Asyifa rela jadi adik madu dari Naura, wanita cantik yang bersosialita tinggi demi pendidikan yang layak untuk kedua adiknya. Hanya saja, Adrian menolak ide gila dari Naura. Jangankan menyentuh Asyifa, Adrian malah tidak mau menemui Asyifa selama enam bulan setelah menikahinya secara siri menjadi istri kedua. Lantas, mampukah Asyifa menyadarkan Adrian bahwa keduanya adalah korban dari perjanjian egois Naura, sang istri pertama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Belas - Lebih Cepat Lebih Baik
“I—iya, Pak. Nanti Saya pakai baju itu,” balas Asyifa.
Asyifa bergegas masuk, lalu mengunci pintu depan, dan langsung masuk ke kamarnya. Matanya tertuju langsung ke arah lemari pakaiannya, ia membuka lemari pakaiannya lalu mengambil baju yang dimaksud Adrian.
“Hanya ini yang warna merah hati, masa iya aku pakai baju yang kurang bahan begini, nerawang, dan bolong-bolong?” ucapnya dengan tatapan ngeri pada baju di depannya.
“Enggak mau!” Asyifa melempar baju itu ke atas tempat tidur. “Eh tapi ... bukannya lebih cepat lebih baik? Kan jadi cepat selesai tugasku?” ucapnya dengan mengambil baju dinas merah hatinya.
Asyifa mencoba baju dinasnya itu, melihat penampilannya memakai baju dinasnya saja Asyifa risih, apalagi dilihat oleh lawan jenis? Meskipun suaminya, tetap saja Asyifa risih, apalagi baru pertama kalinya memakai baju model seperti itu,l.
“Ya Allah ... ini baju apaan? Apa ini yang namanya baju dinas yang sering Linda katakan? Ling—lingerie? Ah iy benar sepertinya itu namanya,” ucap Asyifa.
Tok ... tok ... tok ...
Asyifa mendengar suara ketukan pintu dari arah depan. Ia cepat-cepat melepas lingerie merah hatinya, dan memakai baju yang sebelumnya ia pakai.
“Sebentar!” teriak Asyifa.
“Pak Adrian?” Asyifa kaget saat membuka pintu, ternyata Adrian datang di sore hari menjelang Maghrib, bukan nanti malam.
“Asyifa, lain kali kalau kamu kunci pintu, kuncinya dicabut, ya? Biar saya bisa membukanya dari depan?” tutur Adrian.
“Oh iya, Pak.” Jawab Asyifa lalu ia mengulurkan tangannya untuk mencium tangan suaminya.
“Eh iya,” gugup Adrian yang tidak pernah diperlakukan seperti oleh Asyifa.
“Bapak mau saya buatkan kopi atau teh?” tanya Asyifa.
“Teh hangat saja, Fa. Saya mau mandi dulu,” jawab Adrian.
“Apa mau saya siapkan air hangat, Pak?” tawar Asyifa.
“Ehm ... tidak usah, saya bisa sendiri, kamu buatkan saya teh hangat saja,” jawab Adrian.
Asyifa mengangguk, lalu bergegas masuk ke dapur untuk membuatkan teh hangat untuk suaminya. Sedangkan Adrian dia langsung masuk ke kamar untuk membersihkan diri. Seketika senyuman nakal terbit di bibirnya kala melihat lingerie merah hati tergeletak di atas tempat tidur dengan keadaan berantakan. Adrian yakin Asyifa pasti sudah mencobanya tadi. Pikiran Adrian sudah membayangkan ke sana-sana, membayangkan tubuh mungil Istri Mudanya memakai baju tersebut.
Asyifa membawakan teh hangat untuk suaminya ke kamar. Ia menaruh gelas di meja kecil, lalu langsung mengambilkan pakaian ganti untuk suaminya dan menaruhnya di atas tempat tidur. Seketika matanya membelalak melihat lingerie merah hati masih tergeletak di atas tempat tidur. Sudah dipastikan suaminya tadi melihat lingerie tersebut.
“Astagfirullah ... Pasti Pak Adrian melihat ini!”
Dengan cepat, Asyifa menyingkirkan lingerie itu dan memasukkannya ke dalam lemari.
Ceklek!
Pintu kamar mandi terbuka, Asyifa menoleh ke arah pintu kamar mandi, matanya dibuat takjub oleh roti sobek di perut Adrian. Seketika Asyifa menelan salivanya melihat tubuh seksi suaminya.
“Aduh, Pak! Ternoda mataku!” pekik Asyifa sambil menutup matanya dan membalikkan tubuhnya memunggungi Adrian.
Adrian terkekeh melihat tingkah lucu Asyifa yang polos itu, padahal tadi sudah mengamatinya dengan berkali-kali menelan salivanya.
“Sudah beberapa detik melihat kok bilang ternoda, Fa?” ucap Adrian dengan sedikit tawa terdengar.
“Buruan pakai bajunya, Pak! Itu sudah saya siapkan!” ucap Asyifa.
“Kamu tidak mau melihat lagi sebelum saya tutup pakai kaos?” tanya Adrian.
“Iy—Enggak!” jawabnya gugup.
“Iya, atau enggak?” ledek Adrian.
“Enggak, Pak! Buruan pakai lalu minum tehnya!” pekik Asyifa lalu meninggalkan Adrian di kamar.
Adrian menggeleng dengan tersenyum gemas melihat kelakuan istrinya tadi. Baru kali ini Adrian merasa segemas itu pada perempuan lain selain Naura, dia juga lebih merasa dihargai oleh Asyifa, meskipun hanya sebatas perhatian kecil dan perlakuan sederhana Asyifa, seperti sekarang, menyiapkan teh, baju ganti, dan menyambutnya pulang kerja dengan mencium tangannya.
“Astaga ... sebrengsek inikah aku? Sampai membanding-bandingkan Asyifa dan Naura. Jelas mereka berbeda, Adrian! Kau jangan membanding-bandingkan kedua istrimu yang beda kepribadiannya!” rutuk Adrian.
Adrian mengecek semua barang yang ia kirimkan tadi lewat Yoga. Lemari pakaiannya sudah full baju baru milik Asyifa dan dirinya, meja rias Asyifa juga sudah full dengan make-up dan juga parfum berkelas milik dirinya dan Asyifa. Ia tersenyum, serapi itu Asyifa menata semuanya, sedangkan Nuara apa-apa selalu dikerjakan oleh Asistennya di rumah. Kembali Adrian membandingkan kedua istrinya itu.
“Pak, boleh saya masuk? Sudah selesai ganti bajunya?” tanya Asyifa dari balik pintu kamar.
“Masuk saja, Asyifa!” teriak Adrian sambil menyemprotkan Parfum favoritnya.
Asyifa masuk dengan keadaan wajah basah, karena dia baru saja berwudhu dan akan melaksanakan ibadah salat magrib.
“Wajahmu basah, Fa? Habis mandi?” tanya Adrian.
“Saya mau salat, Pak. Sudah waktu Magrib. Bapak enggak Salat?”
“Ehm ... ehm ... sa—saya ....”
“Tidak apa-apa, kalau bapak tidak Salat. Saya salat di kamar satunya saja, permisi saya mau ambil mukenah,” ucap Asyifa.
Asyifa mengambil mukenah yang ada di rak sebelah lemari, ia bergegas untuk keluar kamarnya dan akan melaksanakan ibadahnya di kamar satunya.
“Saya keluar dulu, Pak,” pamit Asyifa.
Adrian mengangguk, membiarkan Asyifa melakukan ibadah. Ia malu sekali, karena dirinya juga seorang Muslim. Keluarga Adrian termasuk keluarga Muslim yang taat, akan tetapi Adrian memang melupakan kewajibannya itu setelah ia bisa menikmati dunianya yang bergelimang harta, apalagi ditambah Naura yang juga tidak peduli dengan kepercayaan yang ia anut.
Adrian diam-diam keluar dari kamarnya, dan mengintip Asyifa yang sedang Salat di kamar satunya. Hatinya menghangat melihat perempuan yang sudah menjadi istrinya itu sedang khusyuk beribadah.
“Ya Allah, berapa tahun Hamba melalaikan kewajiban Hamba, dan tidak pernah mendekatkan diri Hamba pada-Mu?” batin Adrian teriris dan malu.
**
Malam harinya, Asyifa yang dari tadi menemani Adrian menonton televisi akhirnya dia mengantuk. Adrian sudah mulai akrab dengan Asyifa, dari tadi mereka mengobrol, saling mendekatkan diri, supaya Adrian tahu bagaimana kehidupan Asyifa. Saat waktu Isya, Adrian juga meminta Asyifa mengajarinya Salat, Adrian takut lupa untuk bacaan salatnya, karena sudah lama dia meninggalkan kewajibannya. Mereka akhirnya melakukan Salat berjamaah.
“Kamu ngantuk?” tanya Adrian.
“Lumayan, Pak,” jawabnya.
“Ya sudah tidur yuk?” ajak Adrian.
“Bapak gak pulang?” tanya Asyifa.
“Tadi siang saya bilang, saya ingin lebih mengenal dan dekat dengan kamu. Bukankah ini yang kamu nantikan sejak enam bulan yang lalu? Kenapa malah menyuruhku pulang?” jawab Adrian.
“Ah ... i—iya sih,” ucap Asyifa gugup.
“Apa kamu belum siap? Kalau belum siap, aku ajari biar kamu siap,” ucap Adrian dengan senyuman nakal.
“Ajari apa, Pak?” tanya Asyifa polos.
“Bikin anak!” jawabnya.
Deg!
Jantung Asyifa seketika rasanya lolos dari tempatnya, ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Apa malam ini dia akan menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, juga menjalankan perintah Naura tentunya sebagai Perempuan yang disewa Rahimnya untuk menanam benih Adrian?
“Ayok!”
“Sekarang, Pak?”
“Enggak, Tahun depan, Fa!” jawab Adrian gemas.