Laki-laki asing bernama Devan Artyom, yang tak sengaja di temuinya malam itu ternyata adalah seorang anak konglomerat, yang baru saja kembali setelah di asingkan ke luar negeri oleh saudaranya sendiri akibat dari perebutan kekuasaan.
Dan wanita bernama Anna Isadora B itu, siap membersamai Devan untuk membalaskan dendamnya- mengembalikan keadilan pada tempat yang seharusnya.
Cinta yang tertanam sejak awal mula pertemuan mereka, menjadikan setiap moment kebersamaan mereka menjadi begitu menggetarkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Evrensya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I Need You (1)
Anna berdiri puas setelah melihat hasil kerjanya yang luar biasa, menurutnya. Bagaimana tidak, bukan hanya memangkas rerumputan atau membersihkan ranting yang jatuh, beserta dedaunan kering yang gugur. Ia bahkan mencabut habis gulma yang tumbuh di beberapa tempat yang sulit, sampai kelopak-kelopak bunga yang mengering pun ia bersihkan semua dengan begitu teliti nya. Bisa di pastikan, dari sisi manapun taman ini akan terlihat elok dan indah.
"Hah? Ada kutu daun!" mata Anna tiba-tiba terfokus pada sesuatu berwarna putih yang beserak pada dedaunan— pohon bunga mawar yang ada di dekatnya.
Bukankah mereka mengisap nutrisi yang dibutuhkan bunga, sehingga menyebabkan pertumbuhan yang terhambat. Daun serta bunga menjadi cacat. Mereka juga bisa menularkan virus di semua tanaman dan mendorong pertumbuhan jamur.
"Aku harus melakukan sesuatu!" serunya, begitu hebohnya.
Anna berlari menuju gerbang, hendak keluar mencari sesuatu yang di butuhkan untuk membasmi kutu tersebut. Namun betapa terkejutnya ia, ketika mendapati tubuh asisten pribadi Devan sudah berdiri tepat di depan gerbang.
"Pak Ali?!" Anna berhenti mendadak.
"Kau di perintahkan datang ke ruangan Boss, sekarang juga." Ujar pak Ali langsung, tanpa bas basi.
"Baik, saya akan segera kesana." Sahut Anna begitu patuh. Ini adalah perintah yang tidak bisa di tunda. Meskipun Anna sedang dalam keperluan yang mendesak sekalipun. Semuanya harus di kesampingkan terlebih dahulu.
"Kau— bersihkan dirimu terlebih dahulu, jangan memasuki ruangan Boss dalam kondisi kotor seperti ini." Pak Ali mengayunkan jari telunjuknya ke atas dan kebawah, memperlihatkan kondisi tubuh Anna yang berantakan.
"Siap di mengerti. Saya permisi dulu." Jawab Anna, kemudian mengambil sisi kiri untuk meninggalkan tempatnya.
Suara telepon berdering, pak Ali segera mengangkatnya.
"Pak Ali. Apakah tugas yang aku berikan padamu terlalu sulit, sehingga kau membutuhkan banyak waktu untuk menyelesaikannya. Dalam tiga menit kalau Anna tidak muncul disini, aku akan meragukan kinerjamu." Suara Devan terdengar begitu gusar, sehingga membuat pak Ali tidak bisa bereaksi cepat untuk menanggapinya.
Tut! Panggilan telepon langsung terputus.
"Hei! Anna! Langsung naik ke atas, tidak perlu membersihkan diri. Boss membutuhkanmu, segera!" serunya pada Anna yang sudah menjauh beberapa langkah di depannya.
"Baik, akan di laksanakan sesuai perintah." Sahut Anna sambil menoleh sejenak ke belakang, iapun kemudian melesat pergi.
Sebelum memasuki ruangan CEO, Anna mengibas-ngibas pakaiannya terlebih dahulu, kemudian melepaskan sepatu kerjanya— hanya menyisakan kaos kaki yang masih bersih tentunya. Pelan, ia menarik engsel pintu lalu memasuki ruangan dengan langkah pelan. Entah mengapa ia melakukannya seperti pencuri yang sedang menyelinap masuk.
"Ketuklah pintu sebelum masuk. Apa kau tidak tau etika dasar seperti itu?!" tegur sang CEO ketika pegawai barunya tiba-tiba muncul tanpa suara.
"Maaf Boss, saya telah melakukan kesalahan." Anna membungkuk meminta maaf kepada pria yang sedang terbaring disana, pada ruangan paling dekat dengan dinding kaca yang memperlihatkan seluruh pemandangan tak asing di luar sana.
Anna menyalahkan dirinya sendiri yang tiba-tiba saja melakukan sesuatu di luar kesadaran nya. Akibat dari rasa lelah yang bertumpu di kepalanya, yang memikirkan begitu banyak pekerjaan yang akan ia lakukan di waktu-waktu berikutnya. Niat awalnya, Anna melakukan cara ini agar tidak mengganggu ketenangan Boss nya dengan suara-suara yang tidak perlu, tapi justru keheningan yang ia ciptakan ini lebih tidak masuk akal.
"Baguslah kalau kau mengaku bersalah, karna jika kau mencoba membuat alasan, aku akan memberikan peringatan untukmu." Suara Devan begitu dingin dan tegas, seolah-olah sedang melampiaskan amarahnya pada Anna.
"Buatkan kopi dingin untukku!" pintanya kemudian, pada wanita yang tak mengeluarkan sepatah katapun untuk menimpali nya. Keberanian yang di tampilkan Anna tadi pagi, terlihat memudar menjelang siang ini. Apa dia menghabiskan energi begitu cepat?
"Baik Boss," jawab Anna, bergegas melanjutkan langkahnya menuju dapur, untuk mengeksekusi perintah Boss nya.
Raut wajah Devan yang menyandar pada Cosmovoide bed yang memiliki desain unik seperti telur itu tampak merah masam. Sebuah emosi marah masih mengendap kuat pada tatapan matanya yang tak berkedip itu.
Merasakan aura negatif yang memenuhi ruangan ini tidak membuat Anna merasa ciut ataupun takut, diamnya tadi hanya tidak ingin membuat perdebatan yang tidak perlu dalam kondisi yang tidak baik seperti ini. Tapi, Anna memiliki jurus jitu untuk meredakannya. Lihat saja!
Sementara itu, handphone milik Devan kembali membuat getaran keras di atas meja. Devan sudah bisa menebak siapa yang membuat panggilan begitu cepat di waktu yang penuh dengan kesibukan bekerja, siapa lagi kalau bukan Nora, Ibunya. Revy pasti telah berhasil mengadukan nya pada Ibu mertua yang selalu berpihak padanya.
"Halo, ada apa Ibu?" sapa Devan setelah mengangkat panggilan telepon nya.
"Apa kau sedang sibuk nak?" suara lembut di seberang sana sedikit memadamkan hati Devan yang membara. Walaupun ia tahu, bisa saja ucapan Ibu nantinya bagai minyak yang semakin membesarkan nyala api di dadanya.
"Tidak apa-apa jika itu Ibu, kalau ada keperluan katakan saja, aku akan mendengarkan nya," dengan penuh kerendahan hati Devan melayani Ibunya, walau sudah tau hal apa yang akan di bahas nyonya besar itu padanya. Ini pasti ada sangkut pautnya dengan Revy.
"Begini nak, baru saja yang mulia hakim Athariz Biantara, Ayahanda Revy menelpon Ibu secara pribadi. Mengenai saingan bisnis yang merugikan usaha impor kita. Beliau mengatakan akan menggunakan orang terbaiknya sebagai kartu AS untuk melakukan pendekatan kepada hakim lain yang berseberangan, dan beliau berjanji akan memenangkan kita di pengadilan."
"....."
"Supaya di percepat permohonan uji materi— terkait impor dari pihak lawan yang melimpah, yang membuat permintaan impor dari pihak kita menurun drastis. Beliau akan membalikkan keadaan yang akan menguntungkan kita."
"....."
"Jadi nak, tolong baik-baik lah pada nona Revy. Jangan terlalu keras padanya. Jika bukan karena kebaikan dan pengaruh Ayahnya, maka bisnis kita tidak akan berjalan dengan mulus sejauh ini. Ini demi keluarga besar Artyom dan Ayahmu khususnya, kau mengerti kan maksud Ibu mu ini nak?" Lembut namun mematikan. Itulah makna dari kalimat permohonan yang di ucapkan Ibu pada Devan. Sejak kapan Artyom group begitu bergantung dengan keluarga Hakim Biantara? Jika Ayah masih memimpin, Artyom group tidak pernah lemah pada siapapun.
"Tapi Ibu, apa aku harus selalu memahami setiap masalah yang dia ciptakan, dan membiarkan nya begitu saja menghancurkan bisnisku?" Devan mulai mengeluh.
"Nak, setiap masalah kan ada solusinya. Revy sendiri pun mengatakan akan bertanggung jawab penuh atas kesalahan yang dia perbuat. Apa itu tidak cukup bagimu nak? Berlapang dada lah. Bagaimana pun juga dia adalah calon istri mu di masa depan."
"....."
"Dan juga, untuk apa bertahan mengurus bisnis yang tidak jelas seperti apa masa depannya. Kembalilah ke Artyom Group, kau memiliki saham yang besar di beberapa sektor. Aku yakin dengan kontribusi mu disana, akan meningkatkan kemajuan perusahaan kita."
Suara Ibu yang mendayu-dayu itu melesat tajam bagai gigi gergaji besi yang siap mengoyak pertahanan diri Devan.
"Baiklah Ibu. Aku mengerti, dan aku akan menelepon Ibu lagi nanti. Aku sibuk." Devan mencukup kan percakapan ini agar tidak panjang, ia juga malas menanggapi rayuan Ibu agar ia kembali ke Artyom group—yang kini sudah di pimpin oleh kakaknya. Meskipun Ibu selalu meragukan langkahnya dalam membangun bisnis ini, yang tidak seberapa besar jika di bandingkan dengan kuasa yang di miliki oleh Artyom group di negeri ini, tapi suatu saat nanti Devan akan membuktikan, Devaradis akan mampu bersaing dengan perusahaan milik keluarganya itu.
"Iya nak. Jangan lupa makan tepat waktu agar kau tetap sehat. Oiya jangan terlalu memforsir diri untuk bekerja di kantor, sesekali pulanglah ke rumah utama dan beristirhatlah."' Setelah kalimat penuh perhatian itu terucap, panggilan pun di tutup.
Pulang? Ke sebuah rumah yang di dalamnya di huni oleh saudara yang selalu menganggapnya saingan, mengambil segala yang seharusnya menjadi hak nya, merebut apa yang ada dalam genggaman nya, mencoba mematahkan kaki tangannya agar ia tak mampu berbuat apa-apa. Juga ada seorang Ibu yang menekannya untuk berdiam diri, hanya menikmati tiap detik waktu yang berlalu dengan sia-sia, yang itu adalah kekalahan besar bagi seorang pria, yang seharusnya bergerak untuk menghasilkan sesuatu yang lebih besar.
Devan bukanlah seekor burung peliharaan yang di penjara dalam sangkar emas, kemudian pasrah dengan nasib yang telah di tentukan tuannya. Ibu terlalu menampakkan pilih kasihnya. Terlihat menyayangi dan mengayomi Devan penuh kelembutan, namun nyatanya Ibu telah dengan rela melihat kehidupan putra bungsunya tenggelam secara perlahan.
Devan meremas benda padat yang ada dalam genggaman tangannya itu erat-erat. Melimpahkan seluruh ketidakberdayaan nya pada benda yang tidak mampu menolongnya. Ia berteriak histeris dalam hati yang terasa perih teramat sangat, seperti ribuan pedang yang menyayat dinding kokoh yang ada didalamnya. Aku hanya tidak berdaya di hadapan Ibu, bukan yang lainnya.
Hingga tiba ketika Anna datang membawakan secangkir teh chamomile hangat untuk Devan. "Silahkan di minum, Boss," ucapnya pelan sambil meletakkan benda yang di bawanya ke atas meja kaca persegi panjang.
Devan bangkit dari tempatnya dan beranjak menuju sofa cokelat di pojok ruangan pada ruang pribadinya, tempat dimana minuman itu tersedia.
"Kenapa teh?" mata pria itu menatap dingin, bersamaan dengan tangannya yang menjulur mengambil wadah kecil di atas sebuah tatakan perak berbentuk bulat. Ia mencoba menormalkan raut wajahnya yang mulai kacau, menguncinya rapat-rapat pada nada suara yang berusaha ia datar kan. Ini adalah jam kerja, tidak seharusnya masalah pribadinya mempengaruhi profesionalisme kerjanya.
"Anda terlihat dalam mood yang kurang baik, Boss. Teh chamomile memiliki sifat sedatif alami yang bisa menenangkan pikiran, membantu mengurangi kecemasan, dan efek relaksasi. Coba saja." Jelas Anna mempersilahkan seraya berdiri tegap memegang nampan perak pada sisi sofa yang mewah.
Tanpa ragu Devan pun segera menghirup air hangat berwarna rose gold itu perlahan. Menikmati setiap rasa yang unik memanjakan lidah hingga kerongkongannya.
Anna tersenyum tipis melihat itu.
"Kalau begitu saya pamit ke bawah dulu, Boss. Masih ada pekerjaan saya yang tertunda, jika anda memerlukan sesuatu, saya akan segera datang kembali. Silahkan menikmati teh anda," kata si wanita cupu itu sambil menggeser letak tubuhnya— hendak menjauhi sofa. Tidak enak rasanya seorang pegawai rendahan, secara lancang menemani seorang Boss minum teh di ruangan pribadi nya.
"Memangnya siapa yang mengizinkan mu pergi?!" cegat Devan langsung.
"Eh?" Anna tertegun dan membatalkan niatnya, iapun langsung mengatur tempat berdirinya kembali pada titik semula. "Baik, saya tetap disini," jawabnya pelan.
"Duduklah," Devan mempersilahkan Anna duduk pada sofa yang ada di dekatnya, dengan suara yang rendah.
"Baik," Anna mengulang ucapannya, patuh. Dan menuruti perintah Devan untuk duduk di atas bantalan empuk dengan alas yang lembut menyelimuti permukaan nya.
Saat ini Anna memang tidak secanggung pagi tadi saat pertama kali bertemu Devan, hanya saja sedikit tertanam perasaan sedih yang entah apa penyebabnya. Di tambah melihat kondisi Devan yang nampak menyimpan masalah berat itu, membuat hati Anna ikut bergemuruh merasakan kalutnya.
Anna sungguh tidak mengada-ada, memang begitulah adanya. Seolah terikat oleh benang tipis yang menghubungkan nya dengan pria itu, dalam sekali lihat saja Anna sudah tau bagaimana perasaan Devan.
Ketika ia melihat aura laki-laki ini sekarang, mau tak mau terus mengingatkan Anna kembali pada raut keputus-asan Devan lima tahun yang lalu. Sudah bisa di pastikan, sesuatu yang buruk sedang terjadi. Sedangkan Anna sudah tentu tidak bisa mengabaikan nya begitu saja.
Lalu dengan memberanikan diri Anna bertanya. "Apa yang membuat wajah Anda terlihat memerah, seolah sedang terbakar oleh amarah? mungkin dengan berbagi bisa sedikit melegakan."
Mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir Anna, membuat Devan menghentikan aktivitasnya sejenak, lalu meletakkan cangkir teh itu di atas meja kaca hitam berkilau setinggi lutut. Ia memfokuskan diri kepada wanita cupu berponi tebal di depannya ini. Meskipun pria itu ingin segera mencurahkan beban pikirannya, Devan malah sengaja membuat moment ini menjadi lebih dramatis.
"Memangnya kau pikir kau ini siapa sehingga aku harus berbagi masalah denganmu?" pertanyaan si pria sungguh memancing perdebatan.
"Mungkin saya adalah orang yang bisa memberikan beberapa kalimat kebaikan untuk anda." Jawab Anna, sopan.
"Apa kau seorang psikiater yang berpura-pura menjadi cleaning service?"
"Saya kira dugaan anda terlalu berlebihan. Kalau begitu bagaimana kalau saya langsung tebak saja?" kalimat yang Anna ucapkan ini, persis seperti dahulu. Moment itu terasa seperti bangkit kembali.
"Kalau salah, hukuman mu berat." Kali ini Devan memang tidak sepolos dulu.
"Namun kalau saya benar, anda tidak boleh menyembunyikan apapun." Alih-alih merasa takut, si wanita justru nampak tidak keberatan sama sekali.
"Deal. Tapi, apa kau dapat di percaya?" Devan selalu mencari celah untuk mempermainkan wanita cupu itu.
"Kalau begitu, bagaimana kalau saya memberitahukan satu kelemahan saya sebagai jaminan."
Devan memperbaiki posisi duduknya dengan menyilangkan kaki. Iapun menyandarkan punggungnya lebih rileks pada bahu sofa. "Memangnya itu penting buatku?" dia berlagak angkuh seolah wanita di depannya ini tidak menarik baginya.
"Untuk jaga-jaga, mungkin anda bisa menggunakan itu untuk menutup mulut saya."
"Ayo katakan dulu, baru kau boleh menebak!" Devan suka hiburan semacam ini. "Kemarilah lebih dekat denganku. Kalau itu rahasia, bukankah kita harus membicarakannya dengan pelan?" Devan melayangkan tatapan penuh kuasa untuk menekan si pegawai rendahan, agar patuh pada perintahnya.
Anna bangkit dengan ragu-ragu, seraya menyerahkan sebuah tatapan yang seolah menanyakan, pantasan dirinya duduk bersanding dengan sang CEO dalam satu tempat duduk?
Devan yang langsung mengerti maksud dari tatapan mata si wanita cupu itu langsung bereaksi cepat dengan menarik tangan Anna dan mendudukkan nya tepat di sampingnya. Jarak mereka kini begitu dekat, kurang dari satu hasta. "Ayo beritahukan padaku apa rahasia mu." Pintanya kemudian, terlihat tak sabaran.
Si pegawai cleaning service itu nampak tidak nyaman, wajahnya tertunduk, sedikit demi sedikit ia membuka jarak semakin jauh. "Saya mengkonsumsi daun salvia divinorum agar bisa tidur nyenyak." Lirihnya dengan suara rendah, hampir tak terdengar.
Meskipun begitu terdengar begitu lekat di telinga pria yang ada di sebelahnya. "Hei, kau! Bukankah itu tanaman yang bersifat psikedelik? Jika di gunakan berlebihan efeknya sama seperti narkotika. Apa kau gila?!!" sang CEO justru meneriaki si pemilik rahasia.
"Aku hanya membutuhkannya sesekali."
Devan meraih kedua bahu ringkih Anna yang berdebu, memutarnya agar menghadap kepadanya, lalu jemarinya menerkam dagu mungil itu untuk mendongakkan nya dengan paksa. Mata biru si Boss bergerak cepat menjelajahi seluruh permukaan wajah si wanita cupu. Mata mereka bertemu pandang dengan tanpa kedip. "Kau membutuhkannya sesekali, kemudian kecanduan. Apa kau ingin merusak dirimu?"
"Aku baru mencobanya tiga kali dalam dua tahun terakhir." Pungkas Anna dengan gerak bibir yang terbatas.
Devan pun melepas rahang Anna, dan mulai merubah sikapnya. Jiwanya menasehatinya agar tetap bersikap profesional, menjaga batasan dan tidak mencampuri urusan pegawainya secara berlebihan. Jika Anna melihatnya seperti ini, wanita itu pasti mempertanyakan maksud dari tindakannya ini. "Oke. Sekarang tebak lah!" Pria itu mengalihkan topik, walau maksud hati ingin mengatakan lebih banyak hal.
"Buntu dan terbelenggu. Keinginan yang begitu kuat untuk melarikan diri atau melepas ikatan busuk yang mengikat anda, tapi anda tidak bisa melakukannya oleh sebab kepedulian anda pada orang-orang yang anda sayangi di belakang anda. Atau anda memang tidak memiliki keberanian yang besar, maupun tekad yang kuat, juga langkah yang pasti, untuk menghentikan semua masalah yang seolah tak berujung ini. Itulah posisi anda." Saat Anna berbicara seperti ini, aura keanggunan nya keluar begitu kuat. Sampai-sampai pria yang ada di dekatnya melongo sejenak.
"Kau tadi menguping pembicaraan ku dengan Ibu ku di telpon?" todong nya. Sebab semua yang katakan Anna tentang dirinya begitu akurat.
"Saya tidak mungkin mengaduk teh sambil menutup telinga, lagi pula anda meletakkan ponsel anda di atas meja, menyalakan loud speaker pada level maksimal. Orang yang lewat di luar pun bisa mendengar." Timpal Anna yang sudah keluar dari zona tak nyaman.
Lalu tanpa pikir panjang Devan pun menuturkan masalahnya dalam bentuk yang berbeda. "Bagaimana menurutmu jika sebuah komitmen yang di pegang oleh seseorang justru menghancurkannya perlahan. Adakah komitmen itu masih harus di junjung tinggi?" Devan mulai membuka diri tanpa ia sadari. Sebab perbincangan ini mengalir begitu nyaman.
Anna memusatkan perhatiannya pada kalimat yang di ucapkan oleh Devan tentang sebuah komitmen. Selama lima tahun ini, Devan bertahan dengan sangat kuat menjalin hubungan yang penuh tekanan itu.
"Maaf Boss, setau saya komitmen itu adalah bentuk tanggungjawab seseorang pada suatu janji yang mengikatnya, utamanya janji pada diri sendiri, apalagi jika itu misalnya sebuah janji yang terhubung dengan orang lain. Hanya saja, komitmen itu harus berdiri di atas kebaikan, yang mana akan menguntungkan diri sendiri. Jika sebaliknya yang terjadi, bukanlah komitmen namanya, melainkan menjebak diri dalam kesengsaraan." Terang Anna, memberikan pandangannya dengan begitu bijaknya.
"Iya, kau benar," Devan langsung membenarkan pendapat Anna. Pria yang sedang duduk santai itu menghela nafas pendek, membuang emosi negatif yang sudah mulai memudar perlahan sejak wanita berkaca mata jumbo ini ada di dekatnya.
"Lalu bagaimana harus mengakhirinya, jika sebuah keputusan tidak ada di tangan orang tersebut, melainkan wewenang orang yang diatasnya. Apakah dia harus melarikan diri daripada terjebak selamanya?" tanya nya kembali. Berharap Anna dapat memberikannya beberapa patah kata yang dapat melegakan pikirannya.
Jadi, maksud Devan, kewenangan itu ada di tangan Ibunya sendiri, dan ia merasa tidak kuasa untuk memberontak. Baiklah, Anna memang harus memberikan satu pandangan baik untuk situasi ini.
"Boss, apa anda tau? Segala sesuatu itu memiliki waktunya sendiri— seperti sebuah pertemuan dan perpisahan, sedih dan bahagia, lapang dan sulit, atau sakit dan sehat. Ia berdiri pada waktu-waktu yang telah di tentukan, dan tak mampu terelakkan. Yang artinya, roda kehidupan yang berputar, tidak ada seorangpun yang bisa menghentikan nya, hingga mencapai titik yang Tuhan telah tetapkan pada garis— finished."
"....."
"Biasanya, di titik yang paling menyakitkan adalah pintu gerbang menuju kebebasan. Melarikan diri bukan solusi yang benar, terkadang diam dan memantau dalam kewaspadaan adalah yang terbaik. Apalagi kalau kita melakukan suatu tindakan yang lebih berani, yang sekiranya bisa mengeluarkan kita dari kondisi yang menghimpit, itu namanya pejuang sejati." Anna dalam mode seorangpun motivator adalah yang terbaik, pria di dekatnya nampak begitu menghayati setiap kata yang keluar dari bibirnya.
"Begitukah?" Devan menyugar rambutnya kasar. Kata-kata Anna memang selalu relate dengan kondisinya. Wanita itu seolah tahu betul segala sesuatu tentang dirinya dengan begitu detailnya, bahkan lebih dari yang punya tubuh itu sendiri.
Jika kau bertanya, mengapa selama lima tahun ini Devan tidak membuat keputusan untuk membatalkan pertunangannya dengan segala cara, seolah telah menyerahkan diri pada garis nasib yang tak berpihak padanya. Meskipun seseorang pernah menasehatinya, bahwa kebaikan pun memiliki hak untuk di perjuangkan di atas kejahatan.
Jawabannya adalah, Devan hanya sedang menunggu— kontrak kerjasama bisnis antara keluarganya dan keluarga Revy yang akan berakhir sebentar lagi. Di sanalah ia akan memutuskan segalanya dengan baik-baik. Pria yang selalu menampilkan karakter nya yang dingin, sebenarnya adalah sosok yang memiliki jiwa yang begitu murni. Siapa sangka, tapi Anna tau itu.
"Benar Boss, hanya saja pada titik terakhir ini, manusia seringkali menjadi tidak sabaran dan gegabah. Lalu mengambil langkah yang salah, padahal jika dia menunggu sedikit lagi mengikuti alur waktu, atau membuat perencanaan yang lebih matang, pasti dia adalah pemenang nya." Anna menguatkan sekaligus meyakinkan pria yang sedang duduk menyender, sambil memegang tangkai cangkir porselen putih di tangannya.
Devan menarik punggungnya dari sandaran sofa dan duduk membungkuk mencondongkan diri kepada Anna. "Apakah perkataan mu ini bisa di percaya dan bukan omong kosong belaka?"
"Emm— kira-kira begitulah saya menjalani hidup," jawab Anna singkat. Sembari melempar pandangannya ke samping untuk menghindari temu pandang dengan netra biru Devan yang pekat.
"Kau— cukup berguna." Tunjuk Devan.
Anna memutar kepalanya menghadap kepada si Boss, "apakah itu sebuah pujian atau—"
"Aku hanya senang, kau saat ini adalah milik Devaradis. Aku harap ke depannya kau betah bekerja disini," potong Devan, tanpa memberikan Anna mengungkapkan prasangka nya.
Devan sungguh lega, mendengar petuah wanita cupu ini seolah membuka jalan baru bagi langkahnya yang buntu. Untuk saat ini, Devan memang tidak menampakkan perjuangan yang begitu nyata, semata-mata karena ia tidak ingin melemahkan bisnis Ayah yang sudah susah payah di besarkannya.
Lagi pula, Devan tidak se-naif itu, ia diam-diam melakukan banyak penyelidikan terhadap sang tunangan, bukan hanya bukti perselingkuhan yang di dapatkan, tapi juga fakta sebuah pengkhianatan yang di lakukan Revy, yang menjadi kaki tangan dibalik masalah bertubi yang siap menghancurkan Devaradis— mengarah pada satu titik pelaku utama, yang tak lain adalah kakaknya, Daniel. Hanya saja, Devan membutuhkan taktik jitu untuk menangkap basah mereka berdua. Dan ini adalah hal yang sulit— mencari celah kelemahan Daniel, yang sedang dalam kekuasaan uang yang tak terhingga.
"Terima kasih, Boss. Saya Anna Isadora, akan mengabdikan diri untuk Devaradis jika di perlukan." Suara Anna menggema di ruangan. Seperti mengikrarkan sebuah ikatan janji setia.
Mendengar itu, Devan tersenyum puas. Inilah yang sesungguhnya dia inginkan. "Sebentar!" Devan berucap sambil mendekatkan diri kepada Anna. Ia menjulurkan tangannya ke atas kepala yang di tumbuhi rambut lebat dan terlihat acak-acakan.
"A- ada apa Boss?" Anna refleks menghindar ke belakang.
"Kemarilah, aku tidak akan menerkam mu,"
"Bu- bukan begitu maksud saya,"
"Ck, kau mau membantahku?" mata Devan sedikit melotot.
Anna menggeleng, lalu pasrah menyerahkan diri kepada Devan. Devan menjulurkan tangannya ke atas kepala Anna, untuk mencabut sesuatu dari rambut wanita cupu itu, kemudian menunjukkan tepat di depan mata hijaunya yang bergerak tak beraturan.
"Daun-daun kering ini membuat kepalamu terlihat seperti sarang burung." Ujarnya dengan nafas yang menyembur di permukaan wajah Anna yang memerah.
Anna hanya bisa membuka mulut tanpa mampu mengeluarkan suara. Di perlakukan seperti itu membuat tubuhnya berubah kaku seperti kayu, hingga nafasnya pun tertahan di dada. Rupanya, dedaunan dari hasil membersihkan taman itu tersangkut di rambutnya. Membuat malu saja.
Devan menarik kembali tubuhnya dan duduk pada posisi semula. "Baiklah, kau bilang tadi kau ada pekerjaan bukan? sekarang kau boleh pergi." Kali ini Devan sendiri yang memperbolehkan Anna untuk pergi.
Anna mengangguk pelan sambil menekuk kepalanya kebawah memberi hormat, sekaligus pamit untuk meninggalkan ruangan ini tanpa kata-kata. Lalu iapun segera bangkit dari duduknya dan melangkah pergi dengan terburu-buru. Ia harus meninggalkan tempat ini sebelum hatinya meledak oleh perasaan yang— Anna sendiri tak berani mengartikan nya sesuka hati.
"Anna!" panggil Devan ketika langkah Anna sudah menjangkau pintu depan.
Dengan sedikit berat hati, Anna membalikkan badannya, "iya Boss?"
"Jangan lupa datang di jam makan siang nanti, persiapkan makanan Prancis untukku." Pesan Devan.
"Baik Boss, akan saya pilihkan menu yang terbaik untuk anda." Jawab si pelayan yang mencoba bersikap tenang di balik getaran jiwanya yang menggila. Kemudian sekali lagi ia berpamitan untuk pergi, tubuhnya pun kini benar-benar menghilang di balik pintu.
Devan menghabiskan tehnya dalam satu kali tegukan, lalu berpindah tempat ke tempat istirahatnya. Ia mengambil dokumen yang ada disana untuk di kaji kembali. Namun suara dan bayangan Anna justru mendominasi isi kepalanya, dan— salvia divinorum. Devan akan mengurus soal itu nanti.
Waktu jam makan siang, berapa jam lagi? Devan menunggu.
...• • •...
mampir di novelku ya/Smile//Pray/