Rumah?
Ayra tidak memiliki rumah untuk benar-benar pulang. Rumah yang seharusnya menjadi pelukan hangat justru terasa seperti dinding-dinding dingin yang membelenggunya. Tempat yang semestinya menjadi surga perlindungan malah berubah menjadi neraka sunyi yang mengikis jiwanya.
Siapa sangka, rumah yang katanya tempat terbaik untuk pulang, justru menjadi penjara tanpa jeruji, tempat di mana harapan perlahan sekarat.
Nyatanya, rumah tidak selalu menjadi tempat ternyaman. Kadang, ia lebih mirip badai yang mencabik-cabik hati tanpa belas kasihan.
Ayra harus menanggung luka batin yang menganga, mentalnya hancur seperti kaca yang dihempas ke lantai, dan fisiknya terkikis habis, seakan angin menggempurnya tanpa ampun. Baginya, rumah bukan lagi tempat berteduh, melainkan medan perang di mana keadilan tak pernah berpihak, dan rumah adalah tangan tak terlihat yang paling kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KALIYAH DENGAN SIFAT MUNAFIKNYA
HAPPY READING
Setelah Serin dan Novia mengantarnya hingga tiba di rumah dengan selamat, gadis yang berjalan tertatih-tatih itu menyeret tubuhnya masuk melewati pintu belakang. Ayra bernapas lega saat dia tiba di dapur dengan keringat kecil serta napas yang tidak beraturan.
“Wow! Lihat ruba kecil yang baru pulang ini.”
Ayra tidak menyadari kehadiran sosok Vynessa di area dapur itu, bahkan wanita itu tidak sendirian.
“Lupa lo dengan pekerjaan rumah? Lo ngapain di luar sampai jam segini? Ha?” Kaliyah menatap penuh kebencian kepada Ayra yang hanya bisa menunduk takut.
“M-aaf nyonya, kak Kaliyah. Ayra l-ambat karena tadi-,”
“Karena kamu mencoba menghindar bukan?” Sela Vynessa dengan wajah menahan amarahnya.
Ayra tidak tahu apa yang sedang Vynessa bicaran, sepertinya ada kesalah pahaman di sini dan bisa jadi Kaliyah mencoba membuatnya dalam masalah lagi.
“Bu-nyonya-,”
Plak!
Tamparan keras itu melayang ke wajah bagian kanannya hingga membuat langkahnya mundur beberapa langkah, rasanya perih dan rasa pusing yang telah hilang itu sepertinya kembali lagi.
“Berani sekali kamu menatap saya dengan tatapan seperti itu anak sialan!” Vynessa membenci tatapan Ayra.
Ayra meringis pelan, apa lagi ini tuhan?
“Pasti dia yang mengambil kalung aku bunda, ngak mungkin rumah kita kecolongan maling. Yang selalu bolak balik ke kamar aku itu, cuman dia bunda.”
Ayra menatap Kaliyah dengan gelengan kepala, tidak percaya jika Kaliyah membuat cerita yang tidak pernah dia lakukan.
“Benar apa yang dikatakan anak saya? Kamu yang sudah mencuri kalung putri saya?”
Anak? Putri saya? Bukankah dia juga anak dari Vynessa, mengapa semua anggota keluarganya begitu membenci dirinya. Jika saja dia tahu takdirnya seperti ini, maka dia akan berteriak kepada tuhan untuk tidak menciptakannya dirahim seorang ibu yang sama sekali tidak menginginkannya.
“JAWAB ANAK SIALAN?”
Plak!
Tamparan kedua begitu keras, bahkan suaranya mampu menarik perhatian seorang pemuda dengan rambut acak-acakan serta seragam sekolahnya yang masih melekat ditubuh yang kekar itu.
“T-idak nyonya, aku tidak mengambilnya, aku tidak mencurinya. Demi tuhan,” lirihnya. Bahkan isakan kecil mulai terdengar dari bibir kecilnya.
“Halla, mana ada maling mau ngaku.” Kaliyah menatap Vynessa. “Bunda, kalung aku pasti ada di kamar dia.”
Vynessa menatap Ayra dengan kilatan amarah yang terlihat jelas. “Kalau sampai kalung anak saya ada di kamar kamu, lihat apa yang akan saya lakukan kepada mu anak tidak tahu diri.”
“Mampus lo!”
Ayra menatap kedua ibu dan anak itu menuju kamarnya yang berada di belakang dapur, dengan susah payah kembali menyeret tubuhnya mengikuti langkah keduanya.
Terlihat Vynessa membongkar semua isi lemari Ayra hingga beberapa baju berserakan dan buku-buku pelajarannya pun tak luput dari tangan Vynessa.
“Nyonya, aku benar-benar tidak mengambilnya.” Ayra masih berusaha mengatakan yang sebenarnya.
“Lo masih ngak mau ngaku? Jelas-jelas lo ambil kalung gue! Lo irikan? Lo juga pengen dapat kalung dari ayah dan bunda gue? Iya kan?” Cecar Kaliyah.
“Tidak kak, aku tidak mengambilnya. Aku juga tidak pernah menginginkan kalung dari Ayah dan nyonya,” isak Ayra.
Siapa yang tidak ingin mendapatkan hadiah atau sesuatu yang bisa menjadi barang yang sangat berharga untuk kita dari orang tua tentunya? Setiap anak jelas menginginkan itu, entah untuk kenang-kenangan atau sebagai koleksi yang paling berharga.
“Jika benar kamu tidak mengambilnya, lalu, apa yang saya temukan ini?”
Ayra menatap Vynessa, beralih menatap pada telapak tangan Vynessa yang terdapat kalung berwarna silver dengan mutiara kecil yang menjadi hiasannya.
“N-yonya, aku tidak mengambilnya. A-ku bahkan tidak tahu di mana kak Kaliyah menyimpan barang berharganya, aku bersumpah nyonya.” Ayra menggeleng cepat. Air matanya tidak berhenti mengalir.
Kaliyah tersenyum puas, sedangkan seorang pemuda menatap Ayra yang berusaha memohon kepada Vynessa. Pemuda itu tentu saja Maverick yang beberapa menit lalu baru kembali dari tongkrongannya.
Plak!
“Berani sekali kamu mengambil barang milik anak saya! Siapa yang mengajari mu berbohong dan mencuri di rumah saya ha?”
Ayra? Gadis itu benar-benar dalam keadaan berantakan, wajahnya merah dengan kedua pipinya terlihat jelas bekas tamparan. Bahkan rasa pusingnya mengalahkan rasa nyeri pada bekas tamparan kuat dari Vynessa.
Ayra berlutut, menatap Vynessa dengan air mata yang semakin deras. “Nyonya, aku bersumpah tidak pernah mengambil atau mencuri di rumah ini. A-ku hiks hiks."
“Masih tidak mau mengaku kamu? Bukti ini sudah ada dan kamu masih tidak mau mengaku?”
Vynessa memberikan kalung itu kepada Kaliyah, dengan gelap mata kedua tangannya menjambak rambut Ayra hingga perban yang menutupi bekas luka di kantin tadi terlepas.
“KAMU ITU HANYA ANAK SIAL YANG KAMI TAMPUNG DAN BERI TEMPAT TINGGAL!”
PLAK!
“BERANI SEKALI KAMU MENCURI KALUNG PUTRI SAYA!”
PLAK!
“BERANI SEKALI KAMU MENCURI DI RUMAH SAYA ANAK SIALAN!”
PLAK!
Kondisi Ayra tidak bisa dikatakan baik-baik saja, ujung bibirnya sobek dan mengeluarkan cairan merah. Kondisinya memprihatinkan, hanya bisa pasrah menerima perlakuan kasar dari Vynessa.
“Suami saya sedang dalam perjalanan pulang, maka tunggu penderitaan kamu selanjutnya.”
Ucapan Vynessa membuat Ayra tersenyum kecil, ayahnya dalam perjalanan untuk memberinya luka fisik dan batin lagi. Syan tidak pulang untuk melindunginya, ayahnya tidak pulang untuk menyelamatkannya. Tetapi, ayahnya pulang untuk memberinya pukulan dengan tongkat golfnya.
“A-yah,” bisiknya dengan perlahan tubuhnya luruh menyentuh lantai yang dingin itu.
&&&
“Bangun kamu!”
Ayra membuka matanya setelah tubuhnya diseret begitu saja keluar dari kamarnya, tubuhnya diseret dengan kasar oleh Syan yang sepertinya baru saja tiba di rumah, terbukti karena ayahnya masih mengenakan setelan formalnya.
“A-yah, sakit ayah.” Ayra meringis pelan saat tangannya terasa akan lepas dari tubuhnya.
Bagaimana tidak sakit jika Syan menyeretnya dengan memegang tangan kirinya, tangan besar Syan mencengkram kuat pergelangan tangan kirinya. Kemudian, menyeretnya dengan tubuh bersentuhan dengan lantai.
“Masuk kamu!”
Syan membawa Ayra ke dalam ruangan kerjanya, pria yang menyandang gelar kepala keluarga itu melepaskan cengkramannya lalu berjalan ke ujung ruangan kerjanya untuk mengambil benda yang sering dia gunakan untuk menyiksa anaknya sendiri.
Ayra melihat itu, dengan segera mengubah posisinya duduk melipat kedua kakinya kebelakang dan memegang kedua kaki Syan.
“A-yah, ampun ayah. Aku tidak melakukannya, demi tuhan ayah, hiks hiks... aku tidak mencuri ayah,” isaknya dengan kepala yang terus saja menggeleng.
Tatapan menyedihkan itu tidak meluluhkan hati Syan, dengan kasar menarik tubuh Ayra untuk membungkuk dan memulai aksinya.
BUK!
“Siapa yang mengajari mu berbohong anak sial?”
Ayra memejamkan matanya, merasakan rasa sakit yang menghantam tubuhnya. Gadis itu menggeleng kuat dengan tangisan yang semakin deras.
BUK!
Suara pukulan itu begitu nyaring dalam ruangan yang kedap suara ini, semua benda menjadi saksi bahwa betapa kejamnya seorang ayah yang menghakimi putrinya, anak kandungnya sendiri.
“SIAPA YANG MENGAJARI MU MENGAMBIL BARANG PUTRI SAYA HA?”
“-a-mpun a-y-yah,” bisiknya dengan lemah.
BUK!
“JANGAN MENGELUARKAN SUARA YANG MENJIJIKKAN ITU!”
BUK!
BUK!
BUK!
Rasanya, tulungnya sepertinya sudah patah. Tubuhnya luruh menyentuh lantai yang dingin dengan rasa sakit yang menggorotih tubuhnya, kesadarannya perlahan menghilang.
“Anak tidak tahu di untung seperti kamu, memang pantas mendapatkan hukuman.”
Syan puas, membuang tongkat itu kesegala arah. Menatap tubuh yang tidak sadarkan itu dengan tatapan dingin, tidak ada rasa peduli sedikit pun dalam dirinya.
Ayra kembali mendapatkan luka setelah beberapa hari dirinya aman di rumah ini karena tidak melakukan kesalahan yang membuat orang rumah marah kepadanya, tapi hari ini dia kembali dikejutkan dengan amukan dari kedua orang tuanya.
Jika boleh, gadis itu memilih untuk segera pergi dari dunia yang sama sekali tidak memberinya keadilan. Dia ingin segera menyusul sang kakek, ingin mengadu kepada kakeknya.
“A-yah.”
Bahkan setelah gadis itu mendapat perlakuan keji dari Syan, bibir yang pucat pasih itu masih bisa memanggil ayahnya yang bahkan sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Syan memang ayah yang baik untuk kedua anaknya, tetapi tidak untuk Ayra.
SEE YOU I PART SELANJUTNYA👋👋👋
thor . . bantu dukung karya chat story ku ya " PUTRI KESAYANGAN RAJA MAFIA "