Ayla tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah karena sebuah kalung tua yang dilihatnya di etalase toko barang antik di ujung kota. Kalung itu berpendar samar, seolah memancarkan sinar dari dalam. Mata Ayla tertarik pada kilauannya, dan tanpa sadar ia merapatkan tubuhnya ke kaca etalase, tangannya terulur dengan jari-jari menyentuh permukaan kaca yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Worldnamic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Bayang-Bayang Menara
Pintu besar dari besi hitam itu berdiri kokoh di hadapan mereka, dihiasi dengan ukiran-ukiran rumit yang memancarkan cahaya redup. Aura kegelapan menyelimuti seluruh area, membuat setiap langkah terasa seperti melawan arus sungai yang kuat.
Ayla dan Kael berhenti di depan pintu itu, mengamati ukiran-ukiran yang tampak seperti makhluk-makhluk mengerikan dengan mata kosong. Ayla menggenggam lengan Kael, mencari ketenangan di tengah rasa takut yang mulai merayap ke dalam hatinya.
“Pintu ini pasti penjaga terakhir sebelum kita mencapai Noir,” gumam Kael. “Tapi tidak ada gagang, tidak ada kunci.”
Ayla menatap ukiran-ukiran itu lebih dekat. Di bagian tengah pintu, ada dua lingkaran kecil yang tampak seperti tempat untuk memasukkan sesuatu. Cahaya dari lingkaran itu berdenyut lemah, seolah-olah menunggu.
“Ini bukan pintu biasa,” kata Ayla, suara penuh kewaspadaan. “Aku pikir ini membutuhkan lebih dari sekadar kekuatan fisik untuk membukanya.”
Tiba-tiba, suara berat menggema dari belakang mereka. “Hanya yang hatinya murni dapat membuka jalan ini.”
Kael dan Ayla berbalik dengan cepat, tetapi tidak ada siapa pun di belakang mereka. Hanya bayangan gelap yang bergerak perlahan, membentuk sosok samar di udara.
“Buktikan diri kalian,” suara itu berkata lagi, kali ini lebih dekat.
Cahaya di sekitar lingkaran kecil di pintu mulai berubah warna, dari redup menjadi lebih terang, seolah menantang mereka.
Kael memandang Ayla, matanya penuh keyakinan. “Apa pun yang diminta, kita akan melakukannya bersama.”
Ayla mengangguk, menguatkan diri. “Aku percaya padamu. Kita bisa melewati ini.”
Ketika mereka mendekatkan tangan ke lingkaran itu, kilatan cahaya tiba-tiba menyelimuti mereka. Dalam sekejap, mereka tidak lagi berada di depan pintu.
Mereka berdiri di padang rumput luas yang penuh dengan bunga-bunga berwarna biru cerah, seperti cahaya malam yang berubah menjadi kelopak. Namun, di tengah keindahan itu, suara bisikan-bisikan samar terus bergema, seperti angin yang membawa rahasia gelap.
“Apa ini?” tanya Ayla dengan nada cemas.
Kael memandang sekeliling. “Aku tidak tahu, tapi aku yakin ini bagian dari ujian.”
Dari tengah padang, muncul sosok Ayla, namun wajahnya terlihat pucat dan matanya kosong. Sosok itu menatap Kael dengan tatapan dingin. “Kenapa kau terus bersamanya? Kau tahu dia hanya akan membahayakanmu.”
Kael menggertakkan giginya, tetapi tetap berdiri tegak. “Aku tahu itu bukan Ayla.”
Sosok itu mendekat, suaranya berubah menjadi lebih menekan. “Dia adalah kelemahanmu. Kau tahu kau tidak bisa menyelamatkan semua orang, terutama dia.”
“Aku tidak akan pernah menganggap Ayla sebagai kelemahanku,” jawab Kael tegas. “Dia kekuatanku. Dia alasan aku bisa terus maju.”
Ketika Kael berbicara, cahaya biru dari bunga-bunga di sekitarnya mulai bersinar lebih terang, melawan bayangan sosok itu.
Di sisi lain, Ayla melihat sosok Kael muncul di depannya. Sosok itu penuh luka dan berdarah, wajahnya penuh rasa sakit. “Ayla, kau tidak cukup kuat untuk melindungiku. Kau hanya akan membuatku menderita.”
Ayla terdiam, hatinya diliputi rasa takut. Tetapi kemudian, ia mengingat semua yang telah mereka lalui bersama—kehangatan di genggaman tangan Kael, kekuatan yang tumbuh dari kepercayaan mereka satu sama lain.
“Kael tidak pernah mengatakan hal seperti itu,” kata Ayla dengan suara yang mulai mantap. “Aku tahu apa yang ada di hatinya, dan aku tahu dia percaya padaku, seperti aku percaya padanya.”
Cahaya lembut mulai muncul di tangan Ayla, membungkus sosok itu hingga lenyap.
Ketika mereka berhasil mengalahkan ilusi masing-masing, dunia di sekitar mereka kembali ke tempat semula—di depan pintu besi hitam yang kini perlahan terbuka.
“Pintu ini tidak akan terbuka tanpa kepercayaan satu sama lain,” ujar suara misterius itu, sebelum menghilang untuk terakhir kalinya.
Kael memandang Ayla, matanya penuh kehangatan. “Kau melakukannya dengan baik.”
Ayla tersenyum lemah. “Aku tidak akan bisa melakukannya tanpamu.”
Mereka melangkah ke dalam, menuju apa yang mereka tahu akan menjadi konfrontasi terakhir mereka dengan Noir. Namun, dalam hati mereka, ada keyakinan baru bahwa cinta dan kepercayaan mereka satu sama lain akan menjadi kekuatan terbesar untuk melawan kegelapan.
Pintu besi hitam itu akhirnya terbuka sepenuhnya, memperlihatkan jalan gelap yang berkelok, dipenuhi oleh kabut tebal yang menyelimuti setiap sudutnya. Udara di dalam menara terasa semakin berat, seperti ada sesuatu yang menekan dada mereka, namun Ayla dan Kael tidak ragu. Mereka tahu bahwa apa yang ada di depan mereka adalah ujian terakhir—dan mereka siap menghadapinya bersama.
Kael melangkah lebih dulu, menuntun Ayla melalui lorong sempit yang dipenuhi oleh bayangan-bayangan tak kasat mata. Setiap langkah mereka seolah terdengar lebih keras di telinga, karena hening yang sangat tebal. Sesekali, Ayla bisa merasakan tatapan yang memancar dari dinding batu, namun ia lebih memilih untuk tidak melirik terlalu lama, menjaga fokusnya pada Kael di depannya.
Tiba-tiba, dari dalam kegelapan yang semakin dalam, suara tawa mengerikan terdengar. Tawa yang tajam, penuh penghinaan. “Akhirnya, kalian sampai juga. Tapi akankah kalian bertahan?” suara itu bergema, mengelilingi mereka dari segala arah.
“Siapa kau?” Kael berseru, suara tegas penuh keberanian.
Dari balik bayangan, sosok Noir perlahan muncul, siluet gelap yang semakin jelas, dengan mata merah menyala yang menatap mereka dengan penuh amarah dan kebencian. Wajahnya tersenyum sinis, penuh kemenangan.
“Kalian sudah terlalu jauh untuk mundur, dan terlalu lemah untuk menang. Dunia ini adalah milikku, dan kalian… kalian hanya pemain kecil dalam skenario besar ini,” kata Noir dengan suara dingin yang menggetarkan.
Ayla merasa gemetar di samping Kael, tetapi ia menggenggam tangan Kael lebih erat, mendapatkan kekuatan dari sentuhan itu. “Kami tidak akan membiarkanmu menghancurkan dunia ini, Noir,” kata Ayla dengan suara yang lebih kuat dari yang ia rasakan.
Noir tertawa lagi, kali ini lebih keras, suaranya mengisi seluruh ruang. “Kalian berdua begitu polos. Kalian masih belum memahami bahwa kekuatan sejati bukanlah tentang cinta, atau kepercayaan, atau harapan.” Noir melangkah lebih dekat, wajahnya kini penuh dengan keganasan. “Kekuatan sejati adalah dominasi. Aku akan menghancurkan segala sesuatu yang kalian cintai, dan tidak ada yang akan bisa menyelamatkan kalian.”
Ayla dan Kael saling bertukar pandang. Dalam hati mereka, ada satu tekad yang jelas—mereka akan bertahan, bersama.
“Aku sudah memutuskan,” kata Kael pelan, tetapi cukup keras untuk terdengar jelas. “Aku tidak akan pernah membiarkanmu menang, Noir. Kami berdua sudah melalui terlalu banyak untuk berhenti sekarang.”
Dengan kata-kata itu, Kael menarik Ayla ke samping, siap untuk menghadapi Noir dengan segala yang mereka miliki. Ayla merasakan kekuatan baru dalam dirinya, perasaan hangat yang tumbuh dari hubungan mereka, dan menyebar ke seluruh tubuhnya. Cahaya mulai terbit dari tangannya, memancar lembut namun penuh kekuatan.
Noir melihat perubahan itu dengan tatapan tidak percaya. “Begitu, kalian berpikir bahwa cahaya seperti itu bisa mengalahkanku?” katanya sinis.
Namun, sebelum Noir sempat melangkah lebih dekat, Ayla mengangkat tangannya, memusatkan energi yang mengalir dalam dirinya. Cahaya yang memancar dari tangannya mulai berkembang, lebih terang, lebih kuat, mengisi seluruh ruang dengan aura kemurnian yang mengusir kegelapan.
“Aku bukan hanya seorang yang akan mundur. Aku adalah penyeimbang. Kegelapan dan cahaya ada dalam diriku, dan aku memilih untuk melawanmu,” kata Ayla dengan penuh tekad, dan dengan itu, ledakan cahaya menerpa kegelapan yang mengelilingi mereka.
Noir terhuyung mundur, wajahnya kini penuh dengan keheranan. “Bagaimana bisa… kau begitu kuat?”
“Aku kuat karena aku tidak sendiri. Aku punya Kael. Dan aku punya cinta yang lebih besar daripada kekuatan gelap yang kau miliki,” jawab Ayla, suaranya penuh kepercayaan diri.
Kael berdiri di sampingnya, tangan mereka saling menggenggam erat. “Kita akan mengalahkanmu bersama. Kamu tidak bisa menghentikan kami.”
Noir menggeram marah, menyadari bahwa rencana besarnya mungkin akan runtuh. Ia mulai mengumpulkan energi gelap yang mengerikan, berusaha untuk melawan kekuatan Ayla. Tetapi kekuatan Ayla semakin kuat, disokong oleh keteguhan hati dan cintanya pada Kael.
Dalam momen itu, Ayla merasakan segalanya bersatu—cahaya yang mengalir melalui dirinya, kekuatan dari hubungannya dengan Kael, dan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Ia tidak hanya melawan Noir, tetapi ia melawan ketakutan dan keraguan yang selama ini membelenggunya.
“Sekarang, aku yang mengendalikannya,” kata Ayla dengan suara penuh kekuatan.
Dengan satu ledakan cahaya yang kuat, energi gelap Noir mulai runtuh, menghancurkan ilusi-ilusi yang ia ciptakan. Suara gemuruh terdengar ketika kegelapan itu mulai menyusut, dan akhirnya, Noir jatuh berlutut, matanya penuh amarah dan kekalahan.
“Aku… kalah?” Noir berbisik dengan suara hampir tak terdengar, namun di dalam tatapannya masih ada kebencian yang mendalam.
“Ya,” jawab Kael, “karena kau tidak mengerti satu hal—bahwa cinta lebih kuat dari segala kegelapan yang kau bawa.”
Noir menatap mereka dengan penuh kebencian, namun akhirnya, tubuhnya mulai menghilang, terkalahkan oleh cahaya dan harapan yang menyatu di antara Ayla dan Kael.
Ayla dan Kael saling memandang, merasakan kelegaan yang datang dengan kemenangan mereka. Mereka tahu bahwa meski pertempuran ini telah berakhir, perjalanan mereka baru saja dimulai.
Dengan langkah yang mantap, mereka meninggalkan tempat itu, kembali menuju dunia yang mereka perjuangkan, bersama-sama, menghadapinya dengan kekuatan cinta yang tak terkalahkan.
Ayla dan Kael melangkah keluar dari lorong gelap itu dengan perasaan lega yang tak terlukiskan. Cahaya fajar menyambut mereka di ujung perjalanan, seolah memberi tanda bahwa mereka telah berhasil mengalahkan Noir. Udara pagi terasa lebih segar dari sebelumnya, dan dunia tampak seakan memulai hidup baru.
“Akhirnya,” gumam Kael, menggenggam tangan Ayla dengan lembut. “Kita melakukannya.”
Ayla tersenyum, meski kelelahan tergambar di wajahnya. “Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang akhirnya berakhir.”
Namun, di tengah ketenangan itu, angin dingin tiba-tiba berhembus, menusuk kulit mereka. Ayla berhenti, menoleh ke belakang, matanya menyipit. “Apa kau merasakannya?”
Kael mengangguk pelan, alisnya berkerut. Udara yang tadi terasa hangat kini berubah menjadi berat dan suram. Bayangan kabut hitam mulai merayap dari balik lorong tempat mereka datang, perlahan tapi pasti, seperti luka lama yang menolak sembuh.
Dan kemudian, suara itu terdengar lagi. Suara tawa rendah yang mengerikan, lebih tajam, lebih menggema daripada sebelumnya.
“Kalian benar-benar berpikir… bahwa semudah itu mengalahkanku?”
Mata Ayla melebar. Ia berbalik dengan cepat, dan di sana, di ujung lorong, Noir berdiri, lebih kuat dari sebelumnya. Energi gelap mengelilingi tubuhnya, seolah ia telah menyerap kekuatan yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Mata merahnya berkilauan penuh kepuasan, dan senyum sinis itu kembali menghiasi wajahnya.
“Tidak mungkin…” Kael berkata dengan suara pelan, hampir tak percaya.
“Oh, tapi sangat mungkin,” Noir menyahut, langkahnya maju mendekati mereka. “Kalian terlalu percaya diri. Kalian mengira cahaya kecil itu bisa memusnahkanku? Tidak ada yang bisa menghapus kegelapan, Ayla, bahkan dirimu.”
Ayla merasa tubuhnya bergetar. Cahaya yang tadi bersinar di tangannya kini redup, seolah takut menghadapi Noir yang kembali dengan kekuatan yang lebih dahsyat.
“Kau mungkin mengalahkanku sebentar,” Noir melanjutkan, suaranya penuh ancaman. “Tapi aku hanya mundur untuk sementara, menunggu momen yang tepat untuk kembali. Dan sekarang… saatnya kalian melihat seperti apa kehancuran sejati.”
Sebelum Ayla atau Kael bisa bereaksi, Noir mengangkat tangannya, dan dari telapak tangannya, gelombang energi gelap melesat, menghantam tanah di sekitar mereka. Retakan besar muncul di bawah kaki mereka, dan gemuruh bumi membuat Ayla hampir kehilangan keseimbangan.
Kael meraih tangan Ayla, menariknya mundur saat retakan semakin meluas, membelah jalan di depan mereka. “Kita harus pergi dari sini, sekarang!” seru Kael.
“Tapi dia…” Ayla menatap Noir dengan mata penuh kebimbangan. “Dia terlalu kuat…”
Kael memegang wajah Ayla, membuatnya menatap matanya. “Kita tidak bisa melawannya sekarang. Ini bukan akhir dari segalanya, Ayla. Kita harus bersiap. Kita akan kembali, bersama.”
Mendengar kata-kata Kael, Ayla mengangguk perlahan, meski hatinya terasa berat. Mereka berdua berbalik, berlari keluar dari reruntuhan itu dengan Noir tertawa di belakang mereka, suara yang terus menggema di telinga mereka bahkan ketika mereka telah jauh dari tempat itu.
“Lari saja, Ayla! Lari sejauh yang kau bisa! Tapi aku akan selalu ada, mengintai, menunggu saatmu lengah!” seru Noir dengan nada penuh kemenangan.
Saat akhirnya mereka keluar dari lorong itu, Ayla berhenti dan menatap ke belakang, napasnya terengah-engah. Ia merasakan dada Kael naik-turun di sampingnya, menunjukkan bahwa ia sama lelahnya.
“Kita tidak menang…” bisik Ayla, air mata mulai menggenang di sudut matanya.
Kael menatapnya dengan sorot tegas. “Belum, Ayla. Tapi kita akan menemukan cara. Aku berjanji, kita tidak akan membiarkan Noir memenangkan pertempuran ini.”
Dengan hati yang kembali membara oleh tekad, Ayla menggenggam tangan Kael erat-erat. Ia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, dan Noir masih menjadi ancaman nyata. Tapi kali ini, ia tidak akan membiarkan rasa takut menguasainya.
Noir belum kalah. Tapi mereka juga belum menyerah.