Leo XII, Raja Kejahatan Dunia, adalah sosok yang ditakuti oleh banyak orang, seorang penguasa yang mengukir kekuasaan dengan darah dan teror. Namun, ironisnya, kematiannya sama sekali tidak sesuai dengan keagungan namanya. Baginya, itu adalah akhir yang memalukan.
Mati karena murka para dewa? Sungguh lelucon tragis, namun itulah yang terjadi. Dalam detik-detik terakhirnya, dengan sisa kekuatannya, Leo XII berusaha melawan takdir. Usahanya memang berhasil—ia selamat dari kematian absolut. Tapi harga yang harus dibayarnya mahal: Leo XII tetap mati, dalam arti tertentu.
Kini ia terlahir kembali sebagai Leon Dominique, dengan tubuh baru dan kehidupan baru. Tapi apakah jiwa sang Raja Kejahatan akan berubah? Akankah Leon Dominique menjadi sosok yang lebih baik, atau malah menjelma menjadi ancaman yang lebih mengerikan?
Satu hal yang pasti, kisahnya baru saja dimulai kembali!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Deklarasi
Leon mengangkat tangannya perlahan, tatapannya tenang namun penuh keyakinan. "Gale Burst," gumamnya ringan, hampir seperti bisikan.
Sekejap kemudian, angin deras berputar dengan tekanan luar biasa menghantam pria di hadapannya, Mason. Namun, dia tetap berdiri kokoh, tubuhnya menahan serangan dahsyat itu hanya dengan kekuatan fisiknya.
Leon menyeringai, bibirnya melengkung dengan penuh antusiasme. "Hahaha! Lihat itu! Bahkan dengan tangan terborgol, kau masih mampu menahannya. Aku memujimu... dengan sepenuh hati."
Kriminal itu menyipitkan matanya, senyum tipis terbentuk di wajahnya. Dia memperkuat pijakannya, lalu dengan satu teriakan keras, dia menghancurkan Gale Burst milik Leon. Serangan itu pecah, dan angin dahsyat yang tersisa menyapu seluruh Colosseum, membuat banyak penonton menunduk melindungi diri dari hembusannya.
Leon merasakan angin yang menyentuh kulitnya, matanya berbinar penuh semangat. "Sensasi ini... luar biasa. Sudah lama aku menanti lawan yang seperti ini," gumamnya, nyaris kepada dirinya sendiri.
Dia menarik napas panjang, pikirannya melayang. Mungkin tubuh baruku ini yang mengubah segalanya. Sebelumnya, orang seperti dia tak akan cukup kuat untuk membuatku merasa seperti ini. Tapi sekarang... standar kekuatanku telah bergeser.
Leon menatap kriminal tersebut dengan tajam, tatapan itu penuh rasa ingin tahu dan rasa hormat yang tak biasa. "Sebutkan namamu," katanya, nada suaranya tegas namun santai.
Dia menyeringai lebar, senyumannya memancarkan kegilaan dan percaya diri. "Mason Wasscot," jawabnya singkat namun penuh tekanan.
Leon mengangkat dagunya, tatapannya berubah dingin dan penuh wibawa. Perlahan, aura luar biasa mulai terpancar dari tubuhnya, begitu berat hingga membuat napas siapa pun di sekitarnya tercekat.
Di tribun, para penonton mulai merasakan tekanan yang tak tertahankan. Beberapa lutut bergetar, yang lain langsung jatuh berlutut. Para peserta yang tersisa di arena pun ikut terdorong oleh aura itu, bahkan Mason yang sebelumnya berdiri kokoh kini berlutut, meski ekspresinya tetap menyeringai penuh tantangan.
Leon berdiri dengan anggun, suaranya memecah keheningan dengan nada yang menggema di seluruh Colosseum. "Banggalah, karena namamu telah didengar olehku. Kenanglah ini dalam kematianmu, karena nyawamu akan diambil oleh tangan seorang Raja sejati. Dengarkan baik-baik..."
Dia melangkah maju, tatapannya menyapu seluruh arena dengan kesombongan seorang penguasa. "Namaku adalah Leon Dominique. Sang Raja Kejahatan Dunia. Mereka yang mengaku sebagai diriku hanyalah bayangan palsu, tak lebih dari ilusi yang memudar."
Keheningan menyelimuti Colosseum. Sorakan penonton yang sebelumnya membahana mendadak lenyap, digantikan oleh tatapan ketakutan dan kebingungan.
"Raja Kejahatan Dunia..." bisik salah satu penonton dengan wajah pucat. Nama itu membawa ingatan mengerikan tentang masa lalu, tentang sosok yang membawa kehancuran dan kegelapan yang tak terbayangkan.
Mason mendongak perlahan, napasnya berat namun wajahnya tetap menyeringai lebar. Dia tertawa kecil, lalu semakin keras. "Hahaha! Aku tidak peduli siapa kau... Leon Dominique, walaupun kau adalah Raja Kejahatan Dunia yang sesungguhnya. Kau mungkin memiliki gelar yang megah, tapi di sini, aku akan menjadi bayangan yang menghancurkanmu."
Leon tersenyum kecil, ekspresinya dingin namun penuh kegilaan yang terpendam. "Cobalah. Tapi ingat ini: di hadapan seorang raja sejati, bayangan hanya akan lenyap tanpa jejak."
Udara di sekitar mereka terasa semakin berat. Ketegangan antara Leon dan Mason membuat semua orang yang menyaksikan merasakan sensasi berdiri di ambang jurang maut. Pertempuran mereka baru saja dimulai, namun atmosfernya sudah cukup untuk mengguncang jiwa setiap orang di Colosseum.
Mason berdiri dengan susah payah, keringat membasahi tubuhnya yang. Dengan sisa tenaga yang ada, dia berhasil menegakkan tubuhnya di bawah tekanan luar biasa yang dikeluarkan oleh Leon.
Leon meliriknya dengan santai, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Kau benar-benar keras kepala," katanya ringan. "Hibur aku sebaik mungkin. Jika kau cukup mengesankan, mungkin aku akan menyelamatkan mayatmu."
Mason tidak menjawab. Tatapan matanya hanya dipenuhi oleh kegilaan dan tekad. Dengan suara borgol yang berdenting, dia maju menerjang seperti binatang buas. Kedua tangannya yang terborgol diatupkan, siap menghantam Leon dengan kekuatan penuh.
Namun, Leon tidak bergerak sedikit pun. Dia berdiri tenang, tidak terpengaruh oleh serangan brutal yang datang kepadanya. "Sadarilah posisimu," gumam Leon pelan. "Kau berdiri di hadapan seorang Raja. Kepalamu terlalu tinggi."
Seketika itu juga, Mason berlutut tanpa kendali, tubuhnya terhempas ke tanah oleh aura mendominasi Leon. Namun, dengan penuh tekad, Mason kembali berdiri, meskipun wajahnya mulai memerah oleh tekanan. Senyuman lebar tidak pernah lepas dari wajahnya, memperlihatkan kegilaan yang mengintimidasi. Sekali lagi, dia menerjang Leon dengan gerakan liar.
Leon menghela napas ringan. Begitu Mason mendekat, tubuhnya kembali terjatuh ke tanah. Siklus itu berulang: Mason bangkit, menyerang, lalu terjatuh di bawah tekanan Leon. Sampai akhirnya, Mason berhasil mendekati Leon dengan penuh perjuangan, meskipun dia kini berlutut di hadapan sang Raja.
Mason mendongak, tatapan matanya penuh kebencian bercampur penghormatan. Leon menatapnya dengan angkuh, wajahnya tetap tenang namun penuh otoritas. "Kerja bagus," ucap Leon. "Hanya dengan kekuatan fisik, kau mampu melawan aura rajaku. Aku penasaran... bagaimana jika kau bisa menggunakan aura?"
Mason terkekeh, meskipun darah mengalir dari sudut bibirnya. "Sayangnya, itu tidak mungkin. Borgol ini dirancang untuk menyegel aura seseorang. Jadi, aku hanya bisa mengandalkan tubuhku."
Leon mengangkat alis, rasa penasaran terlihat di wajahnya. "Borgol yang menyegel aura, ya?" gumamnya, sedikit heran. Aura mendominasi yang ia keluarkan perlahan menghilang.
Mason mengangguk, napasnya berat. "Itu benar. Kalau tidak, aku tidak akan repot-repot menyerangmu seperti ini."
Leon hendak mengatakan sesuatu, tetapi suara wasit memotongnya. "Selesai! Grup tiga selesai! Dua peserta terakhir telah bertahan!" teriak sang wasit dengan napas yang tersengal.
Leon melirik ke sekeliling arena. Pandangannya menyapu ladang darah yang penuh dengan tubuh tak bernyawa. Ia tersenyum tipis, lebih kepada dirinya sendiri. "Sepertinya aku terlalu berlebihan," katanya, lalu melangkah turun dari arena dengan santai.
Mason tetap berlutut di tempatnya, tertawa kecil meskipun tubuhnya hampir runtuh. "Kau benar-benar gila... tapi aku suka itu," gumamnya, sebelum akhirnya ikut dipandu keluar oleh petugas.
Arena berubah menjadi sunyi, menyisakan darah, kehancuran, dan ketakutan yang mendalam di hati mereka yang menyaksikan. Leon tidak peduli sedikit pun dengan nyawa yang telah hilang. Baginya, itu hanyalah permainan kecil untuk mengisi waktu. Dia terus melangkah dengan tenang, menuju tribun tempat Fiona menunggunya, senyum angkuh tak pernah lepas dari wajahnya.