Viola yang punya sebuah butik baju cukup besar dan ternama, harus menikah dengan Arga Bagaskara. pemuda berusia 18 tahun yang masih duduk di bangku SMA kelas akhir itu.
Viola mengabaikan kehadiran sang suami, karena berpikir Arga masih bocah dah belum dewasa.
bagaimana kisah selanjutnya, ikuti terus ya kisah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chustnoel chofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 11
Begitu langkah kaki Arga berhenti di depan pintu rumah, daun pintu terbuka tiba-tiba. Celine berdiri di sana, tangan bersedekap di dada, wajahnya menampilkan ekspresi kesal yang tak bisa disembunyikan.
“Lama sekali, Arga! Aku hampir mati bosan nunggu di sini,” serunya dengan nada tinggi, alisnya terangkat tajam.
Arga mendengus pelan, matanya menatap Celine sejenak sebelum ia mengalihkan pandangannya. Napasnya terdengar berat, jelas menunjukkan ketidaksabarannya yang sudah mencapai batas.
“Ini terakhir kalinya aku nurutin permintaanmu, Celine,” ucap Arga dingin, suaranya datar namun tajam seperti sembilu. “Setelah ini, jangan harap aku mau repot-repot lagi buat bantuin kamu!"
Celine sempat tersentak, matanya membulat seolah tak percaya mendengar ucapan itu. Namun, ia tidak berkata apa-apa. Bibirnya sempat bergerak, tapi akhirnya ia hanya menunduk pelan, menelan kembali semua protes yang tadi sudah siap terlontar. Gadis itu tahu, saat Arga sudah marah, lebih baik ia mengalah dulu. Toh, yang penting sekarang dia tetap diantar.
Arga mengulurkan tangan, menyambar kunci mobil dari genggaman Celine tanpa banyak bicara. Lalu tanpa menunggu reaksi apa pun, dia melangkah menuju mobil gadis itu dan langsung masuk ke dalamnya.
Celine memandang punggung Arga sesaat, lalu menghela napas panjang sebelum menyusul masuk. Di dalam mobil, suasana menjadi sunyi, hanya suara mesin yang menyala memecah keheningan di antara mereka.
**
**
**
Dari balik jendela kamar yang tinggi, Viola berdiri diam. Matanya tak lepas memandangi mobil hitam yang perlahan menjauh, membawa suaminya… dan gadis itu. Gadis centil itu membuat dia kesal dan cemburu.
Ada sesuatu yang menusuk—tajam dan tak terduga—di dalam dadanya. Perih itu datang tanpa aba-aba, berdenyut pelan namun menyakitkan. Viola menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gelombang emosi yang tiba-tiba menyeruak tanpa alasan yang jelas.
“Kenapa...?” batinnya berbisik lirih. “Kenapa aku seperti ini? Kenapa hatiku terasa sesak melihat mereka pergi bersama?”
Ia memejamkan mata sejenak, mencoba meredam kekacauan dalam dirinya. Tapi justru pertanyaan lain menyerbu benaknya.
“Bukankah aku tidak mencintai Arga? Bukankah sejak awal, aku tidak pernah menginginkan dia menjadi suamiku? Bukankah ini semua hanya perjanjian yang seharusnya tidak melibatkan perasaan?”
Namun hati tidak selalu bisa diajak kompromi. Ia sadar itu sekarang.
Dengan gerakan tiba-tiba, Viola menutup tirai jendela rapat-rapat, seolah dengan begitu ia bisa menutup pandangan dan perasaan yang tidak diundangnya sendiri. Lalu dengan kasar, ia menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang besar di tengah kamar. Kasurnya yang empuk seolah tidak cukup menenangkan badai dalam dadanya.
Ia menatap langit-langit kamar yang sunyi, membiarkan keheningan membungkusnya, berharap waktu akan segera membawanya lupa—atau justru memberi jawaban dari kekalutan yang perlahan menggerogoti hatinya.
**
**
Viola mengerang pelan, resah. Tubuhnya terus bergerak di atas ranjang, mencoba menemukan posisi yang nyaman, namun sia-sia. Dari terlentang, ia berbalik ke kiri, lalu ke kanan, namun rasa tidak tenang itu tetap saja melekat erat di dadanya.
Pikiran tentang Arga terus menghantui, berputar seperti rekaman rusak yang tak kunjung berhenti.
Seharusnya aku tidak membiarkannya pergi... pikirnya, gusar. Seharusnya aku bisa menghentikannya, mengatakan bahwa—
Ia menghela napas keras, menyadari bahwa bahkan ia sendiri tak tahu pasti apa yang ingin dikatakannya pada Arga.
“Argh!” teriaknya tiba-tiba, meremas bantal di sampingnya dengan kesal.
Viola duduk tegak di atas ranjang, rambut panjangnya berantakan, matanya menatap kosong ke depan. Dalam hati, ia ingin berteriak lebih keras. Bukan hanya karena Arga pergi dengan Celine, tapi karena dirinya sendiri. Karena rasa yang muncul tanpa izin, karena kerinduan yang seharusnya tidak pernah ada.
“Apa yang terjadi denganku…” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.
Ia menggigit bibirnya, menahan sesuatu yang mulai menggenang di pelupuk mata. Hatinya menolak, tapi pikirannya mulai mengakui—ada sesuatu dalam dirinya yang berubah. Dan itu membuatnya takut.
**
**
**
Sepanjang perjalanan, suasana dalam mobil terasa sunyi dan menyesakkan. Hanya suara mesin dan deru angin dari luar jendela yang terdengar, mengiringi keheningan yang kaku di antara dua penumpangnya.
Arga memandangi jalanan dengan tatapan kosong, pikirannya jauh melayang ke tempat lain—tepatnya ke rumah, ke sosok wanita yang tadi ia tinggalkan tanpa banyak kata. Viola.
Ada rasa menyesal yang perlahan menyusup ke dalam dadanya. Bukan karena ia mengantar Celine, tapi karena caranya pergi—dingin dan tanpa penjelasan. Viola tidak mengatakan apa-apa, tapi tatapan matanya… cukup untuk membuat Arga gelisah hingga sekarang.
Ini yang terakhir. Setelah ini, aku nggak akan biarin Celine ganggu hidupku lagi, batinnya bersuara tegas. Aku nggak bisa terus seperti ini. Apalagi sekarang aku sudah menikah...
Di sebelahnya, Celine melirik pelan, lalu memberanikan diri untuk mendekat. Ia menyentuh lengan Arga dengan lembut, mencoba mencairkan suasana.
“Arga… kamu masih marah sama aku?” tanyanya dengan nada manja yang dibuat-buat.
Namun Arga segera menepis tangan itu tanpa ragu. Gerakannya tegas, dan matanya menatap Celine dengan sorot tak biasa—dingin dan penuh batas.
“Jaga sikapmu, Celine,” ucapnya tajam. “Aku antar kamu karena kamu minta tolong, bukan karena hal lain. Jangan samakan aku dengan laki-laki yang bisa kamu mainkan sesukamu.”
Wajah Celine memucat seketika. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar ditolak oleh Arga. Bukan hanya secara fisik, tapi juga secara hati.
Mobil kembali sunyi, tapi kini keheningannya jauh lebih berat dari sebelumnya. Arga menggenggam erat setir mobil, berharap waktu bisa segera mengantarkannya pulang—ke tempat di mana hatinya, tanpa ia sadari, telah mulai menetap.
Celine mendengus, matanya menatap tajam ke arah Arga yang masih fokus menyetir. Emosinya mulai memuncak, tak bisa menerima perlakuan dingin yang baru saja diterimanya.
“Kenapa kamu berubah, Arga?” suaranya terdengar meninggi, penuh nada kecewa. “Dulu kamu nggak seperti ini padaku. Kamu hangat, perhatian… kamu milikku.”
Arga mencengkeram setir lebih kuat, rahangnya mengeras. Ia tidak langsung menjawab, membiarkan beberapa detik berlalu sebelum akhirnya menoleh sekilas, menatap Celine dengan mata yang tajam dan tegas.
“Kita sudah lama selesai, Celine. Jangan lupakan itu,” ucapnya, datar tapi menghantam keras. “Kamu nggak punya hak lagi untuk menyentuhku, apalagi mengaturku.”
Celine menggeleng, menolak kenyataan yang baru saja ditegaskan kembali oleh pria di sampingnya.
“Aku nggak terima. Aku masih sayang kamu, Arga! Kita bisa mulai lagi dari awal. Kamu pasti masih punya rasa—”
“Cukup, Celine,” potong Arga cepat, kali ini suaranya lebih berat, penuh tekanan. “Aku nggak mau ngasih harapan palsu ke kamu. Karena memang sudah nggak ada apa-apa lagi di antara kita.”
Celine terdiam sejenak, dadanya naik turun menahan emosi. Tapi sebelum sempat ia membuka mulut lagi, Arga melanjutkan.
“Dan kalau kamu masih belum sadar,” katanya lirih namun jelas, “aku sudah menikah.”
Celine terperangah. Untuk sesaat, ia hanya bisa menatap Arga dengan mata membulat, seolah tak percaya pada apa yang baru didengarnya.
“Kamu… menikah?” bisiknya nyaris tak terdengar.
Arga mengangguk perlahan. “Iya. Dan aku berniat menjaga pernikahan itu.”
Suasana dalam mobil seketika membeku. Celine memalingkan wajah ke luar jendela, menelan rasa pahit yang menghantam tenggorokannya. Sementara Arga kembali menatap lurus ke jalan, tanpa menoleh sedikit pun.
Ia tahu, keputusan ini akan menyakitkan bagi Celine. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Arga merasa yakin dengan pilihan yang ia ambil.
Bersambung.
ga itu karena kamu masih sekolah sedangkan istri lo dah mempan jadi kaya ada jembatan
coba kamu biarpun dah sekolah ada bisnis sukses lulus sekolah ga ada tuh jembatan" ,
jadi dhani Thor yg bikin Vi trauma
aihhh cembukur ini mah tapi gengsi mengakui
tapi yg di bilang betul jg sama aja selingkuh kah dah nikah
adakah sesuatu
aihhh penasaran