot mata Farhan yang penuh pergolakan.
Mungkinkah bibit cinta itu sudah hadir dalam dirinya? Tidak. Setidaknya Farhan tidak mau mengakuinya.
Ia memejamkan matanya. Dan dengan suara yang terdengar tegas namun mengandung gemetar yang samar, ia mengucapkan:
“Bismillahirrahmanirrahim, Allahumma barik lana wa barik ‘alaina… wajma’ bainana fii khair…”
Doa itu mengalun pelan, namun cukup untuk membuat banyak hati di tempat itu bergetar. Ummi Mariam menangis pelan. Pak Ardhan tersenyum lega sambil mengusap dadanya karena bangga dan terharu. Sementara Ustadz Yusuf memejamkan matanya dengan penuh rasa syukur.
Dan Kinara, wanita itu tampak berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Namu ia gagal.
"Dia suamiku." Gumam Kinara sangat pelan hingga tak ada seorangpun yang tahu ketika Farhan tengah membacakan doa untuknya, ia tersenyum diam diam saat mengakui Farhan sebagai suaminya.
Laki-laki yang akan ia temani dalam suka dan duka. Laki-laki yang akan ia cintai dengan izin Allah. Laki-laki yang kini sedang menyentuh kepalanya dengan tangan yang gemetar, meski ia mencoba keras untuk tampak kuat.
Momen itu mungkin sederhana bagi sebagian orang, namun bagi Kinara, ini adalah momen terbesar dalam hidupnya.
Ketika doa berakhir, Farhan menarik tangannya dengan pelan. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Namun jantungnya masih berdegup kencang.
"Lo kacau, Farhan. Kenapa jantung Lo harus berdebar karena perempuan ini?" Ucap Farhan dalam hatinya ketika ia masih memandang istrinya itu dengan tatapan menilai.
Ia menegakkan tubuh, memasang kekakuan di wajahnya kembali seperti benteng pertahanan. Tapi dalam hati, ada satu kenyataan yang mulai muncul, dan itu membuatnya marah.
Kinara tidak seperti Adilla. Dan justru itu yang membuatnya takut. Karena perempuan baik jauh lebih berbahaya.
Acara masih berlanjut. Para tamu mulai maju untuk memberi ucapan selamat. Suasana penuh dengan doa dan kebahagiaan. Santri-santri kembali melantunkan sholawat dan menambah haru seluruh ruangan. Namun bagi Farhan, semua itu terasa terlalu ramai, terlalu sempit dan menyesakkan dadanya.
Ia tidak suka tatapan orang-orang yang memandang mereka sebagai pasangan serasi. Ia tidak suka dipaksa memulai kehidupan yang tidak ia inginkan. Dan ia sangat tidak suka kenyataan bahwa detak jantungnya belum juga kembali normal sejak perempuan itu muncul.
Sementara itu Kinara berdiri anggun di samping Farhan sambil tersenyum dan membalas ucapan selamat dari semua tamu undangan dengan penuh antusias. Ia belum berani bicara pada Farhan secara langsung. Ia masih memberi ruang untuk laki-laki yang kini menjadi imamnya.
Namun diam-diam, Ia terlihat mencuri curi pandang ke arah suaminya. Setiap kali ia memandang Farhan, rasa yang sama kembali menyerang perasaannya. Takut, bahagia, berdebar-debar dan juga bingung yang semuanya bercampur menjadi satu.
"Yang mana yang sebenarnya harus aku rasakan?" Ucap Kinara dalam hatinya ketika ia masih memandang Farhan dengan tatapan matanya yang dalam dan membuat Farhan sempat memergoki tatapan itu. Dengan dingin, ia mendesis pendek dan membuat Kinara mengerti dibalik ekspresi yang ditunjukkan oleh suaminya.
Kalaupun ia harus menghadapi dinginnya gunung es bernama Farhan Bashir Akhtar, maka ia akan melakukannya dengan sabar.
Karena yang ia lihat di balik sikap dingin suaminya itu bukan kebencian, melainkan luka. Dan ia berharap suatu hari nanti, ia bisa menjadi obat untuk luka suaminya itu.
Sementara itu, Farhan menatap kosong ke depan. Semua ucapan selamat dari tamu undangannya terdengar seperti bising semesta yang ia tidak pedulikan. Namun ada satu kenyataan pahit yang ia sadari:
Meski ia membenci keadaan ini, ia tidak mampu membenci wanita itu. Dan itu justru membuatnya semakin murka pada dirinya sendiri karena istrinya itu akan menjadi masalah besar dalam hidupnya.
Beberapa jam telah berlalu sejak pesta pernikahan selesai. Keramaian di pondok pesantren Darul Qur’an Al Majid sudah kembali mereda, hanya menyisakan lampu-lampu temaram dan suara angin malam yang berhembus pelan di antara pepohonan. Para tamu undangan sudah pulang, para santri kembali ke asrama mereka, dan halaman pondok yang tadinya penuh kebahagiaan dan ramai kini berubah menjadi tempat yang terasa sunyi tapi hangat.
Di teras rumah Ustadz Yusuf, Kinara berdiri dengan tangan saling menggenggam di depan dadanya. Gaun pengantinnya yang sederhana namun anggun masih melekat di tubuhnya. Make-up tipisnya mulai memudar, tetapi pesonanya sama sekali tidak berkurang.
Di depannya berdiri kedua orang tuanya. Ummi Mariam sudah berkali-kali menghapus air matanya namun tetap gagal. Sementara Ustadz Yusuf berusaha tampil tegar, padahal suaranya sudah serak sejak azan magrib tadi.
“Assalamu’alaikum, Abi… Ummi…” suara Kinara terdengar lirih, bergetar, seolah satu kata saja bisa memecahkan tangisnya.
Ummi Mariam langsung meraih tangan putrinya dan menggenggamnya kuat-kuat.
“Wa’alaikumussalam, Sayang… sudah siap berangkat?”
Kinara mengangguk pelan, tapi dagunya gemetar.
“InsyaAllah, doakan Kinara ya ummi?”
“Dari kamu lahir sampai hari ini, doa Ummi tidak pernah putus, nak.” Ummi Mariam menangkup wajah putrinya. “Dan mulai malam ini, tanggung jawabmu berpindah ke suamimu. Tapi ingat satu hal, Nak. Rumah ini tetap rumahmu. Kalau kamu lelah dan rindu dengan Abi dan ummi, jangan pernah ragu untuk pulang.”
Kinara tak kuasa menahan diri. Ia langsung memeluk ibunya erat-erat. Tangisan yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah. Bahunya naik turun, suaranya tercekat.
“Ummi…”
“Iya, Nak… Ummi di sini. Selalu.”
Ustadz Yusuf tersenyum kecil melihat keduanya. Lalu ia meraih bahu Kinara setelah mereka berpisah.
“Kinara…”
“Iya, Abi.”
Ustadz Yusuf menepuk lembut kepala putrinya. “Abi titip dirimu pada suamimu. Taat lah padanya, hormatilah dia. Tapi kalau ada yang membuatmu sedih, kamu harus bicara padanya. Jangan dipendam sendiri.”
Kinara menunduk sambil mengusap air matanya.
“Iya, Abi.”
“Pergilah, Nak. Semoga Allah selalu menjaga kalian berdua.” ucap Ustadz Yusuf sembari tersenyum hangat.
Kinara mengangguk, lalu memeluk Abi-nya sebelum akhirnya berjalan menuju mobil hitam mewah milik suaminya yang terparkir di depan pondok.
Farhan berdiri di sisi mobil, bersandar dengan kedua tangan di saku celananya. Tatapannya menatap lurus ke arah depan, seolah tidak ingin terlihat memperhatikan momen perpisahan ayah dan anak itu. Padahal dari tadi ia diam-diam melihat Kinara, entah kenapa.
Untuk mencapainya, Allah subhanahu wata'ala telah memberi pedoman dalam Al-Qur'an, dan Rasulullah SAW telah menjadi tauladan untuk meraih keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Bahwasannya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah berarti menciptakan rumah tangga yang tenang (sakinah), penuh cinta (mawaddah), dan kasih sayang (warahmah) dengan landasan kuat pada keimanan dan ketaqwaan,
dapat tercapai jika suami istri saling memenuhi peran dan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya...😊
Aku ikut terharu membaca Bab22 ini, hati jadi ikut bergetar...👍/Whimper//Cry/