Anna tidak pernah membayangkan bahwa sebuah gaun pengantin akan menjadi awal dari kehancurannya. Di satu malam yang penuh badai, ia terjebak dalam situasi yang mustahil—kecelakaan yang membuatnya dituduh sebagai penabrak maut. Bukannya mendapat keadilan, ia justru dijerat sebagai "istri palsu" seorang pria kaya yang tak sadarkan diri di rumah sakit.
Antara berusaha menyelamatkan nyawanya sendiri dan bertahan dari tuduhan yang terus menghimpitnya, Anna mendapati dirinya kehilangan segalanya—uang, kebebasan, bahkan harga diri. Hujan yang turun malam itu seakan menjadi saksi bisu dari kesialan yang menimpanya.
Apakah benar takdir yang mempermainkannya? Ataukah ada seseorang yang sengaja menjebaknya? Satu hal yang pasti, gaun pengantin yang seharusnya melambangkan kebahagiaan kini malah membawa petaka yang tak berkesudahan.
Lalu, apakah Anna akan menemukan jalan keluar? Ataukah gaun ini akan terus menyeretnya ke dalam bencana yang lebih besar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eouny Jeje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Istri di atas kertas
Han tidak ingin membuang waktu. Dengan satu isyarat, ia memerintahkan sopir untuk melaju. Mobil melesat menembus gelapnya malam, hingga akhirnya berhenti di depan sebuah bengkel kumuh yang nyaris tak berpenghuni.
Bangunan itu suram, seolah ditelan waktu. Dindingnya kusam, catnya mengelupas, dan bau oli tua menyengat udara. Hanya ada satu sosok di sana—seorang pria berotot dengan wajah renta, berjanggut tak terawat, dan pakaian lusuh bak gelandangan jalanan. Matanya kosong, tapi sekilas menyiratkan sesuatu yang mengintai.
Mobil pun melaju perlahan memasuki halaman bengkel. Namun, alih-alih berhenti, kendaraan itu justru terus berjalan lurus—cepat, tanpa ragu—dan menabrak tembok putih di hadapan mereka.
Anna tersentak. Napasnya tercekat. Ia refleks menutup mata, bersiap menyambut kehancuran. Tapi tidak ada benturan. Tidak ada rasa sakit.
Saat ia kembali membuka mata, kenyataan justru lebih mengejutkan—tembok itu terbuka dengan sendirinya, seolah menyambut mereka. Sensor kamera yang tersembunyi mengenali kendaraan mereka, memperbolehkan mereka masuk.
Gerbang itu seakan membawa mereka ke dunia lain. Sebuah dunia yang tidak ia kenal—misterius, menyeramkan. Tempat di mana seseorang yang disebut sebagai "pembeli" telah menunggunya.
Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah lobi luas yang mewah, sangat kontras dengan bengkel tadi. Han dengan tenang melepas borgol dari pergelangan tangannya. Ia menunduk, berbisik di telinga Anna, suaranya begitu dingin hingga membuat bulu kuduknya meremang.
"Walau kau berusaha kabur, kau tak akan pernah menemukan jalan keluar."
Hati Anna mencelos. Ia merasa seperti telah melangkah ke dalam labirin takdir, ke dalam jerat yang tidak akan pernah melepaskannya. Begitu kejam. Begitu mutlak.
Sungguh ironis, ia sudah kehilangan dunianya. Akankah ia kehilangan satu-satunya hal yang masih berharga baginya?
"Aku tidak menyangka… bahwa di dalam penjara, ada perdagangan seperti ini."
Han tersenyum tipis, matanya penuh arti. "Kau beruntung," katanya, "karena pembelimu adalah seseorang dengan tangan emas."
Anna ingin muntah. Tenggorokannya tercekat oleh rasa muak yang teramat dalam. Tapi ia tetap diam, memilih menurut saat Han mengantarnya masuk ke dalam sebuah ruang kerja yang besar dan elegan.
Di sana, seorang pria duduk membelakanginya. Wajahnya belum terlihat, tapi satu hal yang membuat jantung Anna berdetak lebih kencang—kursi roda itu.
Ia mengenalnya.
Dan itu hanya membuat semuanya terasa lebih mengerikan.
Anna berdiri membeku.
Dingin menjalar dari lantai marmer ke sumsum tulangnya, menancap dalam hingga ke nadinya. Kakinya terasa berat, seakan rantai tak kasat mata mencengkeram pergelangan kakinya, menahannya di tempat.
Namun yang membelenggunya bukanlah rantai.
Melainkan tatapan itu.
Pria itu ada di sana.
Ethan Ruan.
Dulu, ia melihat pria itu tergeletak di tengah jalan, tubuhnya terbenam dalam genangan darah yang bercampur hujan. Nafasnya tersisa hanya secuil, begitu lemah seolah maut tinggal menyentuhnya sedikit lagi.
Tapi kini, Ethan masih hidup.
Bukan sebagai pria yang ia kenal.
Ethan yang ia kenal dulu adalah pria yang penuh kehidupan. Yang berdiri tegap. Yang langkahnya selalu penuh percaya diri. Yang pernah berbicara dengan suara yang menenangkan, bahkan dalam ketegangan.
Tapi Ethan yang sekarang…
Hanya sisa dari sesuatu yang telah hancur.
Perlahan, pria itu mengangkat tangannya dan menekan tombol kecil di sisi kursi rodanya. Bunyi mekanik berdesis pelan, dan kursi itu berputar, membawa wajahnya semakin dekat dengannya.
Anna menahan napas.
Dan ketika mata itu akhirnya menatapnya…
Ia tahu ia sudah jatuh ke dalam jurang yang tak bisa dihindari.
Mata itu menelanjanginya.
Bukan hanya sekadar menatap.
Menyelidiki.
Mengulitinya perlahan, seperti seseorang yang mengupas lapisan demi lapisan luka lama untuk melihat apakah di dalamnya masih ada rasa sakit.
Dada Anna sesak.
Tatapan itu menghisapnya ke dalam lubang tanpa dasar.
Tidak ada amarah membara di sana.
Tidak ada kebencian yang meledak-ledak.
Yang lebih mengerikan—tidak ada apa-apa.
Kosong.
Hampa.
Seolah ia bahkan tidak cukup berharga untuk dibenci.
Seolah dirinya bukan manusia.
Hanya sesuatu yang pernah ada, tetapi tidak memiliki makna.
Dan saat itu, suara yang telah lama terkubur dalam ingatannya kembali bergaung di kepalanya.
Suara sipir itu.
Dingin. Sinis. Menikam.
"Status? Kau masih bertanya soal status?"
Sipir itu terkekeh, suara tawanya rendah, seperti derit besi yang sudah berkarat. "Dengar, perempuan. Orang sepertimu tidak butuh status. Kau bukan tersangka. Kau bukan korban. Kau bukan siapa-siapa. Kau hanya dibiarkan membusuk di tengah-tengah. Hidup, tapi tanpa arti. Bernapas, tapi tak benar-benar ada. Kau pikir dunia peduli padamu? Kau pikir hukum akan memihakmu?"
Anna ingat hari itu.
Hari di mana ia berhenti bertanya.
Berhenti menunggu.
Berhenti berharap keadilan akan datang mengetuk pintunya.
Karena keadilan tidak pernah ada.
Yang ada hanya kekuasaan.
Dan mereka yang memilikinya bisa menentukan siapa yang berhak untuk hidup, siapa yang pantas dihancurkan, dan siapa yang harus ditinggalkan membusuk di antara keduanya.
Dan sekarang…
Di hadapannya…
Ethan-lah yang memiliki kekuasaan itu.
Anna bisa merasakan udara di sekelilingnya semakin berat.
Seperti ruangan ini perlahan berubah menjadi sarkofagus yang akan menguburnya hidup-hidup.
Di sisi lain, Ethan menatapnya.
Dan dalam sekejap, semuanya kembali.
Selembar kertas.
Surat persetujuan operasi.
Goresan tinta yang tidak pernah ia buat.
Bukan milik Susan.
Bukan milik Edward.
Tapi di sana, dalam dokumen yang memutuskan hidup matinya—tertera namanya.
Di bawah status: "Istri."
Istri.
Istri palsu.
Bibir Ethan mengatup rapat. Tangannya mengepal di atas sandaran kursi roda, berusaha menahan sesuatu yang meletup-letup dalam dadanya.
Kemarahan? Tidak.
Kebencian? Belum tentu.
Yang paling menyakitkan adalah ia tidak tahu apa yang harus ia rasakan.
Seharusnya malam itu ia mati.
Seharusnya Edward membiarkannya mati.
Seharusnya Susan, wanita yang pernah ia percaya lebih dari siapa pun, berdiri di samping kakak tirinya, menunggu kematiannya.
Dan itu akan jauh lebih mudah.
Karena jika ia mati, semuanya selesai.
Tidak akan ada kebencian.
Tidak akan ada pertanyaan.
Tidak akan ada kebingungan yang membuatnya tersiksa seperti sekarang.
Tapi wanita ini…
Wanita yang menghancurkan tubuhnya dengan tangan sendiri, wanita yang membuatnya kehilangan semuanya…
Juga menjadi wanita yang menyelamatkannya.
Bukan dokter.
Bukan keluarga.
Melainkan seorang Anna.
Kenapa?
Mata Ethan menuntut jawaban.
Dan dalam bola mata Anna, dalam tatapan yang seolah diterangi oleh api kesalahan yang membakar dirinya sendiri, ia bisa membaca sesuatu yang nyaris membuatnya muak.
Ketidaktahuan.
"Aku tidak tahu," mata itu berbicara tanpa suara.
"Aku hanya melakukannya."
"Aku tidak punya alasan."
Terlalu polos.
Terlalu absurd.
Terlalu tidak bisa dipercaya.
Karena bagaimana bisa seseorang yang merenggut kehidupannya—justru menjadi alasan ia masih hidup?
Kau penyelamatku atau penghancurku?
Dan yang lebih buruk dari semuanya adalah—
Ethan tidak tahu jawaban dari pertanyaannya sendiri.
Jika Anna sama seperti Susan, manipulatif dan penuh kebohongan, maka segalanya akan lebih mudah.
Jika Anna memang sengaja memainkan peran pahlawan demi keuntungan sendiri, maka ia bisa membalasnya tanpa ragu.
Tapi ini…
Anna tidak berpura-pura.
Anna tidak memasang senyum manis seperti Susan.
Anna tidak melontarkan kata-kata palsu seperti Edward.
Anna hanya diam.
Dan itu membuat Ethan semakin hancur.
Karena jika Anna benar-benar berbeda…
Jika Anna memang tulus…
Maka itu berarti tidak semua orang di dunia ini sama seperti Susan dan Edward.
Dan ia tidak siap untuk menghadapi kenyataan itu.
Haruskah aku membencinya?
Atau haruskah aku berterima kasih?
Mana yang lebih masuk akal?
Tidak ada.
Tidak ada yang masuk akal.
Dan Ethan benci ketika sesuatu tidak masuk akal.
Saat akhirnya ia membuka mulut, suaranya serak, rendah, namun mengandung sesuatu yang lebih tajam daripada sekadar kemarahan.
"Anna."
Satu kata.
Tapi di balik satu kata itu, tersimpan sesuatu yang jauh lebih dalam.
Sebuah pertanyaan yang belum terjawab.
Sebuah dilema yang belum selesai.
Sebuah kepastian bahwa Ethan tidak akan pernah melepaskan wanita ini sampai ia mendapatkan jawaban yang ia inginkan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Fashion House bukan sama dengan Rumah Mode dalam bahasa?