Ziel, seorang CEO muda yang tegas dan dingin, memutuskan pertunangannya setelah menemukan bukti perselingkuhan Nika. Namun, Nika menolak menerima kenyataan dan dengan cara licik, ia menjerat Ziel dalam perangkapnya. Ziel berhasil melarikan diri, tetapi dalam perjalanan, efek obat yang diberikan Nika mulai bekerja, membuatnya kehilangan fokus dan menabrak pohon.
Di tengah malam yang kelam, Mandara, seorang gadis sederhana, menemukan Ziel dalam kondisi setengah sadar. Namun, momen yang seharusnya menjadi pertolongan berubah menjadi tragedi yang mengubah hidup Dara selamanya. Beberapa bulan kemudian, mereka bertemu kembali di kota, tetapi Ziel tidak mengenalinya.
Terikat oleh rahasia masa lalu, Dara yang kini mengandung anak Ziel terjebak dalam dilema. Haruskah ia menuntut tanggung jawab, atau tetap menyembunyikan kebenaran dari pria yang tak lagi mengingatnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Karena Dara
Pagi itu, kantor terasa lebih ramai dari biasanya. Semua teman-teman Dara sudah berkumpul di ruangan, bahkan sebelum jam kerja dimulai. Ketika Dara tiba dengan wajah penuh rasa penasaran, ia berhenti sejenak di pintu dan memandang mereka dengan kening berkerut.
"Eh, tumben kalian rajin banget pagi-pagi gini. Jangan-jangan ada inspeksi dadakan, ya? Kok aku nggak dikasih tahu?" tanyanya sambil menutup pintu dengan kaki dan berjalan masuk.
Salah satu temannya, Lina, langsung menarik tangan Dara dan mendudukkannya di kursi. "Bukan, Dara. Kita ini kumpul buat kamu."
Dara makin bingung. "Hah? Kok kayak acara doa bersama gitu? Emangnya aku mau berangkat haji?"
Tawa kecil terdengar, tapi Lina menggeleng. "Kita mau kasih wejangan. Kamu 'kan mulai hari ini jadi asisten Tuan Ziel. Ini posisi berat, Dar. Jadi kami mau kamu siap."
"Siap mental dan fisik," sambung Bimo, temannya yang paling pendiam, sambil menyodorkan kopi ke Dara. "Kamu harus kuat ngadepin si boss yang susah banget didekati."
"Aduh, kalian serius banget," jawab Dara dengan tawa kecil sambil menyeruput kopi. "Apa dia serem banget kayak vampir, ya? Perasaan enggak."
"Serem emang enggak, tapi sudah kami bilang kemarin, dia perfeksionis. Kalau salah sedikit aja, bisa-bisa kamu dipecat," kata Lina sambil menggeleng serius. "Jadi, kita mau kasih pengalaman kita biar kamu nggak gagal. Kalau kamu gagal, mending balik aja ke sini. Kita udah nyaman ada kamu, Dar. Kamu tuh bikin suasana lebih hidup."
Teman-temannya mengangguk setuju. Dara yang biasanya suka bercanda mendadak terdiam, matanya berkaca-kaca. "Ih, kok aku jadi terhura, eh terharu, sih? Ini beneran wejangan apa acara perpisahan, ya?"
"Ya dua-duanya," kata Lina dengan senyum kecil. "Kita cuma mau kamu tahu, Dar. Kalau kamu nggak kuat di sana, balik aja ke sini. Kita pasti dukung."
Dara bangkit dari kursinya, mengangkat cangkir kopinya tinggi-tinggi. "Tenang aja, geng. Gue ini Dara si tak terkalahkan! Gue pasti bisa bikin si boss jatuh cinta sama kerjaan gue, atau... minimal nggak pengen pecat gue. Kalau nggak, gue kabur balik ke kalian."
Tawa mereka pecah bersamaan. Meski ada kekhawatiran, teman-temannya merasa yakin Dara akan membawa warna baru di posisi barunya.
Dara berjalan menuju ruangan Pak Burhan dengan tumpukan dokumen di tangannya. Langkahnya ringan, tapi pikirannya sudah berputar mencari cara dramatis untuk pamitan. "Oke, Dara, ini saatnya. Beri kesan terakhir yang megah. Bikin Pak Burhan terharu sampai pengen bikin tugu penghormatan buat gue," gumamnya pelan sambil membuka pintu.
Namun, begitu pintu terbuka, Dara langsung berhenti di tempat. Pak Burhan, dengan kumis tebal ala Pak Raden, sudah duduk di balik mejanya sambil membaca laporan. Dara spontan menjatuhkan rahangnya, nyaris menjatuhkan dokumen juga.
"Loh, Pak! Kok udah di sini? Saya 'kan mau bikin entrance dramatis!" katanya sambil mengangkat tangan ke atas seperti aktris teater.
Pak Burhan mendongak dengan ekspresi datar, tapi sudut bibirnya sedikit naik. "Dara, masuk. Kalau mau dramatis, jangan bawa dokumen setinggi gunung itu. Nanti jatuh, yang ada malah saya drama ngerapihin."
Dara nyengir, lalu melangkah masuk dan meletakkan dokumen di meja Pak Burhan dengan gaya penuh gaya. "Pak, ini semua kerjaan udah saya selesaikan. Nggak ada warisan kerjaan buat pengganti saya, jadi Bapak nggak perlu khawatir. Saya profesional, Pak."
Pak Burhan mendesah sambil menyandarkan diri di kursi. "Dara, kamu tahu nggak, kenapa saya suka kamu di divisi ini?"
Dara langsung menegakkan tubuhnya. "Karena saya cantik, ceria, dan membawa kebahagiaan di mana pun saya berada?"
Pak Burhan terkekeh. "Bukan. Karena kamu itu cekatan, anaknya bisa diandalkan, dan kerjaanmu rapi. Tapi ya... mulutmu itu bikin pusing."
Dara meletakkan tangan di dada dengan ekspresi dramatis. "Pak, ini pujian atau sindiran? Kalau saya bikin pusing, itu tandanya saya sukses bikin hidup Bapak lebih berwarna."
Pak Burhan menggeleng sambil tertawa kecil. "Dara, saya cuma mau bilang, kamu itu anak cerdas. Cuma satu pesan saya, tahan mulutmu di depan Tuan Ziel. Jangan sampai kamu bikin dia pusing juga, ya."
Dara langsung berdiri tegak, memberi hormat ala militer. "Siap, Pak! Saya janji, mulut ini hanya akan berkata yang perlu! Eh, kecuali kalau saya lupa..."
Pak Burhan menghela napas panjang, tapi matanya penuh rasa sayang. "Semoga kamu betah jadi asistennya, Dar. Kalau nggak, pintu divisi ini selalu terbuka buat kamu."
Dara tersenyum lebar, lalu mengangkat kedua tangannya seperti sedang memberikan salam perpisahan. "Baiklah, Pak Burhan! Terima kasih atas bimbingan dan wejangan! Kalau nanti saya balik ke sini, sambutlah saya dengan nasi uduk, ya!"
Pak Burhan hanya menggeleng, tapi senyum tak lepas dari wajahnya saat Dara melangkah keluar. "Anak itu... semoga Tuan Ziel nggak pusing duluan."
***
Dara melangkah menuju meja sekretaris Ziel dengan langkah percaya diri, tetapi matanya sedikit menyipit memerhatikan pria berkacamata yang duduk di balik meja itu. "Pak Juan, ya? Saya Dara, asisten baru Tuan Ziel. Jangan panggil saya Mbak, ya, soalnya itu bikin saya ngerasa tua," katanya sambil menyunggingkan senyum ramah.
Juan mengangkat alis sambil tersenyum tipis. "Tuan Ziel sudah menunggu di dalam. Silakan, Mbak Dara."
Dara langsung menepuk jidatnya sendiri. "Aduh, Pak Juan nggak denger apa tadi saya bilang? Jangan panggil saya Mbak! Panggil Dara aja, biar kayak temen seumuran."
Juan hanya terkekeh pelan sambil menunjuk ke arah pintu. "Silakan masuk, Dara."
Dara mengetuk pintu ruang Ziel dengan gaya yang sedikit berlebihan, seperti sedang mengetuk pintu istana. Begitu terdengar suara tegas Ziel menyuruhnya masuk, ia melangkah dengan hati-hati. Begitu masuk, Dara sempat terdiam sejenak. "Kantor Tuan Ziel terasa sangat mewah dengan perabotan minimalis yang rapi, tapi auranya... dingin banget. Kayak masuk ke dalam kulkas." gumamnya lirih. Kemarin ia tak terlalu memerhatikan ruangan ini.
Ziel mengangkat wajah dari dokumen di tangannya, matanya tajam memerhatikan Dara, tapi kemudian ia menyipitkan mata sedikit. Sesuatu terasa berbeda. Aroma tubuh Dara... entah kenapa nyaman di indera penciumannya.
"Silakan duduk," ujar Ziel sambil menunjuk kursi di depannya.
Dara langsung duduk dengan gaya patuh, tangannya bersiap di atas meja seperti murid yang sedang menghadapi ujian. "Sudah tahu apa pekerjaanmu?" tanya Ziel, suaranya tenang tapi tegas.
Dara mengangguk cepat. "Sudah, Tuan. Tapi kalau ada yang masih saya belum tahu, tolong dikasih tahu. Kalau perlu, dikasih contekan juga."
Ziel menaikkan satu alisnya, seperti sedang menilai apakah Dara sedang serius atau bercanda. Sebelum ia sempat menjawab, terdengar ketukan di pintu. Ziel menghela napas. "Masuk."
Juan melangkah masuk sambil membawa map dokumen, tapi langkahnya terhenti saat melihat Dara duduk di depan Ziel. Ekspresi pria itu jelas menunjukkan keterkejutan, sampai-sampai ia terdiam di ambang pintu.
"Juan?" tegur Ziel, nada suaranya membuat Juan tersentak.
Juan tergagap, "Maaf, Tuan. Saya mengantarkan dokumen yang perlu ditandatangani." Ia buru-buru melangkah ke meja sofa di sudut ruangan, tempat biasanya ia menyerahkan dokumen belakangan ini.
Namun, Ziel tiba-tiba berkata, "Letakkan di meja saya."
Juan menghentikan langkahnya, wajahnya tampak bingung. "Di meja, Tuan?"
"Ya, di sini," ujar Ziel, nadanya datar tapi jelas memerintah.
Dara yang duduk di depan Ziel memiringkan kepalanya, matanya berpindah-pindah antara Ziel dan Juan. "Eh, Pak Juan, kok kayak anak magang baru pertama kali disuruh bos? Santai aja kali."
Juan menelan ludah sambil mendekati meja Ziel, ragu-ragu. Ia akhirnya meletakkan dokumen itu di meja Ziel, jelas terlihat canggung. Dara diam-diam mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang aneh dengan sikap Juan.
Ziel, sementara itu, mengamati dirinya sendiri. Ia sadar bahwa aroma tubuh Juan, yang biasanya mengganggunya, terasa lebih tolerable. Semua ini karena keberadaan Dara.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat2 dara jgn punya pikiran mau menggugurkan kandunganmu itu
bayi itu tidak berdosa....
Seandainya suatu terbongkar dara hamidun sebaiknya jujur aja sm pak boss korban memperkosaan dara....
kasian jg jd dara hamil tidak tahu siapa pelakunya dan mau minta tanggungjawan sm siapa jg....
blm nanti omongan tmn2 Kantornya pd juling pasti dara hamil diluar nikah...
lanjut thor.....
Sabar dara anak itu titipan jaga dan rawat dia dan sayangi hrs menerima dgn ikhlas....
Pak bos seandainya tahu daralah perempuan yg dinodainya so pasti akan bertanggungjawab menikahinya...
Debay pgn dekat2 sm papanya dan papanya mengalami sindrom coudave....
Dara testpack dulu membuktikan lg hamil gak....
Sabar ya dara hasil garis dua hrs terima dgn ikhlas dan pasti dara bingung mau minta tanggungjawab sm siapa pria yg menghamilinya wajahnya samar2 dan tidak jelas....
sama dengan cover novel sebelah??
sama2 update juga,kirain novelnya error gak tau nya liat judul beda...
maaf ya kk Thor🙏🏻