Ketika Malaikat Maut Jatuh Cinta

Ketika Malaikat Maut Jatuh Cinta

Cahaya di Tengah Hujan

Hujan deras menelan kota malam itu, menciptakan ritme tak beraturan di atas kaca mobil dan atap bangunan di sekitarnya. Lampu-lampu jalan yang buram tertelan gerimis, memantul di aspal basah seperti mozaik yang berkedip. Genangan air di trotoar bergetar setiap kali butiran hujan jatuh, seolah menggambarkan kegelisahan yang juga dirasakan Alya. Udara terasa dingin, menusuk kulit, tapi Alya tetap mengemudi. Tangannya menggenggam setir erat-erat, matanya fokus menatap jalanan yang mulai kabur oleh tetesan air di kaca depan.

"Harusnya aku nggak pulang selarut ini..." pikirnya, menggigit bibir bawah dengan gusar. Setiap kali lembur, dia selalu berjanji pada dirinya sendiri untuk pulang lebih awal keesokan harinya, tapi kenyataan berkata lain. Hidupnya hanya dipenuhi kerja, kerja, dan kerja. Seakan waktu yang dia miliki bukan miliknya sendiri.

Kepalanya berat, tubuhnya lelah. Dia tahu seharusnya lebih hati-hati, tapi pikirannya terlalu penuh dengan pekerjaan dan segudang masalah lain yang menumpuk.

Lalu semuanya terjadi begitu cepat.

Kilatan lampu dari arah berlawanan. Suara klakson yang menggema di udara.

Dan tiba-tiba—

BRAKK!

Tubuhnya tersentak ke depan, benturan keras menghantam sisi mobilnya. Dunia seakan berputar dalam gerakan lambat. Suara hujan, suara benturan, suara napasnya yang tertahan—semuanya bercampur jadi satu sebelum akhirnya menghilang.

Gelap.

Dingin.

Sunyi.

Kesadarannya naik-turun, seperti terombang-ambing di antara nyata dan tidak nyata. Tubuhnya mati rasa, tapi samar-samar dia merasakan sesuatu yang hangat merembes di pelipisnya.

Darah.

Kemudian, di antara cahaya lampu yang redup, dia melihat sesuatu.

Seseorang berdiri di sana.

Sosok pria berjubah hitam.

Dia berdiri di tepi bayangan, diam, mengawasi. Rambutnya hitam pekat, matanya kelam bukan hanya kosong, tapi menyimpan sesuatu yang dalam. Seolah ada keputusan besar yang sedang ditimbang.

Lalu dia melangkah mendekat.

"Akhirnya kita bertemu," suaranya rendah, nyaris tenggelam oleh suara hujan.

Alya ingin bicara, tapi suaranya tertahan di tenggorokan, seolah ada sesuatu yang mencekik dari dalam. Dengkuran napasnya terdengar kasar, dada terasa sesak seperti ditindih beban berat. Ujung jari tangannya mulai mati rasa, hawa dingin merambat dari tulang belakang hingga ke tengkuk.

Pria itu mengulurkan tangan.

Seharusnya, ini akhirnya. Dia tahu itu.

Rheyan mengangkat tangannya, jemarinya nyaris menyentuh kulit Alya. Namun, sesuatu di matanya berubah.

Rahangnya mengeras, tangannya gemetar sedikit sebelum dia mengepalkannya.

"Tidak..." suaranya nyaris tenggelam di antara suara hujan. Jemarinya mengepal, rahangnya mengeras. Sesaat, matanya berkabut, seolah ada pergulatan di dalam dirinya yang tak terucapkan.

Tapi entah kenapa, dia tidak bisa melakukannya.

"Belum."

Dan tiba-tiba, ada cahaya.

Alya tersentak bangun.

Napasnya memburu, dadanya naik turun tak teratur.

Bau antiseptik menyergap hidungnya, menusuk tajam hingga membuatnya ingin muntah. Suara monitor jantung berdetak pelan, seperti gema samar yang menariknya kembali ke dunia nyata. Lampu putih di langit-langit terasa terlalu terang, membuat kepalanya berdenyut.

Dia mengerjap beberapa kali, mencoba memahami di mana dia berada.

Rumah sakit.

Dadanya naik turun, pikirannya masih berusaha mengejar kenyataan. Kecelakaan… pria itu… atau mungkin itu hanya mimpi?

Pintu kamar terbuka.

Seorang pria masuk, mengenakan jas dokter. Wajahnya teduh, tapi matanya tajam, seperti sedang menilai kondisinya dengan seksama.

"Kamu sadar."

Suara itu lembut, tapi ada ketegasan di dalamnya. Alya mengerjap, mengalihkan pandangan ke arah pria yang berdiri di samping tempat tidurnya.

"Aku Davin," lanjutnya, senyum tipis terbentuk di wajahnya. "Dokter yang merawatmu."

"Aku..." Alya membuka mulut, tapi suara yang keluar lebih mirip bisikan serak. Tenggorokannya kering.

"Berapa lama aku di sini?"

"Tiga hari," jawab Davin sambil melirik catatan di tangannya.

Tiga hari? Alya menelan ludah. Itu waktu yang cukup lama. Seharusnya dia tidak mungkin hanya terbaring di sini selama itu tanpa mengalami cedera serius, kan?

"Kamu mengalami kecelakaan yang cukup parah," lanjut Davin. "Tapi..." Dia menutup berkasnya sebentar, menatap Alya seolah ragu untuk melanjutkan. "Jujur aja, aku sendiri heran kenapa kamu bisa selamat tanpa luka fatal."

Alya menelan ludah. "Maksudnya?"

"Harusnya cedera kamu lebih parah. Tapi entah kenapa, tubuhmu… menyembuhkan dirinya sendiri lebih cepat dari yang seharusnya."

Hening.

Alya menatapnya, tapi pikirannya ada di tempat lain. Dia ingat kecelakaan itu. Ingat rasa sakitnya. Ingat pria berjubah hitam itu.

Apa dia… benar-benar melihatnya?

"Apa kamu ingat sesuatu sebelum kecelakaan?" Davin bertanya lagi, suaranya lebih pelan kali ini.

Alya ingin bilang iya. Bahwa dia ingat seseorang di sana. Bahwa dia merasa seharusnya dia sudah mati. Tapi kepalanya terasa berat setiap kali dia mencoba mengingat lebih dalam.

"Aku…" Dia mengerutkan kening. "Nggak tahu."

Davin menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk. "Nggak apa-apa. Istirahatlah dulu. Kalau ada yang kamu butuhkan, tekan tombol di samping tempat tidurmu."

Dia berbalik, berjalan menuju pintu.

Saat pintu itu tertutup, Alya menarik napas panjang. Jantungnya masih berdebar tak karuan. Dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya baik-baik saja.

Tapi lalu—

Suara itu datang.

"Jangan jatuh cinta pada manusia lain..."

Suara itu mendadak muncul, bergema di sudut ruangan, menyusup ke dalam kepalanya.

Alya menegang.

"...atau aku akan lenyap..."

Udara di sekelilingnya berubah. Dingin, menusuk, seolah kehadiran sesuatu yang tak terlihat baru saja muncul.

"...selamanya."

Sesuatu dalam dirinya mencelos. Jantungnya berdetak kencang, dan untuk sesaat, dia merasa seperti kembali ke dalam mobil yang ringsek di tengah hujan. Seperti suara itu berasal dari sana. Dari pria berjubah hitam itu.

"Siapa?" gumamnya, nyaris tanpa suara.

Tapi tak ada jawaban.

Hanya suara monitor jantung yang terus berbunyi pelan.

Alya membeku.

Tubuhnya merinding, rasa dingin menjalar dari tengkuk hingga ujung jari. Dia menoleh ke sekeliling, mencari sumber suara itu tapi tidak ada siapa pun.

Dadanya berdebar keras, napasnya tersengal. Apa dia berhalusinasi? Atau... suara itu memang nyata?

Matanya melebar, napasnya tercekat di tenggorokan.

Bukan suara Davin. Bukan suara siapa pun di ruangan ini.

Tapi suara itu nyata. Bergema di dalam kepalanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!