Andai hanya KDRT dan sederet teror yang Mendung dapatkan setelah menolak rencana pernikahan Andika sang suami dan Yanti sang bos, Mendung masih bisa terima. Mendung bahkan tak segan menikahkan keduanya, asal Pelangi—putri semata wayang Mendung, tak diusik.
Masalahnya, tak lama setelah mengamuk Yanti karena tak terima Mendung disakiti, Pelangi justru dijebloskan ke penjara oleh Yanti atas persetujuan Andika. Padahal, selama enam tahun terakhir ketika Andika mengalami stroke, hanya Mendung dan Pelangi yang sudi mengurus sekaligus membiayai. Fatalnya, ketidakadilan yang harus ia dan bundanya dapatkan, membuat Pelangi menjadi ODGJ.
Ketika mati nyaris menjadi pilihan Mendung, Salman—selaku pria dari masa lalunya yang kini sangat sukses, datang. Selain membantu, Salman yang memperlakukan Mendung layaknya ratu, juga mengajak Mendung melanjutkan kisah mereka yang sempat kandas di masa lalu, meski kini mereka sama-sama lansia.
Masalahnya, Salman masih memiliki istri bahkan anak...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bukan Emak-Emak Biasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu
“Kamu bilang, kamu tidak akan memberi izin aku menikah lagi? Memangnya kamu bisa membuat perekonomian keluarga kita membaik, hingga kamu melarangku menikah lagi?” Mata tajam Andika menatap bengis wajah wanita tua di hadapannya.
Mendung namanya, wanita yang tetap terlihat cantik meski usianya tak lagi muda. Hanya saja, kecantikan Mendung tak mampu membuat ekonomi mereka membaik. Andai sampai harus ada adegan Andika menjual Mendung menjadi wanita penghibur selaku pekerjaan mujarab yang menghasilkan uang secara cepat, laki-laki bodoh mana yang mau membeli wanita tua seperti Mendung?
Bagi Andika, satu-satunya cara membuat perekonomian membaik hanyalah menerima tawaran bosnya. Ternyata, bosnya yang sudah satu tahun menjanda, sangat berhasrat kepadanya. Sekadar mau menemani sang bos jalan saja, Andika mendapatkan banyak tunjangan. Apa kabar jika Andika sampai menikahi wanita yang usianya juga sama-sama tua layaknya dirinya dan Mendung? Tentu semua permasalahan ekonomi mereka akan teratasi. Jadi sekarang, cukup membereskan Mendung saja.
“Suka tidak suka, kamu harus terima. Bahkan tanpa restumu pun, aku akan tetap menikah lagi!” tegas Andika.
Mendung menatap sang suami dengan air mata yang nyaris jatuh dari kedua sudut matanya. Kedua tangannya mengepal kencang di sisi tubuh. Saking kencangnya, kuku-kuku di jemarinya sampai melukai telapak tangannya. Namun, luka tersebut tak seberapa jika dibandingkan dengan luka yang silih berganti bahkan bertubi-tubi Mendung dapatkan dari sang suami.
“Tujuh tahun, Mas ... tujuh tahun aku merawatmu! Kami stroke, ... bahkan kamu komplikasi!” Suara Mendung tercekat di tenggorokan. “Aku berjuang sendiri dengan Pelangi. Pelangi sampai kerja di tengah kesibukannya sekolah. Demi apa? Demi kesehatan Mas. Demi keutuhan keluarga kita, meski semasa sehat, Mas hanya fokus mengurus adik-adik Mas dan juga rumah tangga mereka! Namun setelah Mas sehat ... begini balasan Mas?”
“Bahkan satu bulan lagi, Pelangi akan menikah. Sementara adat kita mewajibkan, orang tua Pelangi harus utuh karena calon Pelangi juga anak pertama di keluarganya!”
“Di saat Pelangi akan menikah, kamu juga mau menikah lagi!” Tangis Mendung pecah. Ia menangis meraung-raung dan tidak bisa menyudahinya.
“Justru karena Pelangi akan menikah, kita butuh modal besar, Ma! Lagi pula aku akan menikah dengan bosku! Dia wanita terhormat dan—”
“Sejak kapan ada wanita terhormat yang tega merusak rumah tangga orang?!" sergah Mendung makin emosi.
“Plaaaaakkkk!” Tamparan panas tangan kanan Andika mendarat di pipi kiri Mendung. Detik itu juga, jerit histeris Pelangi terdengar.
“Ayah! Apa yang Ayah lakukan!” Pelangi yang baru pulang kerja, buru-buru lari menghampiri. Ia menyaksikan semata-mata kelakuan bobrok sang ayah. Naasnya, kini bukan untuk pertama, kedua, bahkan kesepuluh, yang terjadi. Ayahnya yang temperamental sudah terbiasa melakukan KDRT kepada Mendung.
Mendung yang kebetulan sedang kurang sehat, langsung terbanting. “Bunuh aku, Mas! Bunuh! Bunuh saja aku biar kamu puas! Dari dulu kamu terus begini, bahkan meski anak-anak sudah dewasa!”
“Bundaa ....” Pelangi tersedu-sedu. Hatinya begitu hancur menyaksikan pemandangan menyedihkan yang tengah berlangsung.
“Wanita tidak berguna sepertimu memang lebih baik mati!” kecam Andika yang tak segan menendang berkali-kali tubuh lemah sang istri.
“Ayah, sudah .....” Tenaga Pelangi tak ada apa-apanya dari sang ayah yang sedang emosi.
Awalnya, Pelangi berniat keluar meminta bantuan. Namun karena ketika ia menoleh ke belakang, sang ayah tak segan mengangkat tubuh bundanya, kemudian membantingnya, dendam dan kecewa yang teramat besar dalam hatinya, meluap. Tanpa pikir panjang, Pelangi mengambil vas bunga besar dari meja sebelah, kemudian menggunakannya untuk menghantam sang ayah.
Sudah tua, dan harusnya menjadi pribadi lebih baik, sang bapak justru makin toxic. Masih saja membuat keadaan, seolah-olah bundanya bukanlah istri yang diinginkan.
Kehancuran rumah tangga orang tuanya di masa lalu memang menjadi trauma tersendiri untuk Mendung. Bertahun-tahun Mendung terkungkung dalam ketakutan tak bertepi. Hingga Mendung bertekad membuat anak-anaknya tak pernah merasakan trauma perceraian orang tua. Sebab suka tidak suka, meski dunia dengan tegas tak ada yang namanya mantan anak, Mendung kecil tetap merasakannya. Ia sungguh dibuang karena pada akhirnya, orang tuanya fokus pada kehidupan baru mereka. Baik mamak maupun bapak Mendung memaksa Mendung untuk serba berjuang sendiri
Dunia Mendung seolah berhenti berputar ketika menyaksikan apa yang putri semata wayangnya lakukan. Persis seperti yang Andika lakukan kepadanya, Pelangi juga menghajar Andika dengan brutal.
“Pria seperti Ayah lebih baik mati!”
“Aku benci Ayah!”
“Lebih baik aku tidak pernah punya ayah, jika ayahku hanya melukai Bunda!”
“Seharusnya Ayah mikir, Bunda yang selama ini berjuang. Bunda mati-matian mengurus Ayah, bahkan keluarga kita karena semasa sehat, Ayah hanya sibuk mengurus keluarga Ayah!”
“Tentu aku tidak lupa, Ayah selalu bilang bahwa Ayah menyesal punya aku. Karena harusnya, Bunda tidak pernah punya anak agar beban hidup Ayah tidak bertambah. Karena ketimbang mengurus kami yang jelas-jelas tanggung jawab Ayah sampai akhirat, Ayah lebih ikhlas mengurus keluarga adik-adik Ayah!”
“Di saat aku menangis karena aku butuh pakaian, mainan, makanan, bahkan saat aku butuh Ayah, ... Ayah tidak pernah ada hanya karena aku dan Bunda bukan prioritas Ayah! Karena lagi-lagi, mereka anak-anak adik Ayah, jauh lebih penting dari Ayah!”
“Sekarang ... setelah tahu begini, ... jangan pernah lagi berharap Bunda apalagi aku, mengurus Ayah!”
“Sana pergi ke keluarga Ayah. Karena selama ini saja, mereka yang Ayah urus! Pergi sana, jika tidak langsung mati saja!”
Pelangi benar-benar marah. Sekali lagi, meski sang ayah juga sudah berdarah-darah, jiwa monster dalam dirinya sungguh belum puas jika ia berhenti menendang maupun mengamuk pria tua yang tak pantas ia sebut ayah itu.
****
Assalamualaikum, aku kembali dan kali ini sengaja bikin novel lansia. Mohon dukungannya. Bacanya yang tertib ya. Tolong kalau sudah baca, lanjut biar retensi enggak anjlok 🙏