Alya tidak pernah menyangka hidupnya yang biasa akan berubah selamanya saat ia bertemu dengan Rheyan, sosok pria misterius dengan tatapan kelam dan aura yang terlalu menggoda. Ia datang di saat-saat antara hidup dan mati, membawa takdir yang tak bisa dihindari. Tapi yang tak ia duga, sang malaikat maut justru terpikat oleh kelembutan dan keberaniannya.
Di sisi lain, ada Davin, dokter penuh kasih yang selalu ada untuk Alya. Ia menawarkan dunia yang nyata, cinta yang hangat, dan perlindungan dari kegelapan yang perlahan menyelimuti kehidupan Alya.
Namun, cinta di antara mereka bukanlah hal yang sederhana. Rheyan terikat oleh aturan surgawi—malaikat maut tak boleh mencintai manusia. Sementara Alya harus memilih: menyerahkan hatinya pada keabadian yang penuh bahaya atau tetap berpijak pada dunia fana dengan seseorang yang bisa menjanjikan masa depan.
Ketika batas antara surga dan bumi kabur, bisakah cinta mengubah takdir? Atau justru cinta itu sendiri yang akan menghancurkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irnu R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebenaran yang Hampir Terungkap
Alya berjalan sendirian di tengah padang ilalang yang luas. Langit di atasnya berwarna ungu tua, bercampur dengan semburat merah yang tampak seperti darah yang menetes di kanvas gelap. Angin berembus lembut, membawa suara-suara samar yang tidak bisa ia pahami.
Di kejauhan, seorang pria berdiri membelakanginya. Sosok itu mengenakan jubah panjang berwarna hitam, rambutnya sedikit berantakan tertiup angin. Alya tidak bisa melihat wajahnya, tapi ada sesuatu yang aneh. Sosok itu terasa familiar.
Jantungnya berdegup kencang saat ia melangkah mendekat. Suara langkahnya tenggelam dalam kesunyian. Ia ingin memanggil pria itu, tapi bibirnya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menahan suaranya untuk keluar.
Namun, seolah mengetahui keberadaannya, pria itu perlahan menoleh.
Alya terpaku.
Mata itu. Mata kelam yang penuh rahasia dan beban yang terlalu berat untuk ditanggung seorang manusia. Mata yang seharusnya hanya dimiliki oleh satu orang.
"Rheyan…?" suaranya keluar lebih seperti bisikan.
Pria itu menatapnya tanpa ekspresi, tapi di matanya ada sesuatu yang berbeda. Seperti memori yang lama terkubur, seperti rindu yang tidak pernah terucap.
Lalu, semuanya menghilang.
Alya terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat dingin membasahi dahinya. Ia butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa ia sudah kembali ke kamarnya, duduk di tempat tidur dengan napas masih tidak beraturan.
Mimpi itu… Kenapa terasa begitu nyata?
Ia memegangi kepalanya, mencoba mengingat lebih jelas, tapi semakin ia berusaha, semakin kabur bayangan pria itu dalam pikirannya. Ia tahu itu Rheyan, tapi ada sesuatu yang janggal. Rheyan dalam mimpi itu bukan seperti yang ia kenal. Seolah ia adalah seseorang yang lain, di kehidupan yang berbeda.
Sebelum ia bisa mencerna lebih jauh, ponselnya bergetar. Ia meraihnya dengan tangan gemetar dan melihat nama yang tertera di layar.
Davin.
Ia ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab. "Halo?"
"Alya," suara Davin terdengar serius, sedikit lebih dingin dari biasanya. "Aku perlu bicara denganmu. Bisa bertemu sekarang?"
Alya menggigit bibirnya. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. "Apa ini tentang aku?" tanyanya hati-hati.
Hening sesaat sebelum Davin menjawab, "Ya."
Alya menutup telepon tanpa berkata apa-apa lagi dan segera beranjak dari tempat tidur. Ia tahu Davin bukan tipe orang yang menghubunginya di tengah malam tanpa alasan yang jelas.
Ketika mereka akhirnya bertemu di salah satu ruangan kosong di rumah sakit, Davin sudah menunggunya dengan wajah serius. Di tangannya ada beberapa lembar kertas, dan matanya menatapnya dengan intensitas yang tidak biasa.
"Kamu tahu bahwa seharusnya kamu tidak hidup, kan?"
Alya merasa jantungnya berhenti berdetak sejenak. Kata-kata itu seperti hantaman keras yang menghantam kepalanya.
"Apa maksudmu?" tanyanya pelan.
Davin meletakkan berkas-berkas itu di meja di antara mereka. "Aku sudah melihat catatan medis lama tentangmu. Alya… ini bukan pertama kalinya kamu mengalami kecelakaan parah dan selamat tanpa penjelasan medis yang masuk akal."
Alya menelan ludah. Tangannya secara refleks meremas sisi bajunya.
Matanya terasa panas, tapi ia tidak tahu kenapa. Ada sesuatu di dalam dirinya yang ingin menolak kenyataan ini. Kepalanya mulai berdenyut, dan suara Davin yang masih berbicara di depannya terdengar semakin jauh. Seolah-olah dunianya bergeser sedikit. Nafasnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang menekan dadanya.
Davin melanjutkan, "Beberapa tahun lalu, kamu juga mengalami kecelakaan serupa. Luka-lukamu seharusnya fatal. Tapi kamu sembuh. Bukan hanya sekali, tapi beberapa kali."
Alya tidak bisa menjawab. Ia hanya menatap lembaran-lembaran itu, membaca namanya sendiri di antara catatan medis yang tidak ia ingat pernah ada.
"Alya… apa yang sebenarnya terjadi padamu?" suara Davin lebih pelan kali ini, hampir seperti bisikan.
Alya membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Otaknya dipenuhi oleh potongan-potongan memori yang tidak utuh. Semua kejadian aneh yang ia alami, semua yang ia rasakan selama ini, semua yang tidak pernah masuk akal…
Sebelum ia bisa menjawab, hawa di ruangan itu tiba-tiba berubah.
Udara menjadi lebih dingin, lebih berat. Alya bisa merasakan bulu kuduknya meremang tanpa alasan yang jelas.
Lalu, sesuatu muncul di hadapan mereka.
Sosok yang sudah lama tidak ia lihat.
Rheyan.
Tapi bukan dalam wujudnya yang biasa.
Ia tampak lebih pucat, lebih rapuh. Sayap hitamnya yang megah terlihat hampir transparan, seolah sebentar lagi akan lenyap sepenuhnya. Wajahnya lelah, dan matanya yang biasanya penuh ketegasan kini dipenuhi kepasrahan.
"Aku… tidak bisa lama di sini lagi…" suaranya terdengar serak, nyaris seperti bisikan yang terbawa angin.
Alya tertegun. Dadanya terasa sesak melihat keadaan Rheyan yang seperti ini. "Rheyan… apa yang terjadi padamu?"
Rheyan menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke Davin. Tatapannya tajam, seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi tidak ia ucapkan.
Davin, di sisi lain, hanya bisa diam. Ekspresinya sulit ditebak, tapi Alya bisa melihat ketegangan di matanya.
Alya ingin mendekat, ingin menyentuh Rheyan untuk memastikan ia benar-benar ada di sana, tapi instingnya mengatakan bahwa jika ia bergerak terlalu cepat, Rheyan mungkin akan menghilang sepenuhnya.
Tapi Alya tidak peduli. Dengan tangan gemetar, ia mengulurkan jemarinya, berusaha meraih tangan Rheyan. Namun, yang ia rasakan hanyalah dingin yang menembus tulangnya. Jarinya melewati tubuh Rheyan seolah ia hanya kabut yang nyaris hilang. Alya menahan napas. "Tidak mungkin…" bisiknya, suaranya bergetar.
"Ada yang menghalangiku," kata Rheyan akhirnya. "Aku tidak bisa terus berada di sini."
Alya menggigit bibirnya. Ia ingin bertanya lebih banyak, ingin memahami apa yang terjadi, tapi sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata pun, tubuh Rheyan mulai berpendar samar.
"Alya…" Rheyan menatapnya dalam-dalam. "Jangan lupakan aku."
Dan kemudian, ia menghilang.
Alya berdiri membeku, tidak tahu harus merasakan apa. Kekosongan yang ia rasakan sejak beberapa waktu terakhir kini semakin dalam.
Davin adalah orang pertama yang berbicara setelah beberapa saat hening. "Apa itu… benar-benar Rheyan?"
Alya tidak menjawab. Ia hanya menunduk, mencoba memahami semuanya.
Jika Rheyan tidak bisa lagi berada di dunia ini, apa artinya?
Jika dia terus berada di sini, apakah itu akan semakin menyakiti Rheyan?
Dan jika ia ingin menyelamatkan Rheyan… konsekuensi apa yang harus ia tanggung?
Perlahan, Alya berjalan ke cermin yang ada di ruangan itu. Ia tidak tahu kenapa, tapi ia merasa ada sesuatu yang harus ia lihat.
Saat ia mengangkat kepalanya dan menatap pantulan dirinya sendiri…
Ia menahan napas.
Bayangan yang menatap balik bukanlah dirinya.
Mata itu… lebih gelap dari seharusnya. Tatapan di cermin tampak kosong, tapi dalamnya seperti menyimpan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Pelan-pelan, bibir bayangan itu melengkung dalam senyuman tipis—bukan senyuman ramah, tapi sesuatu yang lebih asing. Alya merasa sekujur tubuhnya membeku. Ia ingin berpaling, tapi tidak bisa. Seolah ada kekuatan yang menahannya untuk tetap menatap.
Mata itu… bukan miliknya.
Jantungnya berdetak kencang, dan tanpa sadar ia mundur selangkah.
"Apa yang terjadi padaku…?" bisiknya.
Di tempat lain, di balik batas dunia yang tidak bisa dilihat manusia biasa, seseorang mengawasi.
Dan waktu Alya semakin menipis.