"Maka Jika Para Kekasih Sejati Telah Melewatinya, Cinta Tegak Berdiri sebagai Sebuah Hukum Pasti Dalam Takdir."
Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan epik seorang pemuda dalam mengarungi samudera kehidupan, menghadirkan Hamzah sebagai tokoh utama yang akan membawa pembaca menyelami kedalaman emosional. Dengan pendalaman karakter yang cermat, alur cerita yang memikat, serta narasi yang kuat, karya ini menjanjikan pengalaman baru yang penuh makna. Rangkaian plot yang disusun bak puzzle, saling terkait dalam satu narasi, menjadikan cerita ini tak hanya menarik, tetapi juga menggugah pemikiran. Melalui setiap liku yang dilalui Hamzah, pembaca diajak untuk memahami arti sejati dari perjuangan dan harapan dalam hidup.
"Ini bukan hanya novel cinta yang menggetarkan, Ini juga sebuah novel pembangun jiwa yang akan membawa pembaca memahami apa arti cinta dan takdir yang sesungguhnya!"
More about me:
Instagram: antromorphis
Tiktok:antromorphis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Antromorphis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesan Yang Mengejutkan
Beberapa saat setelah Lisa mengucapkan kalimatnya, suasana di tempat yang hangat itu tiba-tiba diwarnai oleh kedatangan Yulia. Dia membawa nampan berisi beberapa gelas yang berkilau, menambah keindahan momen malam itu. Di belakangnya, Yunita muncul dengan membawa sebuah teko, aroma kopi segar mulai tercium.
“Wah, rupanya ada Hamzah di sini,” ucap Yulia dengan senyum ceria, meletakkan nampan di atas meja kayu yang sudah usang namun penuh kenangan. Suara gelas yang beradu menciptakan melodi kecil yang menyenangkan.
“Hai Hamzah,” sambung Yunita, matanya berbinar penuh semangat.
“Wah, rupanya kalian berdua yang datang,” sahut Hamzah, suaranya hangat seperti sinar matahari sore. Dia merasa senang bisa berkumpul dengan teman-teman barunya.
Yulia dan Yunita kemudian duduk di sekeliling meja, menciptakan lingkaran keakraban. “Baiklah, sudah lengkap semua,” ucap Azzam, menatap mereka dengan rasa syukur.
Al, yang merasa paling muda di antara mereka, meraih teko dengan penuh semangat. Ia menuangkan kopi ke dalam gelas-gelas yang sudah siap menampung kehangatan minuman itu.
“Wah, peka sekali kamu Al,” ucap Yulia menggoda sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.
“Yha namanya paling muda, harus menghormati yang tua,” timpal Al dengan ekspresi serius, meski senyum kecil tak bisa disembunyikannya. Ia masih sibuk menuangkan kopi ke dalam gelas-gelas lainnya. Setelah Al selesai dengan urusannya, ia membagikan gelas kepada yang lain satu per satu. “Ini kopinya teman-teman,” ucap Al seraya memberikan segelas kopi kepada setiap orang. Setelah semua kebagian, suasana menjadi lebih hidup dan mereka pun mulai bercengkerama. “Berhubung kita di sini sudah saling kenal satu sama lain, kecuali Hamzah. Maka dari itu biarkan Hamzah yang memimpin obrolan kita,” ucap Azzam sambil menatap Hamzah dengan penuh harap.
“Wah, begitu ya peraturannya, hahaha,” timpal Hamzah tertawa lepas, merasakan beban tanggung jawab yang ringan di pundaknya.
“Baiklah, akan aku mulai. Mmm, aku mulai dari mana ya?” lanjut Hamzah sambil mengambil secangkir kopinya. Ia menatap teman-temannya satu per satu sebelum melanjutkan.
“Aku ulangi sekali lagi—” ia meletakkan kopi di atas meja dengan hati-hati, “Namaku Hamzah. Aku berasal dari Indonesia. Tepatnya di Jawa Tengah, sama seperti duo Y.”
“Duo Y?” tanya Al penasaran, alisnya terangkat seolah ingin tahu lebih banyak.
“Iya, duo Y. Yulia dan Yunita, hehehe,” timpal Hamzah sambil tertawa kecil.
“Ternyata, ku kira apa itu duo Y,” ucap Al seraya tertawa bersama mereka yang lain.
Suasana menjadi semakin ceria saat tawa mereka bergema dalam ruangan itu. “Terus-terus Zah,” ucap Rebecca penasaran, matanya bersinar ingin mendengar lebih banyak cerita.
“Aku asli dari Jawa Tengah.” Hamzah melanjutkan ceritanya dengan percaya diri. “Mmm, Malioboro,” sahut Al dengan semangat.
“Iya, Malioboro. Cuma itu di Yogyakarta sedangkan aku dari Klaten. Ya dekat lah dari rumahku,” timpal Hamzah menjelaskan sambil mengenang kenangan indahnya di sana. “Terus, aku di sini mengambil program magister Islamic Studies and History.” Hamzah mengakhiri penjelasannya dengan nada bangga dan penuh harapan akan masa depannya.
Mereka semua terdiam sejenak, menyerap informasi baru tentang teman mereka yang baru saja bergabung dalam pertemuan ini. Tempat itu terasa hangat bukan hanya karena kopi yang disajikan tetapi juga karena keakraban dan harapan yang mengalir di antara mereka.
Rebecca menatap Hamzah dengan mata berbinar, seolah tak percaya dengan informasi yang baru saja ia terima. "Hah... Jadi kamu di sini program magister ya? Ku kira sarjana. Wahh, hebat sekali kamu, Zah. Kita semua di sini baru S1," ujarnya, suaranya penuh kekaguman. Sekelilingnya, teman-teman sekelas juga mengangguk setuju, menambah suasana hangat di dalam ruang kuliah yang megah itu.
Al, dengan senyum lebar di wajahnya, menyela, "Berarti di sini yang paling tua kamu dong, hehehe." Tawa kecil menggema di antara mereka, menciptakan ikatan yang semakin erat.
"Terus, kamu bisa kuliah di sini kenapa Zah?" tanya Azzam, penasaran. Suasana menjadi hening sejenak, semua menunggu jawaban Hamzah dengan antusias.
Hamzah tersenyum malu, "Aku sebenarnya tidak menyangka bisa kuliah di Oxford. Aku sendiri dari keluarga yang kurang mampu, tapi alhamdulillah berkat beasiswa, aku dari sekolah dasar sampai sekarang bisa sekolah gratis," lanjutnya dengan nada ceria. Ada rasa syukur yang mendalam dalam setiap kata yang ia ucapkan.
"Kereeennnn! Aahh jadi pingin," seru Al dengan semangat, matanya berbinar-binar.
"Edan, dari sekolah dasar sampai sekarang dapat beasiswa? Kamu pasti sangat cerdas," tambah Yunita sambil mengangguk kagum.
"Beruntung sekali kamu Zah," sahut Rebecca, nada suaranya menunjukkan betapa ia benar-benar mengagumi pencapaian Hamzah.
Di sisi lain, Alice tiba-tiba menyela, "Aku bisa kuliah di Oxford ini karena kedua orang tuaku yang mampu membiayai, padahal aku sendiri bodoh." Suaranya terdengar sedikit pesimis namun tetap berusaha tersenyum.
"Eh, kalian pada ngapain sih? Biasa saja! Yang lebih penting, mumpung kita mendapatkan kesempatan kuliah di sini, kita manfaatkan sebaik mungkin. Dan juga ya kuliah di Oxford cukup mahal, jadi sayang kalau tidak serius. Jangan banyak bolos untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Selalu ingat tujuan kita dari rumah," ucap Hamzah tegas namun lembut. Ada ketegasan dalam suaranya yang membuat semua orang terdiam dan merenung sejenak.
"Hum, memang terbaiiikk," sahut Al sambil mengangguk-angguk setuju.
"Siap bos," tambah Azzam dengan semangat membara.
"Kak Hamzah panutan kita, huhuhu," ucap Yulia dengan nada terharu. Pandangannya penuh harapan dan rasa hormat kepada sosok yang dianggap sebagai teladan.
"Kita sama-sama berjuang di sini. Kita harus saling support satu sama lain. Semangat semuanya!" lanjut Hamzah dengan semangat membara. Kata-katanya seperti api yang menyala-nyala dalam hati setiap teman-temannya.
"Oh iya Kak Hamzah," ucap Rebecca tiba-tiba, wajahnya sedikit memerah.
"Kok sekarang jadi manggil kak? Mana sedari tadi melirik Hamzah terus," goda Azzam kepada Rebecca dengan nada menggoda yang membuat suasana semakin ceria.
"Apaan sih Zam," sahut Rebecca jutek namun tak bisa menyembunyikan senyumnya yang malu-malu.
Azzam tertawa terbahak-bahak. "Hahahaha."
"Ada apa Rebecca?" tanya Hamzah dengan nada penasaran.
"Itu, tadi Kak Hamzah bilang kalau sekarang sedang menjalani program magister," lanjut Rebecca sambil menatap Hamzah dengan kagum.
"Iya benar," timpal Hamzah sambil tersenyum bangga.
"Berarti sama dong dengan Kak Elizabeth. Dia juga sedang program magister," lanjut Rebecca lagi.
"Lhoh jadi Elizabeth juga program magister sama seperti ku?" gumam Hamzah pelan namun penuh rasa ingin tahu. Dalam hatinya muncul rasa ingin tahu tentang sosok Elizabeth yang baru saja disebutkan oleh Rebecca.
Suasana menjadi hangat dan penuh harapan. Mereka semua tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai dan tantangan di depan pasti akan ada. Namun bersama-sama, mereka yakin bisa menghadapi semuanya.
...****************...
Rebecca menatap Hamzah dengan penuh rasa ingin tahu. Suasana di tempat itu terasa hening, seolah waktu terhenti sejenak. “Ada apa, Kak? Kok diam?” tanyanya, suaranya lembut namun tegas, seperti angin yang berbisik di antara dedaunan.
Hamzah mengalihkan pandangannya, berusaha menutupi rasa canggung yang menggelayuti hatinya. “Mmm, tidak kok, hehehe,” jawabnya sambil tersenyum, meski senyumnya tampak dipaksakan. “Oh iya, jadi Elizabeth juga program magister?” ucapnya, berusaha mengubah topik pembicaraan.
“Iya, Kak,” Rebecca menjawab dengan semangat. Dia merasakan ketegangan di antara mereka dan ingin menghilangkannya. “Dan coba tebak, ia jurusan apa?” Dia menatap Hamzah dengan mata berbinar, penuh harapan agar dia bisa menebak dengan benar.
“Memangnya dia mengambil apa?” Hamzah bertanya, rasa penasarannya semakin membara. Dia ingin tahu lebih banyak tentang Elizabeth, sosok yang selalu menarik perhatian di kampus.
“Kak Elizabeth mengambil sama seperti mu, Islamic Studies and History,” jawab Rebecca dengan bangga.
“Hah? Sama seperti ku?” Hamzah terkejut, seolah dunia di sekelilingnya berputar. Dia tidak menyangka bahwa ada orang lain yang tertarik pada bidang yang sama dengannya.
“Iya, Kak Hamzah,” Rebecca mengonfirmasi. “Aku kira dia ber—” Hamzah terpotong oleh Rebecca yang melanjutkan dengan cepat, “Dia bukan Muslim seperti Kak Hamzah. Cuma, Kak Elizabeth suka dengan sejarah Islam dan dia juga bilang kalau dalam program magisternya ini, ia ingin mengkaji Islam lebih dalam.”
“Mmm... jadi seperti itu ya, aku mengerti sekarang,” gumam Hamzah pelan, merenungkan kata-kata Rebecca. Dia merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar studi; mungkin ada jembatan antara keyakinan dan pengetahuan yang ingin dijelajahi oleh Elizabeth.
“Eh—mmm—jadi, begini,” Hamzah terbata-bata, mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan pembicaraan.
“Iya, gimana Zah?” Azzam tiba-tiba menyela, membuat suasana semakin hangat namun sedikit tegang.
“Aku mau pamit dulu. Ingin kembali ke kamar,” lanjut Hamzah dengan nada ragu. Ada rasa enggan untuk pergi, tetapi tanggung jawab memanggilnya.
“Dan ini juga sudah hampir jam sembilan. Aku harus persiapan untuk kegiatan ku besok,” tambahnya sambil melihat jam di tangannya.
“Oh, ya sudah kalau begitu. Tidak apa-apa Zah,” Azzam menjawab dengan nada memahami. Dia tahu betul bagaimana perasaan Hamzah saat ini.
“Iya Kak, silakan. Tidak perlu sungkan Kak, hehehe,” sahut Rebecca dengan senyum lebar, berusaha mencairkan suasana.
“Elleeh, sebenarnya kamu masih pengin Hamzah di sini kan? Iya kann?” Azzam menggoda Rebecca lagi, membuat suasana menjadi lebih ceria meskipun ada sedikit ketegangan di antara mereka.
“Apaan sih Zam! Awas ya kamu!” jawab Rebecca kesal namun tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Dia merasa terjebak antara rasa suka dan rasa malu.
“Sudah-sudah, berkelahi mulu,” ucap Yulia memisahkan mereka dengan tawa ringan. Dia selalu menjadi penengah dalam setiap situasi yang rumit.
“Lagian... ini si Azzam nyebelin,” lanjut Rebecca sambil melirik Azzam dengan ekspresi lucu. Mereka semua tertawa bersama-sama, menghapus sejenak ketegangan yang ada di antara mereka.
Dalam momen itu, Hamzah merasakan bahwa meskipun dia harus pergi sekarang, ikatan di antara mereka semakin kuat. Dan mungkin saja suatu hari nanti, semua ini akan menjadi bagian dari cerita hidupnya yang lebih besar. Hamzah berdiri di halaman apartemen, menyaksikan keakraban teman-temannya dengan senyum yang tulus. Momen itu terasa hangat, seperti sinar matahari sore yang menyentuh kulit. Setelah beberapa saat, ia merasa sudah waktunya untuk pamit.
“Aku ke atas dulu ya semuanya, terima kasih banyak untuk hari ini,” ucap Hamzah dengan nada sopan, matanya menyapu wajah-wajah yang penuh keceriaan.
“Iya Zah, kita juga berterima kasih kepada kamu,” sahut Azzam, menatap Hamzah dengan rasa syukur yang mendalam.
“Iya kak, terima kasih juga ya kak,” sambung Al, suaranya ceria namun penuh rasa hormat.
Tiba-tiba, Azzam melirik ke arah Rebecca yang tampak diam. “Lhoh, kok kamu diam saja?” tanyanya, nada suaranya menggoda.
“Pokoknya aku sebel sama kamu!” jawab Rebecca, wajahnya memerah seperti tomat matang, menandakan ketidakpuasan yang lucu.
Sontak Azzam tertawa terbahak-bahak. “Hahaha, lihat tuh, pipi kamu merah,” ujarnya sambil menunjuk pipi Rebecca yang bersemu merah.
Rebecca tak tahan lagi. Dengan cepat ia mencubit tangan Azzam. “Rasakaaann, hiiihhh,” ucapnya sambil berusaha menahan tawa.
“Aduh... Aduh, sakit! Iya maaf iya, hahaha... Aduuhh,” balas Azzam, tertawa meski rasa sakitnya tak bisa dihindari.
Tawa mereka menggema di udara malam itu, mengundang perhatian teman-teman lain yang ikut tertawa terbahak-bahak. Hamzah berusaha melerai keributan kecil itu dengan senyuman. “Sudah, kalian jangan ribut terus. Yang akur dong. Jangan dicubit, tapi dielus-elus, hehehe,” ujarnya dengan nada jenaka.
“Ya sudah kalau begitu, aku duluan ya. Daa semuanya,” lanjut Hamzah sebelum melangkah pergi meninggalkan halaman apartemen.
Setelah sampai di kamarnya, Hamzah meraih ponsel yang tergeletak di atas kasur. Saat membuka layar ponselnya, ekspresi wajahnya berubah mendung. Ririn belum membalas satu chat pun darinya. “Kenapa belum dibalas? Padahal dia terakhir online sepuluh menit yang lalu,” gumam Hamzah pelan, hatinya terasa berat. Ia pun kembali mengirim pesan untuk Ririn: “Dik?” Harapannya masih tersisa meski samar.
Tak lama kemudian, notifikasi baru muncul dari Elizabeth. “Hamzah?” tulis Elizabeth dalam pesannya.
Hamzah membalas dengan cepat. “Iya Elizabeth, ada apa?” Namun pikirannya masih terganggu oleh ketidakpastian dari Ririn.
Setelah membalas pesan Elizabeth, Hamzah pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. “Lebih baik aku sholat sunnah dulu,” pikirnya sambil menyiapkan diri. Setelah ia selesai dengan wudhunya, Hamzah kemudian menggelar sajadah di samping tempat tidur dan mulai larut dalam sholat sunnah nya. Ketika doa terakhir diucapkan dan sajadah dilipat kembali, ponselnya berbunyi lagi.
“Pasti pesan dari Ririn,” gumamnya penuh harap saat meraih ponsel. Namun alangkah terkejutnya ketika mendapati pesan itu bukan dari Ririn melainkan dari Elizabeth.
“Hamzah, malam ini kamu sibuk tidak?” tulis Elizabeth dengan nada yang membuat jantung Hamzah berdebar.
“Kalau tidak sibuk dan jika kamu mau, aku ingin mengajak kamu ke suatu tempat di kota. Itu jika kamu mau. Bagaimana?” lanjut pesan tersebut.
Hamzah tertegun sejenak; jantungnya berdebar kencang antara rasa bingung dan senang setelah membaca pesan itu. Sejurus kemudian, ia mulai menulis balasan untuk Elizabeth dengan penuh pertimbangan dan harapan baru yang mungkin akan mengubah malamnya menjadi lebih berarti.
...****************...