Ayuni dan kedua temannya berhasil masuk ke sebuah perusahaan majalah besar dan bekerja di sana. Di perusahaan itu Ayuni bertemu dengan pria bernama Juna yang merupakan Manager di sana. Sayangnya atasannya tersebut begitu dingin dan tak ada belas kasihan kepada Ayuni sejak pertama kali gadis itu bekerja.
Namun siapa sangka Juna tiba-tiba berubah menjadi perhatian kepada Ayuni. Dan sejak perubahan itu juga Ayuni mulai mendapatkan teror yang makin hari makin parah.
Sampai ketika Ayuni jatuh hati pada Juna karena sikap baiknya, sebuah kebenaran akan sikap Juna dan juga teror tersebut akhirnya membawa Ayuni dalam masalah yang tak pernah ia sangka.
Kisah drama mengenai cinta, keluarga, teman, dan cara mengikhlaskan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11. HUBUNGAN
..."Terkadang masa lalu lebih menakutkan...
...Dibandingkan dengan apapun...
...Karena jejaknya sulit hilang...
...Sakitnya pun seakan membunuh...
...Ketika luka tak sengaja terkenang."...
Tidak ada yang berubah dari hari-hariku, bahkan aku mulai terbiasa dengan rutinitas yang kumainkan setiap saat. Menghabiskan waktu dengan berkerja di tempat yang sudah seperti rumah kedua untukku, tempat dimana aku bisa menikmati apa yang tengah kukerjakan.
Teriakan, umpatan, perintah, hingga dengkuran menjadi hal yang kurindukan setiap saatnya. Tawa yang terdengar seolah memberitahuku betapa menyenangkannya hidupku bersama dengan teman-temanku. Tidak ada hal lain lagi yang kuinginkan selain kebahagiaan ini, aku hanya berharap kalau kesenangan ini tidak akan berakhir dengan menyedihkan, setidaknya biarlah berakhir dengan kesenangan serupa.
Andre, teman setimku sepertinya setiap hari bertambah kegilaannya. Aku merasa kasihan dengan Bobby yang selalu mendapatkan keusilan dari pria yang hanya lebih tua dariku tiga tahun itu. Ia bahkan terus memintaku untuk memanggilnya dengan sebutan ‘kakak’, panggilan yang tidak cocok untuk seorang perusuh sepertinya.
“Kak Yoga, ini file yang tadi diminta. Dan juga ini artikel yang sudah direvisi dan digabungkan dengan artikel yang dikasih Mbak Dewi pagi tadi,” kataku saat memberikan apa yang Tim Publish minta.
“Oh, iya. Makasih.” Pria itu terlihat sedang sibuk sekali, bisa kulihat ia bahkan melupakan beberapa barang yang ia taruh. “Ayuni? Apa kamu lagi sibuk banget?” tanyanya.
Kugelengkan kepalaku. “Nggak, Kak. Kenapa?”
“Bisa bantuin ketikin ini nggak? Biasanya Rini yang kerjain, berhubung dia lagi keluar ngurusin yang lain, jadi nggak ada yang ngerjain. Dan Bos Juna minta ini segera diselesaikan,” pintanya.
“Tentu, saya bisa kok. Mana yang harus diketik?”
“Ini, dari sini sampai sini. Pakai komputer Rini aja,” kata Kak Yoga memberitahu apa yang harus kukerjakan. Hanya mengetik bukan hal yang sulit, hanya memakan sedikit waktu. Lagipula baik Kak Yoga maupun Rini dan TIm Publish juga sering membantuku dan timku ketika mendapatkan kesulitan atau butuh bantuan.
Segera kukerjakan apa yang Kak Yoga minta, berusaha fokus agar selesai lebih cepat. Beberapa kali Kak Yoga mengajakku mengobrol, membuat suasana lebih santai. Ternyata Kak Yoga adalah orang yang amat sabar dan menyenangkan, bahkan cara ia tertawa begitu lembut dan sopan. Kusangka ia orang yang kaku, ternyata tidak.
Tak jarang Kak Yoga membuka pembicaraan tentang temanku, Rini. Ia bertanya mengenainya dengan detail, seakan ingin sekali tahu akan kehidupan hari-harinya yang tidak ia tahu. Aku mengerti kalau Kak Yoga memiliki perasaan dengan Rini, hal itu tidak sengaja kuketahui ketika ia sedang berbicara dengan Kak Satria dalam obrolannya.
Dan sejak saat itu, Kak Yoga sering sekali bertanya tentang Rini dariku, bagaimana keadaannya, apa yang dia lakukan, apa yang disuka dan tidak. Ia tidak berniat menutupinya, justru senang bisa terbuka seperti itu. Kurasa itu sikap pria yang baik, tidak bertindak pura-pura dan mengalir apa adanya jika menyukai seseorang.
“Rini itu orangnya pemarah, dia bisa marah hanya karena hal kecil. Dia keras kepala dan selalu ingin menang, kadang nggak bisa ngendaliin diri pas adu argumen. Tapi, justru karena itu dia bakal jadi orang pertama yang maju untuk ngebela temen atau orang yang dekat sama dia. Argumennya yang kuat apalagi kalau itu benar, nggak akan ada yang bisa ngalahin dia. Dia selalu bela temennya. Cuma karena sifat pemarahnya banyak orang yang suka salah paham sama dia, padahal dia orangnya asyik banget,” nilaiku jujur.
Memang benar kalau Rini memang seperti itu, justru karena itulah aku selalu ingin berada di sampingnya sebagai teman yang baik. Karena secara tidak langsung atau tanpa ia sadari, ia sering sekali membelaku. Aku tidak tahu banyak tentang kisah cintanya, karena itu aku mendukung hubungannya dengan Kak Yoga. Dari yang kulihat, Kak Yoga adalah orang yang paling bisa meredam amarah Rini, hal yang nggak bisa dilakukan orang lain terutama aku dan Dini.
Kak Yoga setuju dengan ucapanku. Ia menceritakan padaku bagaimana pertama kali ia tertarik dengan Rini. Justru ia tertarik ketika melihat Rini memarahi Ketua Tim-nya si Satria karena membuat kesalahan fatal. Awal yang lucu untuk memulai sebuah kisah cinta, kan.
“Makasih, udah dibantuin. Nanti bakal Kakak traktir di kantin sebagai bayarannnya,” kata Kak Yoga ketika aku menyelesaikan pekerjaan yang ia minta. “Makasih juga udah ngobrol soal Rini,” sambungnya.
“Sama-sama, Kak.”
Aku kembali ke meja kerjaku, melihat tugas selanjutnya. Sepertinya aku harus menunda pekerjaanku karena berkas file yang harus kukerjakan masih ada pada komputer Bos Juna. Seharusnya aku meminta itu sebelum Bos Juna pergi melakukan pertemuan beberapa jam lalu.
“Kamu nggak ada kerjaan?” tanya Mbak Dewi saat melihatku hanya duduk santai.
“Nggak ada, Mbak. Berkas yang harus aku kerjain masih belum di kasih sama Bos Juna,” jawabku.
“Kalau gitu bisa kamu pergi ke luar, kamu ambil gambar dari fashion perempuan dan pria yang sesuai dengan tema kita minggu depan. Ambil dengan banyak mode, karena kita kekurangan referensi untuk tren di majalah kita minggu depan,” suruh Mbak Dewi.
“Oke, Mbak.”
Kebetulan aku senggang, setidaknya ada hal yang bisa kukerjakan dibandingkan harus duduk dan memerhatikan yang lain bekerja.
Tanpa membuang waktu lagi, aku langsung mengambil tas ransel yang berisikan kamera kesayangan pemberian kakakku. Entah kenapa aku selalu bersemangat jika berhubungan dengan kamera dan pengambilan gambar, kuharap suatu hari nanti aku bisa keliling dunia dan mengambil gambar yang bagus.
Kulihat Andre memekik tidak senang dengan aku yang bekerja di luar gedung, ia protes karena ia juga tidak diberikan pekerjaan serupa. Aku justru bersyukur jika ia tidak ikut, jadi aku tidak perlu pusing karena keusilannya itu.
Ketika turun dari lift aku melihat Bos Juna di dekat resepsionis.
Nampak ia berdiri dengan seseorang, seorang wanita tepatnya. Kukira ia akan kembali ke kantor sore nanti atau bahkan malam.
Mereka berdua sepertinya sedang membicarakan hal penting, raut mereka terlihat serius. Hanya saja yang membuatku tidak habis pikir adalah wanita yang bicara dengan Bos Juna. Bukankah ia Sarah? Wanita yang menjadi alasanku bersandiwara dulu untuk membantu Bos Juna darinya. Lalu kenapa mereka terlihat begitu akrab, bahkan tidak ada wajah tidak suka yang sebelumnya Bos Juna perlihatkan pada Sarah. Aku tidak tertarik untuk mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan.
Menguping adalah perbuatan tidak baik, sebaiknya aku buru-buru melakukan apa yang Mbak Dewi katakan sebelum sore. Bagaimana pun aku harus menikmati kebebasanku yang sebentar ini.
Kuhirup udara segar begitu keluar dari gedung. Seandainya Rini dan Dini bisa ikut akan semakin menyenangkan, entah kapan terakhir kali kami menghabiskan waktu bersama. Mungkin karena pekerjaan yang sibuk waktu kami jadi terbatas, tidak seperti kuliah dulu yang selalu memiliki banyak waktu senggang.
Langkahku terhenti saat sebuah tangan memegang pergelangan tanganku, menahanku untuk melangkah lebih jauh. Spontan aku menolehkan kepalaku, mencari tahu siapa yang menahan jalanku.
“Bos?” Aku terkejut ketika melihatnya di sini, padahal beberapa saat lalu ia masih ada di depan resepsionis. Aku juga sudah berhati-hati agar ia tidak melihatku pergi.
“Mau kemana? Bukannya udah saya bilang untuk nggak pergi kemana pun sendirian?” katanya dengan kilatan amarah di wajahnya.
“Saya mau nyari referensi gambar untuk majalah minggu depan. Ini masih siang, jadi nggak masalah kalau saya pergi sendirian,” jawabku ragu. Entah kenapa tiba-tiba mood atasanku ini buruk hari ini.
“Penjahat nggak peduli mau siang atau malem, kamu nggak kapok setelah yang terjadi malem itu? Seharusnya kamu bisa jaga diri dan lebih hati-hati,” cerocosnya.
“Hanya karena apa yang terjadi sama saya waktu itu bukan berarti saya harus terus-menerus di dalam ruangan. Pekerjaan saya juga nuntut saya kerja di luar.” Aku ikut tersulut sekarang karena nada bicaranya yang tidak aku suka menguar darinya.
“Saya cuma nggak mau ada apa-apa sama kamu, Ayuni. Kamu karyawan saya. Soal kerjaan kamu di luar ruangan, saya bisa alihin itu ke yang lain, Andre atau Bobby juga bisa ngelakuinnya.” Kurasa Bos Juna berlebihan dalam menyikapi hal ini.
“Nggak bisa kayak gitu dong, Bos. Bos tahu dengan jelas kalau saya lebih senang di luar ruangan daripada di dalem, lagipula saya sedang nggak ada kerjaan untuk merevisi hari ini, dan ini tugas dari Mbak Dewi,” jawabku dengan lantang, sedikit heran kenapa tiba-tiba ia bersikap seperti ini.
“Saya Bos-nya di sini, saya yang ngatur kerjaan kamu, jadi dengerin saya,” katanya dengan nada yang tidak kusuka, seolah kesan pertama yang kurasakan padanya di hari pertama kembali lagi. “Kamu tetep di sini sampai jam pulang kerja kamu.”
“Kalau gitu biar saya yang nemenin dia, Bos. Saya juga ada kerjaan yang sama dengan Ayuni,” suara berbeda terdengar menengahi kami.
Andre dengan santai berjalan mendekatiku dan Bos Juna, tersenyum seakan tidak memermasalahkan keributan di antara kami berdua. Namun bisa kulihat ada kerlip kesal dalam pandangan Andre saat berjalan ke arahku. Menatap Bos Juna lekat.
“Lagipula saya rasa Anda terlalu protektif kepada Ayuni. Itu bisa buat orang lain salah paham loh, atau memang itu yang Bos inginkan?” kata Andre yang menatap langsung atasannya. Aku penasaran apakah ia tidak takut pada apapun, bukan sikap seperti itu sama halnya dengan menantang Bos Juna.
Perlahan Bos Juna melepaskan pegangan tangannya pada pergelanganku, wajah tidak suka terlihat sekali dalam paras Bos Juna saat mendengar ucapan Andre. “Silahkan kalau kamu mau pergi,” katanya padaku.
Apakah Bos Juna marah karena aku tidak mendengarkan ucapannya? Ia bahkan tidak menatapku lagi seperti sebelumnya, kerutan di dahinya juga semakin dalam. Rahangnya mengeras seakan menahan sedang menahan amarah.
“Kalau gitu saya pergi, Bos,” kataku sebelum Andre menarik tanganku meninggalkan Bos Juna dalam diamnya.
Sepanjang perjalanan menuju tempat yang dicari oleh Andre, kepalaku terus memikirkan Bos Juna yang marah. Aku hanya berharap kalau aku tidak dalam masalah sekembalinya ke kantor. Tapi perasaan tidak tenang dan menyesal terus bergelayut pada diriku, seakan akulah yang melakukan kesalahan tadi terhadap atasanku.