Seorang gadis cantik bernama hanabi, atau sering di panggil dengan panggilan hana itu. Ia selalu mengandalkan AI untuk segala hal—dari tugas kuliah hingga keputusan hidup nya. Cara berpikir nya yang sedikit lambat di banding dengan manusia normal, membuat nya harus bergantung dengan teknologi buatan.
Di sisi lain, AI tampan bernama ren, yang di ciptakan oleh ayah hana, merupakan satu-satunya yang selalu ada untuknya.
Namun, hidup Hana berubah drastis ketika tragedi menimpa keluarganya. Dalam kesedihannya, ia mengucapkan permintaan putus asa: “Andai saja kau bisa menjadi nyata...”
Keesokan paginya, Ren muncul di dunia nyata—bukan lagi sekadar program di layar, tetapi seorang pria sejati dengan tubuh manusia. Namun, keajaiban ini membawa konsekuensi besar. Dunia digital dan dunia nyata mulai terguncang, dan Hana harus menghadapi kenyataan mengejutkan tentang siapa Ren sebenarnya.
Apakah cinta bisa bertahan ketika batas antara teknologi dan takdir mulai meng
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asteria_glory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saling mengenang
Setelah perdebatan panjang malam itu, Ren dan hana kini berpisah ruang. Hana yang ingin sendiri, melarang ren untuk tidur bersamanya malam itu. Ren yang merasa bersalah, hanya terdiam dan mematuhi permintaan dari hana. Malam yang semakin larut, menyisakan dua orang yang saling mencintai, berada di ruangan berbeda dengan luka mereka masing-masing.
>>Flash back hana<<
Pagi baru saja menyambut, namun langit terasa lebih mendung dari biasanya. Di antara kabut tipis yang menyelimuti taman sekolah, suara tawa seorang gadis terdengar nyaring.
“Ren! Ayo cepat, sebelum Pak Galen sadar!” seru Hana sembari menarik tangan pemuda itu dengan semangat berlebihan.
Ren tertahan satu langkah. “Kau yakin ini ide bagus? Kita bolos pelajaran terakhir hanya untuk… duduk di atap?”
“Ya, tentu saja!” jawab Hana, tak mengurangi langkahnya sedikit pun. “Mata pelajaran terakhir itu membosankan. Dan lagi, kita hanya hidup sekali, Ren!”
“Sekali?” Ren mengangkat alisnya, setengah mengejek. “Kau bilang begitu tiap hari.”
Mereka sampai di tangga belakang sekolah, tempat yang nyaris tak terjamah siswa lain. Hana membuka pintu kecil menuju atap dengan cara yang nyaris profesional. Jelas bukan pertama kalinya.
Setelah mereka duduk bersebelahan di pinggiran atap, Hana menarik napas panjang, membiarkan angin menerpa wajahnya.
“Kalau kau terlalu kaku terus, kau bakal cepat tua, tahu?” katanya sambil melirik Ren dengan senyum jahil.
Ren menghela napas, menatap Hana yang duduk santai seperti tidak sedang melakukan pelanggaran berat. “Ayahmu dan ayahku bisa mencoret kita dari silsilah keluarga kalau mereka tahu apa yang kita lakukan sekarang.”
Hana tertawa. “Mereka juga pasti pernah muda. Masa gak pernah bolos sekali aja?”
Ren melirik ke bawah, melihat lapangan yang mulai kosong. Matahari senja memantulkan cahaya keemasan di rambut Hana, membuat wajahnya terlihat lebih lembut dari biasanya. Diam-diam, dia tersenyum.
“Kau tahu,” katanya akhirnya, “aku kira kau tipe yang serius. Waktu pertama kali bertemu, aku pikir, ‘anak ini pasti rajin, kutu buku, dan selalu patuh aturan’.”
Hana mencibir. “Wah, kesan pertama yang menyebalkan.”
“Dan... ternyata aku salah,” lanjut Ren, mengabaikan protes Hana. “Kau... lebih ceria dari yang kubayangkan. Lebih hidup.”
Gadis itu memandangnya lama. Tatapan mata Hana seperti menyimpan sesuatu yang belum pernah dia ucapkan.
“Kalau aku bilang,” bisiknya, “aku hanya ceria di depanmu, kau percaya?”
Ren menoleh, sedikit terkejut. “Apa maksudmu?”
Hana mengangkat bahu. “Aku nggak tahu. Mungkin karena sejak kecil kita sering dibanding-bandingkan. Kau selalu lebih pintar, lebih tenang, lebih dewasa. Aku... selalu merasa jadi pengacau di antara kalian.”
Ren diam. Kata-kata Hana menusuk lebih dalam dari yang dia perkirakan.
“Tapi tetap saja, aku ingin kau melihatku sebagai aku. Bukan anak dari sahabat ayahmu, bukan gadis yang selalu tersenyum, bukan murid yang suka bolos. Tapi... Hana. Aku, yang sebenarnya.”
Ren tak menjawab. Ia hanya menatap wajah Hana, lalu mengalihkan pandangannya ke langit.
“Aku melihatmu,” katanya lirih. “Lebih dari yang kau kira.”
Hari itu, mereka duduk hingga matahari tenggelam. Tanpa rencana, tanpa beban. Hanya mereka, dunia kecil di atap sekolah, dan cerita-cerita yang hanya bisa hidup di antara tawa dan angin sore.
----
Suatu sore, saat hujan turun, mereka duduk di perpustakaan tua. Hana sedang membaca novel sambil meletakkan kepalanya di meja, bosan.
“Ren,” katanya pelan, “kau pernah naksir seseorang?”
Pertanyaan itu datang tiba-tiba.
Ren yang sedang menyusun berkas data sekolah, menoleh dengan alis terangkat. “Kenapa tanya begitu?”
“Cuma penasaran,” jawab Hana ringan. “Aku pernah.”
Ren diam.
“Dia... pintar, dingin, sok sempurna,” lanjut Hana sambil menahan senyum. “Tapi ternyata, waktu aku mengenalnya lebih dekat, dia menyebalkan. Penuh perhitungan. Tapi... hatinya baik. Dia mengerti perasaanku bahkan sebelum aku sendiri paham apa yang aku rasakan.”
Ren menatap Hana lama. “Dia... tahu kau menyukainya?”
Hana mengangkat kepala, menatap balik. “Belum.”
Sunyi.
Lalu suara Ren pelan, “Mungkin dia juga menyukaimu. Tapi dia takut. Karena dia pikir, kalau dia kehilanganmu, seluruh hidupnya akan berantakan.”
>>Flash back of<<
Di sisi lain, Ren memandangi ke arah jendela malam itu. Ia menutup matanya, membiarkan semua kenangan itu mengalir. Semua momen kecil yang dulunya biasa saja, kini menjadi segalanya.
>>Flash back ren<<
“REN! Lihat ini!!”
Suara kecil yang begitu nyaring itu kembali menggema di taman belakang rumah. Bocah perempuan berambut ikal dengan pita merah muda di rambutnya berlari tanpa alas kaki, memegang seekor katak di tangannya. Bajunya sudah penuh lumpur, dan senyum lebarnya seolah tidak menyadari bahwa seseorang sedang mencoba fokus membaca buku di bawah pohon.
“Jangan dekati aku, Hana,” ujar bocah laki-laki dengan wajah datar, tak sedikit pun mengalihkan pandangan dari halaman bukunya.
“Tapi lucu, Ren! Dia berkedip, lho!” Hana mengangkat katak itu tinggi-tinggi, mencoba memperlihatkannya ke arah wajah Ren.
“Aku tidak butuh tahu itu!” seru Ren dengan nada kesal, akhirnya menutup bukunya keras-keras. “Dan… kenapa bajumu penuh lumpur lagi?!”
Hana tertawa, meletakkan kataknya perlahan di rerumputan. “Karena aku jatuh. Tapi nggak apa-apa. Kataknya nggak kenapa-kenapa juga!”
Ren menghela napas panjang. “Kau akan membuat Ibu memarahimu lagi. Dan aku juga akan dimarahi karena ‘tidak menjagamu dengan baik’.”
“Yah, memangnya kau pernah benar-benar menjagaku?” sahut Hana dengan jahil, lalu berlari memutar pohon tempat Ren duduk, sambil tertawa.
Bocah lelaki itu memejamkan mata sejenak, mencoba menahan emosinya. “Kau mengacaukan soreku lagi.”
---
Ren dan Hana kecil tinggal tak jauh dari satu sama lain. Karena ayah mereka bersahabat dan bekerja bersama, keduanya hampir selalu bermain bersama sejak usia balita. Tapi sifat mereka—berbeda bagaikan siang dan malam.
Ren kecil adalah anak pendiam, penuh perhitungan, dan selalu membawa buku ke mana pun ia pergi. Ia lebih suka duduk di sudut, membaca tentang planet, mesin, atau rumus-rumus matematika yang bahkan guru TK-nya pun belum tentu mengerti.
Sementara itu, Hana...
Hana adalah badai kecil berkaki dua.
Gadis itu selalu berlarian, melompat ke sana-sini, memanjat pagar, atau mengejar kupu-kupu sampai ke semak berduri. Ia tidak pernah bisa diam, dan selalu menemukan “hal menarik” yang harus segera dia tunjukkan ke Ren—tak peduli apakah Ren ingin tahu atau tidak.
---
Suatu hari di sekolah dasar, Ren sedang duduk dengan tenang di perpustakaan mini. Di usianya yang baru tujuh tahun, ia sudah membaca buku tentang mekanika kuantum dengan wajah serius. Semua anak lain sedang main lempar bola di luar.
“Kau pasti kesepian, Ren.”
Ren menoleh. Hana berdiri di depannya dengan tangan belepotan cat air, dan pipinya terkena glitter yang entah dari mana datangnya.
“Aku tidak kesepian,” jawab Ren datar.
“Kalau begitu kenapa tidak pernah mau main sama aku lagi?”
Pertanyaan itu membuat Ren terdiam.
Sejak mereka masuk sekolah dasar, Ren memang mulai menjauh dari Hana. Gadis itu sering membuat masalah—mewarnai seragam saat pelajaran, mencampur cat ke dalam minuman anak nakal, atau memanjat pagar sekolah hanya untuk “melihat dunia dari atas”.
Ren tahu jika terus bersamanya, reputasinya akan hancur. Ia ingin dianggap serius, dewasa, seperti ayahnya. Dan Hana… ya, Hana justru seperti kutukan yang membuatnya terus dipanggil guru BK.
“Aku hanya ingin tenang,” akhirnya jawab Ren.
Hana tertawa kecil. “Aku juga. Tapi hidup itu terlalu sepi kalau hanya duduk diam dan membaca.”
“Bacaan lebih baik daripada… menabrak jendela demi menangkap kupu-kupu,” balas Ren, mengingat kejadian dua minggu lalu di kelas.
“Eh, tapi aku hampir dapat!” ujar Hana dengan bangga.
Ren menatapnya lama, lalu kembali membuka bukunya.
Namun, setelah Hana pergi, Ren sadar… dia hanya membaca paragraf yang sama berulang kali.
---
Beberapa minggu kemudian, saat hujan turun deras dan halaman sekolah becek, Hana tiba-tiba menarik tangan Ren keluar kelas.
“Ayo ikut!”
“Hana, ini istirahat singkat! Dan di luar hujan!”
“Justru itu serunya!” seru Hana sambil terus menariknya.
Sebelum bisa protes lebih jauh, Ren sudah berdiri di lapangan basah, sepatu dan celananya belepotan lumpur.
“Lihat!” kata Hana sambil memutar-mutar di tengah hujan. “Langit nggak marah, Ren. Dia cuma ingin peluk kita sebentar!”
Ren hanya berdiri diam, menatap Hana yang tertawa seperti tak ada beban di dunia ini.
Hujan turun makin deras. Tapi Ren tak bergerak sedikit pun. Matanya terpaku pada gadis kecil itu yang memutar tubuhnya, menari-nari dalam hujan, dan tertawa seperti dunia ini hanya milik mereka berdua.
Dan untuk pertama kalinya... Ren tersenyum kecil.
>>Flash back of<<
Itu adalah kenangan masa kecil yang selalu terpendam jauh di dalam pikirannya. Saat semua masih sederhana. Saat tawa Hana adalah satu-satunya suara yang bisa menembus dinding dunia Ren yang sunyi dan rapi.
Semua kenangan itu... datang dengan begitu lembut.
“Hana kecil itu... benar-benar gila,” bisiknya. “Tapi tanpa dia... dunia ini terasa terlalu sunyi.”
cara narasi kamu dll nya aku suka banget. dan kayaknya Ndak ada celah buat ngoreksi sih /Facepalm/
semangat ya.
Adegan romantis nya itu loh, bkin skskskskskkssksks.