Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.
Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ꦠꦶꦒꦥꦸꦭꦸꦪꦏ꧀
"Selamat pagi, Mela," sapa Herlic sambil melangkah mendekati Mela yang duduk di teras rumahnya. Wajahnya yang cerah kontras dengan ekspresi murung Mela.
"Pagi, Her," jawab Mela singkat, matanya menatap kosong ke arah jalanan.
Herlic menyipitkan mata, mencoba membaca suasana hati gadis itu. "Bagaimana keadaanmu saat ini? Kau sudah sembuh?" tanyanya dengan nada lembut, berbeda dari biasanya.
"Begitulah... masih sedikit sakit," jawab Mela, singkat dan datar, tak seperti biasanya.
Herlic memperhatikan dengan saksama. Biasanya, Mela selalu saja banyak bicara, sering mengomentari apa pun dengan nada sinis, bahkan tak jarang membuat Herlic kesal dengan ejekan tentang Belanda yang sok berkuasa. Namun hari ini, Mela tampak berbeda—diam dan tidak bersemangat.
"Mela, apa William pernah datang ke sini?" tanya Herlic hati-hati, mencoba membuka percakapan.
"William siapa? Aku tidak kenal," balas Mela tanpa antusias.
"Sepupuku, yang dulu sempat mengatur wilayah ini sebelum aku," jelas Herlic.
Mela mendengus kecil. "Mana aku tahu. Wajah kalian semua hampir sama. Susah membedakan mana Jenderal William, mana Gubernur Harles, mana tentara Jeslo, atau pemimpin Winderwoy. Aku cuma kenal satu orang saja."
"Siapa itu?" Herlic bertanya dengan nada penasaran.
"Kamu." Mela menatapnya sekilas sebelum kembali menunduk.
"Oh, iya kah?" Herlic tersenyum tipis. Jawaban itu sedikit menghangatkan hatinya, meski ia tahu Mela sedang tidak dalam mood terbaiknya. Ia memilih untuk tidak banyak bicara lagi, membiarkan keheningan sesaat di antara mereka.
Mela melirik Herlic dengan mata yang menyimpan banyak pertanyaan. Ia tidak mengerti mengapa pria itu masih saja duduk di sana, seolah-olah ingin berbagi sesuatu, tetapi tidak berani untuk menanyakannya.
"Mela!" panggil Herlic, memecah keheningan.
"Ya?" jawab Mela, suaranya datar.
"Hari ini kau berbeda sekali. Biasanya, kau yang paling ribut dan tak pernah bosan mengejekku."
Mela tersenyum tipis, tapi senyumnya penuh arti. "Aku rasa itu tidak pantas."
Herlic memiringkan kepala, bingung dengan perubahan sikapnya. "Mela, kau baik-baik saja?" tanyanya hati-hati.
"Iya, aku baik-baik saja," jawab Mela, meski jelas ada sesuatu di matanya. Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Aku hanya sedikit rindu dengan keluargaku... dengan ayahku yang sudah lama pergi, dengan Nek Ciliwa, dan... ibuku, yang baru-baru ini meninggal."
Kata-kata itu menusuk hati Herlic. Ia terdiam, menundukkan kepala. Ia tahu, jauh di dalam hatinya, bahwa ia adalah bagian dari penyebab kesedihan Mela. Ia tahu bahwa kematian Nek Ciliwa dan ibu Mela adalah hasil dari perintahnya sendiri, meskipun ia tidak pernah menginginkan hal itu secara langsung terjadi.
Namun, Mela melanjutkan dengan tawa kecil yang getir. "Hahaha, tapi ya sudahlah. Namanya juga takdir. Mau menangis darah sekalipun, tidak ada yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi, bukan?"
Herlic semakin tertunduk, kata-kata Mela seperti duri yang menusuk dalam. Ia ingin meminta maaf, ingin menjelaskan, tapi apa yang bisa ia katakan? Bahwa ia menyesal? Bahwa ia sebenarnya tidak bermaksud melakukan itu? Semuanya terasa hampa.
Mela menatapnya sebentar, lalu mengalihkan pandangannya ke jalanan. Ia tahu sesuatu yang besar sedang dipendam oleh Herlic, tapi ia tidak butuh pengakuan itu. "Takdir," katanya sekali lagi, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya memang sudah seharusnya begitu.
Herlic memejamkan matanya, mencoba menghilangkan bayangan buruk yang terus menghantui pikirannya. Pikiran tentang Mela yang mengetahui kebenaran itu adalah hal yang paling ia takutkan.
Bagaimana jika Mela tahu? pikirnya. Apa yang akan dia lakukan jika dia tahu aku adalah penyebab kematian ibunya?
Ia membayangkan wajah Mela yang selama ini penuh energi dan keberanian, berubah menjadi penuh kemarahan dan kebencian. Ia tahu betul bahwa Mela adalah seseorang yang tegas dan tidak akan memaafkan dengan mudah, apalagi jika itu berkaitan dengan keluarganya.
"Aku tidak bisa memberitahunya," bisiknya kepada dirinya sendiri. "Jika Mela tahu yang sebenarnya, dia pasti akan marah, kecewa... dan membenciku. Dia tidak akan mau lagi dekat denganku."
Herlic merasakan beban berat di dadanya. Mela adalah satu-satunya orang yang membuatnya merasa seperti manusia, bukan hanya seorang perwira yang bertugas menjalankan perintah tanpa hati. Mela adalah alasan ia mulai mempertanyakan banyak hal, mulai dari pekerjaannya, tindakannya, hingga moralitasnya.
Namun, menyembunyikan kebenaran ini pun menjadi siksaan tersendiri. Setiap kali Mela tersenyum padanya atau berbicara dengan nada yang akrab, Herlic merasa seperti seorang pembohong besar. Ia ingin jujur, ingin mengatakan semuanya, tapi ia tahu risikonya terlalu besar.
Herlic menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Untuk saat ini, lebih baik dia tidak tahu. Aku harus melindungi apa yang masih bisa aku lindungi. Lagipula, aku tidak bisa mengubah masa lalu.
Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa kebenaran tidak bisa disembunyikan selamanya. Dan hari ketika Mela akhirnya tahu, mungkin akan menjadi hari yang mengubah segalanya di antara mereka.
Herlic tertawa lepas mendengar ucapan Mela yang ceplas-ceplos seperti biasa. Dalam hatinya, ia kagum dengan keberanian gadis itu, meskipun ucapannya sering kali tajam dan menyindir.
"Iya, iya, kami kompeni yang tidak punya hati," balas Herlic sambil menahan tawanya. "Tapi setidaknya aku membantumu saat itu, kan?"
Mela memutar matanya, tidak ingin kalah. "Ya, kau membantu. Tapi tetap saja, kalian itu penjajah. Aku hanya berterima kasih karena kau tidak lebih buruk dari mereka."
Herlic tersenyum kecil, mencoba menahan rasa bersalah yang mulai menghantui pikirannya lagi. Ia menatap Mela sejenak, ingin mengatakan sesuatu, tapi memilih untuk tidak melakukannya.
"Baiklah, aku harus pergi sekarang, Mela," katanya sambil membenahi topinya. "Jangan lupa jamunya. Aku akan menunggu di pos besok."
"Ya, ya, aku tahu," balas Mela dengan nada setengah malas. "Sudah pergi sana, tugasmu banyak, kan?"
Herlic mengangguk dan melangkah pergi. Saat ia berbalik, senyum di wajahnya perlahan memudar, tergantikan oleh ekspresi serius. Di balik tawanya tadi, ia tahu ada banyak hal yang ia sembunyikan dari Mela, dan hal itu membuat hatinya terasa berat.
Sementara itu, Mela duduk kembali di teras rumahnya, menghela napas panjang. Ia melihat sosok Herlic yang semakin menjauh, dan meskipun ia sering mencemoohnya, ada sedikit perasaan aneh yang tumbuh di hatinya. Namun, ia segera mengabaikan perasaan itu.
"Herlic itu tetap kompeni," gumam Mela pada dirinya sendiri. "Tidak peduli sebaik apa pun dia terlihat, dia tetap bagian dari mereka yang merampas segalanya dari kita."
Mela duduk termenung di teras rumahnya, memandangi arah di mana Herlic tadi pergi. Dalam hatinya, ia merasa campur aduk. Pikiran tentang ibunya yang meninggal karena ulah Herlic selalu membayanginya, namun ada sesuatu yang aneh dalam perasaannya.
"Aku tahu dia penyebab ibu meninggal," gumam Mela, suara pelan seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Aku tahu seharusnya aku membencinya, marah, atau bahkan membalas dendam. Tapi entah kenapa, saat dia ada di dekatku, semua rasa benci itu hilang begitu saja."
Ia mengepalkan tangan, mencoba merasakan kembali amarah yang biasanya membara setiap kali ia mengingat kejadian itu. Namun, tak ada apa-apa selain kekosongan.
"Kenapa aku seperti ini?" bisiknya sambil memeluk lutut. "Aku benci Herlic... tapi tidak sepenuhnya. Apa yang salah denganku?"
Mela memejamkan matanya, mencoba menghapus bayangan Herlic dari pikirannya, tapi malah wajah Herlic yang tersenyum tulus muncul dalam benaknya. Wajah yang tak seharusnya membuatnya tenang, namun entah bagaimana, membuatnya merasa aman.
"Herlic itu kompeni. Dia bagian dari orang-orang yang menghancurkan hidupku," katanya lagi, seperti meyakinkan dirinya sendiri. Tapi jauh di lubuk hati, ia tahu bahwa Herlic berbeda.
Mela menghela napas panjang. "Mungkin aku bodoh, atau mungkin aku terlalu lemah untuk membenci seseorang seperti dia."
Ia berdiri, menatap ke langit yang mulai berubah jingga. "Tapi aku juga tidak bisa memaafkannya. Tidak sepenuhnya."
Langkah kakinya terasa berat ketika ia masuk ke dalam rumah. Tapi satu hal yang ia sadari perasaannya terhadap Herlic tidak sesederhana hitam dan putih. Ada sesuatu yang lebih rumit, sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.