Bukan salah Anggun jika terlahir sebagai putri kedua di sebuah keluarga sederhana. Berbagai lika-liku kehidupan, harus gadis SMA itu hadapi dengan mandiri, tatkala tanpa sengaja ia harus berada di situasi dimana kakaknya adalah harta terbesar bagi keluarga, dan adik kembar yang harus disayanginya juga.
"Hari ini kamu minum susunya sedikit aja, ya. Kasihan Kakakmu lagi ujian, sedang Adikmu harus banyak minum susu," kata sang Ibu sambil menyodorkan gelas paling kecil pada Anggun.
"Iya, Ibu, gak apa-apa."
Ketidakadilan yang diterima Anggun tak hanya sampai situ, ia juga harus selalu mengalah dalam segala hal, entah mengalah untuk kakak ataupun kedua adik kembarnya.
Menjadi anak tengah dan harus selalu mengalah, membuat Anggun menjadi anak yang serba mandiri dan tangguh.
Mampukah Anggun bertahan dengan semua ketidakadilan karena keadaan dan situasi dalam keluarganya?
Adakah nasib baik yang akan mendatangi dan mengijinkan ia bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ENAM BELAS
"Ini semua karena Bapak! Aku cacat seperti ini karena Bapak! Bapak jahat! Bapak biadab!” teriak batin Deni saat menatap pak Tono yang berdiri di sisi Bu Anas.
“Dasar pria laknat! Kamu tak pantas lagi berdiri di sana! Ibu, menjauhlah dari pria itu! Dia tega membohongimu ibu!” sekuat tenaga Deni berusaha berteriak, namun sekujur tubuhnya terasa terkunci, bahkan lidah dan mulutnya seakan tak menuruti keinginannya.
“Aku bisu! Kenapa aku bisu?! Aku … aku benar-benar cacat! Seluruh tubuhku tak bisa digerakkan! Aku tidak akan mengampunimu! Dasar biadab!”
Bola mata Deni tampak bergerak gusar, detak jantung pun mulai terpacu lebih cepat, sekeras apapun ia berusaha, kali ini tubuhnya masih tak merespon, seluruh otot ya masih lumpuh, Deni semakin panik dan takut bercampur marah saat melihat pak Tono mengangguk tersenyum menanggapi para dokter.
Kebencian mulai menguasai seluruh emosi Deni.
“Mas Deni!” sapa dokter Andika yang menyadari pergerakan bola mata Deni yang bergerak tak beraturan.
“Pasien mengalami kejang! Detak jantung meningkat!” sahut dokter lainnya,
“Keluarga mohon menunggu di luar, akan kami periksa kembali secara menyeluruh!”
“Berikan penenang kejang dosis minimum, pantau terus detak jantung dan nadi!” seru dokter Andika sigap.
“Akan aku siapkan CT scan!” sahut dokter satunya lagi.
“Kita perlukan EEG untuk mendeteksi aktivitas listrik otak, semoga tidak mengarah pada kelainan,” ucap dokter Andika sebagai dokter penanggung jawab utama.
Suasana panik tak berlangsung lama, setelah beberapa detik obat penenang disuntikkan, Deni berangsur melemah dan tertidur tenang.
“Lakukan uji lab darah juga Sus, pantau terus kondisinya.”
Dokter Andika keluar dari ruangan itu, disambut panik kedua orang tua Deni.
“Kenapa pak? Deni kenapa?” sahut panik Bu Anas dengan air mata yang terus berderai.
Dokter Andika tersenyum, “Pemeriksaan lanjutan akan segera kami lakukan Bu, berdoa meminta pertolongan dan campur tangan Tuhan, saya kira itu yang harus kita perbanyak kali ini.”
“Uhuuu … tolong selamatkan anak saya, Dok!” pinta Bu Anas diantara isaknya.
DEG!
Fokus pak Tono teralihkan saat di lorong itu, ia melihat dua polisi berseragam berjalan tegas menuju ke arahnya.
Pak Tono tentu saja terkejut, detak jantungnya meningkat tajam, ia hampir tak merasa berpijak di atas tanah saking terkejutnya, hingga kedua tangannya terasa dingin, disertai keringat dingin membasahi keningnya.
“Waduh! Polisi?! Apa yang mereka lakukan di sini? Jangan-jangan orang bodoh itu melaporkanku?!” batin panik pak Tono. “Sialan! Aku harus bagaimana? Lari? Aduh bagaimana ini?!” Pak Tono semakin panik dan salah tingkah.
“Ada apa pak Tono?” selidik dokter Andika menyadari keanehan pada perilaku dan ekspresi wajah pak Tono.
“Ah, tidak Dok. Saya permisi ke kamar mandi sebentar,” pamit pak Tono dengan wajah yang mulai sedikit pucat.
Dengan tergesa pak Tono meninggalkan sang istri yang masih terisak, dan dokter Andika yang menatapnya keheranan.
Tepat seperti dugaannya, dua polisi itu menghentikan langkah di depan dokter Andika dan Bu Anas.
“Selamat siang, benarkah ini tempat dirawatnya korban lakalantas Deni?”
“Benar Pak, itu putra saya,” jawab Bu Anas seraya membenahi wajahnya dari air mata.
“Oh, kebetulan sekali, setelah melihat identitas korban memiliki kelengkapan sebagai pengemudi, namun perbuatan kebut-kebutan di jalan itu tidak benar, hingga membuat dirinya sendiri celaka,” terang salah satu petugas polisi.
“Iya Pak, lalu harus bagaimana? Anak saya kan tidak menabrak siapapun?” sanggah Bu Anas bernada khawatir.
“Iya memang Bu. Justru kami ke sini untuk menyampaikan belasungkawa, dan berharap ke depannya lebih memperhatikan putra anda, mengingatkan dan menasehatinya agar lebih berhati-hati di jalan raya.”
“Iya Pak terima kasih, anak saya tidak akan dihukum kan? Hukumannya sudah langsung diberikan Tuhan, lihatlah Pak, dia masih terkapar penuh luka!” pekik Bu Anas pilu.
“Kami mengerti dengan duka ibu, tujuan kami selanjutnya adalah untuk menyampaikan pesan dari pemilik truk yang sedang parkir karena mogok itu. Dengan lapang dada dan berbaik hati, beliau menitipkan ini sebagai ucapan permintaan maaf dan belarasa.”
Pak Tono yang hanya bersembunyi dibalik ruangan, mendengar seluruh percakapan mereka, menyadari para polisi bukan mencari dirinya, ia segera keluar dan terang-terangan menerima amplop berwarna coklat itu dari tangan polisi.
“Dengan senang hati Pak, kami menerima permintaan maafnya, seharusnya tidak perlu repot karena bagaimanapun anak saya yang bersalah, tapi sepertinya beliau memaksa, jadi dengan segala kerendahan hati sampaikan juga permintaan maaf kami dan rasa terima kasih kami pada orang baik ini Pak,” cerocos pak Tono tanpa ada rasa malu.
“Pak ….” ucap Bu Anas seraya memegang lembut lengan sang suami, dari ekspresinya terlihat tak senang dengan keputusan sang suami yang langsung menerima amplop tersebut tanpa mendiskusikannya terlebih dahulu.
Pak Tono tak memperdulikan sang istri, ia tetap memasang ekspresi polosnya di depan para polisi dan dokter Andika yang masih berdiri di sana.
“Ah, kalau begitu saya permisi, jika kedua belah pihak sudah sepakat berdamai dan tidak memperpanjang hal ini,” pamit dokter Andika kemudian.
“Baik, kami rasa kami juga sudah selesai dengan tugas kami, semoga putra Bapak segera pulih kembali, kami mohon diri.” Begitu juga dengan kedua polisi itu akhirnya meninggalkan pak Tono yang terlihat sangat senang.
Bu Anas menepuk kasar punggung sang suami dengan kesal, “Pak! Kenapa maen asal menerima itu? Sudah tahu yang salah anak kita kok ya, kamu itu nggk punya malu apa?!” protes Bu Anas.
“Bu! Jangan pernah menolak rejeki sebanyak ini, lihatlah dilihat dari ketebalannya, ini paling sedikit sepuluh juta! Kita kan memang sedang membutuhkannya untuk membayar biaya pengobatan Deni, belum lagi biaya perbaikan motornya! Jangan bodoh Bu!”
.
.
.
Anggun telah terlihat lebih segar siang itu. Ia duduk tenang di brangkar, sementara sang ibu menyisir rambutnya setelah Anggun meminta mandi sebelumnya.
Anggun tampak menghela napas, “Bu, Anggun mau jujur boleh?” ucap lirih Anggun.
“Loh ya boleh, kan memang itu yang ibu tunggu. Kamu itu sebenarnya kenapa?” sahut lembut Bu Maryani.
“Eh, anaknya Bapak sudah bangun....” Di saat yang sama pak Hendra datang dengan kedua adik Anggun membawa belanjaan penuh di kedua tangan masing-masing.
“Mbak Andun …!!! seru girang Arpan dan Arpin menghambur menaiki brangkar dan memeluk Anggun melepaskan rindu.
“Aku senang banget loh mbak, Ayah membelikan aku mainan ini!” seru Arpin gemas.
“Aku juga! aku juga!!!” sahut girang Arpan menunjukkan mainan pesawat ditangannya.
Melihat keceriaan kedua adiknya, batin Anggun kembali mengulum duka, “Ayah pasti menggunakan uang pak Tono untuk membeli semua itu! Bagaimana aku akan tega melaporkan kejahatannya, karena ayahku juga pasti akan disalahkan karena menerima uang suap itu! Bagaimana ini!”
Ini Anisa sama temennya kan 😮💨
Apa ig nya 🤭
lebih cocok jadi anaknya Tono dia 😩