Seorang siswa SMA yang bernama Revan Abigail adalah siswa yang pendiam dan lemah ternyata Revan adalah reinkarnasi seorang Atlet MMA yang bernama Zaine Leonhart yang ingin balas dendam kepada Presdirnya.
Siapakah Zaine Leonhart yang sebenarnya? mengapa Zaine melakukan Reinkarnasi? Rahasia kelam apa yang disembunyikan Presdir itu?
Ikuti misteri yang ada di dalam cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lynnshaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 - HARI PERTAMA MASUK SEKOLAH
Suara riuh tawa dan teriakan menggema di dalam kelas 8H SMP Wereld. Para siswa asyik bermain sepak bola di dalam kelas, meskipun jelas itu bukan tempat yang tepat. Di antara mereka, seorang anak laki-laki duduk diam di bangkunya, tenggelam dalam dunia komik yang dipegangnya. Judulnya The Lost Soul, komik yang tidak terlalu populer di kalangan teman-temannya. Anak itu bernama Revan.
Tanpa sengaja, sebuah bola meluncur ke arahnya dengan kencang dan menghantam kepalanya.
"Duk!"
Revan terhuyung sedikit, lalu memegang kepalanya. Beberapa siswa yang menendang bola itu langsung mendekatinya.
"Eh, sorry Rev! Tadi gue nggak sengaja," ucap salah satu dari mereka, meski terdengar lebih seperti basa-basi daripada permintaan maaf yang tulus.
Revan tersenyum kecil, mencoba menahan rasa sakit. "Ah... nggak apa-apa kok..."
Namun, bukannya kembali bermain, beberapa dari mereka justru saling berbisik sambil melirik ke arahnya, lalu tertawa.
"Mereka lagi ngetawain siapa...?" batin Revan, meski dalam hati ia tahu jawabannya.
Hari-hari berikutnya berjalan semakin buruk. Mereka mulai memanfaatkan sikap lembut dan pendiam Revan sebagai celah untuk merundungnya. Awalnya hanya candaan kecil-menyembunyikan bukunya, menjegalnya saat berjalan-tapi lama-lama mereka mulai memukulinya dan memalak uang sakunya.
Tahun berganti. Revan naik ke kelas 9H, dan perundungan itu semakin menjadi-jadi. Ia menjadi sasaran empuk, seseorang yang bisa mereka hina dan sakiti tanpa khawatir akan melawan. Namun, meskipun tubuhnya penuh luka, Revan tidak pernah mengeluh. Ia hanya menahan semuanya dalam diam, berharap semuanya akan berakhir begitu ia lulus.
Saat akhirnya kelulusan tiba, Revan merasa lega. SMP Wereld telah menjadi mimpi buruk baginya, dan ia berpikir bahwa memasuki SMA baru akan menjadi awal yang lebih baik. Dengan harapan itu, ia mendaftarkan diri di SMA KSTRASIA. Sayangnya, ia salah besar.
...***...
Koridor SMA KSTRASIA, sekolah swasta yang dipenuhi dengan siswa-siswi yang sibuk dengan dunianya sendiri. Beberapa berkumpul dalam kelompok kecil, tertawa dan berbicara, sementara yang lain sibuk dengan ponsel mereka. Namun, perhatian Revan justru tertuju pada pemandangan di sudut koridor-seorang siswa yang lebih kecil dipojokkan oleh beberapa siswa lain, dipalak dan dipermalukan di depan banyak orang.
Di sisi lain, beberapa siswi sibuk memoles wajah mereka dengan make-up berlebihan, seolah-olah sekolah ini adalah panggung fashion show.
"Ini bukan sekolah yang gue harapkan..." pikir Revan sambil menghela napas.
Ia pernah membayangkan SMA sebagai tempat yang lebih baik, tempat ia bisa memulai hidup baru. Tapi kenyataannya, sekolah ini tidak jauh berbeda dari SMP-nya. Bedanya, di sini semuanya lebih terselubung. Kepala sekolah menutupi semua kasus perundungan dan pemalakan dengan menyuap pihak yang berwenang.
Revan terus melangkah, berharap bisa menemukan sesuatu yang bisa membantunya melupakan semua ini. Di ujung lorong, ia melihat sebuah kelas dengan pintu yang sedikit terbuka. Kosen pintunya tampak miring, mungkin akibat didobrak oleh senior tahun lalu.
Saat ia hendak masuk, tiba-tiba seorang siswa terdorong keluar dan jatuh tepat di hadapannya.
"Erm... lo gapapa kan?" tanya Revan, cemas melihat siswa itu.
Siswa itu, seorang anak berkacamata dengan tubuh kurus, buru-buru merapikan kacamatanya dan mengelap darah yang mengalir dari hidungnya. "Ah... gapapa kok, jangan cemasin gue..."
"Lo yakin? Lo keliatan berantakan sumpah..." Revan memastikan sekali lagi.
Sebelum siswa itu bisa menjawab, suara kasar tiba-tiba menyela.
"Oi, lo murid baru kan? Sini ikut gue," kata seorang siswa yang lebih besar dengan nada kasar.
"Hah? Gue? Kenapa harus gue?" Revan bingung.
"Menurut lo? Apa gue keliatan ngomong sama tembok? Cepetan ikut gue, lama amat sih!"
Revan tidak ingin membuat masalah di hari pertamanya, jadi ia mengikuti siswa itu. Namun, sebelum pergi, siswa berkacamata tadi berbisik, "Hati-hati..."
Mereka tiba di sebuah ruangan yang lebih besar, tempat beberapa siswa lain sudah berkumpul. Seorang dari mereka, yang tampak seperti pemimpin geng, menyipitkan mata dan menatap Revan dari atas ke bawah.
"Oi, Rafa. Kenapa lo bawain anak culun berkacamata lagi kayak gini?" tanya salah satu dari mereka, tertawa.
Siswa yang membawa Revan, yang ternyata bernama Rafa, menyeringai.
"Bukannya lo pada lagi nyari pecundang baru buat dijadiin bahan mainan?"
Mata Revan melebar. "Jadi ini jebakan?"
Tanpa aba-aba, geng itu mulai mengeroyoknya. Pukulan dan tendangan datang bertubi-tubi. Revan mencoba melindungi dirinya, tapi jumlah mereka terlalu banyak. Sakit. Sangat sakit. Namun, ia tetap diam, menahan semuanya seperti yang selalu ia lakukan.
Beberapa menit kemudian, semuanya menjadi gelap.
Geng itu terdiam, terkejut melihat Revan pingsan lebih cepat dari yang mereka duga. Satu per satu mereka melarikan diri, meninggalkan tubuhnya yang tak bergerak di lantai.
Hanya Rafa yang masih berdiri di sana, menatap Revan dengan ekspresi penuh kebosanan.
"Apa-apaan ini? Gue kira lo kuat dan cuma pura-pura culun biar nggak keliatan. Tapi ternyata, culun tetaplah culun," gumamnya sebelum pergi.
Sementara itu, di dalam kegelapan pikirannya, Revan mulai merasakan sesuatu yang aneh. Kepalanya terasa seperti ditusuk oleh ribuan jarum, dan matanya tiba-tiba berubah hitam pekat.
"AGHHH!!!"
Jeritan kesakitan keluar dari mulutnya. Dalam pikirannya yang buram, ia melihat sesosok pria.
Pria itu gagah, mengenakan jas hitam formal, dan memiliki wajah yang... mirip dengannya.
"Balas dendam," kata pria itu. Kesadarannya memudar.
Ketika ia membuka mata lagi, ia sudah berada di UKS, dengan kepala yang masih berdenyut nyeri.
"Apa yang baru saja terjadi?"
Revan duduk perlahan, merasakan denyutan tajam di kepalanya. Ruangan UKS terasa sunyi, hanya suara kipas angin tua yang berdecit pelan menemani kesadarannya yang masih kabur. Ia memijat dahinya, mencoba mengingat kembali kejadian sebelum semuanya menjadi gelap. Apa tadi hanya mimpi?
Pukulan, tendangan, lalu suara itu… dan sosok pria yang mirip dengannya.
"Balas dendam."
Kata-kata itu menggema dalam benaknya, meninggalkan jejak samar yang sulit ia pahami. Tubuhnya terasa lebih ringan, seolah ada sesuatu yang baru bangkit dalam dirinya.
Suara pintu berderit membuatnya tersadar. Seorang gadis masuk, rambutnya dikuncir tinggi, membawa kantong es di tangannya.
"Oh, lo udah sadar?" tanyanya, menatap Revan dengan sorot mata penuh rasa ingin tahu.
Revan balas menatapnya, mencoba mengenali wajah gadis itu. Ia bukan salah satu dari geng yang menyerangnya tadi.
“… Iya.”
Tanpa banyak bicara, gadis itu mendekat lalu menempelkan kantong es ke kepalanya.
“Eh, bentar—”
“Diam.”
Revan terdiam ketika kantong es dingin menyentuh dahinya.
“Lo kena pukulan kanan-kiri, pasti pusing, kan?” lanjutnya sambil menekan kantong es itu lebih erat ke kepala Revan.
Revan menatapnya bingung. Gadis ini terlihat percaya diri, meskipun tubuhnya kecil dan sama sekali tidak tampak seperti seseorang yang suka ikut campur urusan orang lain.
“Siapa lo?” tanyanya akhirnya.
“Alisha.”
Nama itu terdengar asing, tapi entah kenapa terasa familiar di telinganya.
“Gue liat lo digebukin di aula belakang,” Alisha melanjutkan santai. “Gue kira lo bakal lawan, tapi ternyata lo pingsan lebih cepat dari yang gue kira.”
Nada suaranya datar, tanpa nada mengejek, hanya sebuah pernyataan fakta.
Revan mengalihkan pandangannya, merasa sedikit malu. “Makasi udah nolongin gue.”
Alisha mengangkat bahu. “Bukan gue yang nolongin.”
Revan menoleh cepat. “Hah?”
Alisha bersandar di kursinya, menatap langit-langit. “Pas gue nyampe, lu udah diangkat sama guru piket. Katanya ada yang manggilin mereka pas lu pingsan. Tapi nggak ada yang tau siapa.”
Revan terdiam.
Siapa yang menolongnya? Apakah itu siswa berkacamata tadi? Atau seseorang yang tidak ingin menunjukkan dirinya?
Alisha meliriknya sekilas. “Gue nggak suka liat orang dipukulin, tapi gue juga nggak bisa nolong semua orang. Lo harus hati-hati di sini. SMA ini jauh lebih busuk dari yang keliatan.”
Revan menggenggam ujung selimut yang menutupi tubuhnya. Ia sudah menyadari itu.
Tapi kali ini… perasaannya berbeda. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia tidak ingin hanya menjadi korban lagi. Ia ingin berubah.
“Alisha,” panggilnya pelan.
Gadis itu menoleh. “Hm?”
Revan mengangkat wajahnya, matanya terlihat lebih tajam dari sebelumnya.
“Gue mau jadi lebih kuat.” Alisha menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum kecil.
“Bagus kalo gitu.”
Ia bangkit dari kursinya, meraih tasnya, lalu melangkah ke pintu.
“Sampai jumpa di kelas, Revan.”
Pintu UKS tertutup, meninggalkan Revan sendirian. Ia masih memegang kantong es di kepalanya, tapi pikirannya sudah jauh melayang dari rasa sakit.
Ia sudah membuat keputusan. Mulai hari ini, semuanya akan berbeda.