Narendra sang pengusaha sukses terjebak dalam situasi yang mengharuskan dirinya untuk bertanggung jawab untuk menikahi Arania, putri dari korban yang ia tabrak hingga akhirnya meninggal. Karena rasa bersalahnya kepada Ayah Arania akhirnya Rendra bersedia menikahinya sesuai wasiat Ayah Arania sebelum meninggal. Akan tetapi kini dilema membayangi hidupnya karena sebenarnya statusnya telah menikah dengan Gladis. Maka dari itu Rendra menikahi Arania secara siri.
Akankah kehidupan pernikahan mereka akan bahagia? Mari kita ikuti ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rose Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergi Bersama
"Arania..."
Suara panggilan lembut itu seketika menghentikan pemberontakan yang dilakukan Arania. Itu terdengar seperti tak asing di indra pendengaran wanita muda yang kini tengah ketakutan.
"Arania..."
Cekalan kuat dari tangan gadis itupun mengendur. Arania dengan raut wajah terkejut membawa serta rasa penasarannya, menatap lekat ke wajah asing pria yang berada di dekatnya. Mencari tau siapa sebenarnya sosok misterius yang suaranya begitu akrab ditelinga nya.
"Arania, ini aku, suamimu." Ucap pria yang kemudian membuka masker dan kacamata hitam yang menutupi wajahnya.
Mata Arania melotot tak percaya pada apa yang tengah dilihatnya. Ia sungguh dibuat sport jantung oleh pria yang tak lain adalah Rendra di balik masker dan kacamata hitam serta topi yang dikenakannya. Dengan rasa kelegaan disertai ketakutannya Arania menubruk dada bidang Rendra.
"Mas..." Ucap Arania di pelukan Rendra seraya menangis tersedu meluapkan rasa di dadanya yang sejak tadi tertahan. "Aku takut!"
"Mas Rendra kenapa menyamar seperti itu..." Ujar gadis itu di sela deraian air mata yang terus mengalir.
"Maaf.. maafkan mas, Arania. Mas tidak bermaksud untuk menakuti mu. Mas tidak menyangka ekspresi mu akan histeris seperti ini. Maafkan mas, sayang." Ujar Rendra dengan rasa bersalahnya. Ia mengusap punggung istri sirinya itu kemudian mengecup puncak kepala yang berbalut hijab marunnya.
Rendra membiarkan Arania memeluk tubuhnya untuk beberapa saat agar rasa di dadanya mereda.
Arania melepas pelukannya dari Rendra. "Mas jangan pernah lakukan ini lagi. Aku ketakutan." Ujar gadis itu dengan wajah sembabnya.
Rendra menghapus sisa-sisa air mata di pipi chubby istri sirinya itu dengan lembut. "Maaf sayang. Kamu mau kan maafin mas? Mas janji tidak akan buat kamu ketakutan lagi."
"Sudah kan nangisnya?" Rendra menatap mata yang masih basah dan memerah sang istri, ada rasa nyeri yang muncul di hatinya. Lagi-lagi dialah yang menyebabkan air mata gadis itu kembali berderai membasahi pipinya. Walaupun hal itu tidak disengaja olehnya.
"Arania... Ada suatu hal yang mengharuskan mas berpenampilan seperti ini. Mas harus sembunyi-sembunyi karena mas adalah suami Gladys. Mas tidak ingin identitas mas diketahui publik saat bersama mu karena hubungan kita sementara ini harus tetap menjadi rahasia. Mas kemudian berpikir untuk menguji penyamaran mas pada mu, apakah kamu masih mengenali mas atau tidak. Mas ingin memastikan bahwa penyamaran ini efektif."
"Mas harus tetap menjaga nama baik Gladys sebagai aktris yang sedang populer. Karena dengan celah sedikit saja publik bisa memberikan gosip yang tidak baik hingga mungkin bisa membuat pamor Gladys menjadi menurun. Mas tidak ingin sampai itu terjadi. Mas tidak ingin merusak nama baik Gladys yang telah dibangunnya berkat kerja kerasnya selama ini. Kamu mengerti kan sekarang?"
Arania menganggukkan kepalanya. Ada rasa nyeri di hatinya walaupun sebelumnya mereka telah bersepakat untuk merahasiakan hubungan mereka, tapi tetap saja itu membuatnya hatinya sakit. Namun Arania berusaha untuk tegar menerima keadaan dirinya saat ini. Bahwa dirinya hanyalah istri kedua yang tak lain adalah pelakor yang akan merusak kebahagiaan wanita lain. Arania menggenggam hatinya sekuat yang ia bisa. Dan ingin menghilang saat ini juga dari muka bumi. Namun sayang sekali itu semua hanya ilusi. Dirinya hanya bisa menjalani kepahitan serta kesakitan ini.
Ia kembali berusaha membangun hatinya dengan menyunggingkan senyum yang terasa berat namun tetap harus ia perlihatkan.
"Ya mas, sekarang aku mengerti akan posisi mu." Lirihnya dalam kekecewaan yang Rendra tak sadari.
"Sayang, maafkan mas atas situasi ini. Mas mohon pengertian mu. Walau bagaimanapun yang terpenting kamu tetap bersama mas. Kamu milik mas dan mas akan selalu menjaga mu, Arania. Mas menyayangi mu juga Gladys."
Dengan sorot mata teduh dan mendalam, tanpa bersuara Arania menganggukkan kepalanya.
"Baiklah, mari lanjutkan perjalanan kita. Ada banyak barang yang harus kita beli." Ucap Rendra setelah mereka pindah ke tempat duduk bagian depan mobil. Rendra mulai melajukan mobilnya.
"Kamu bisa membeli apapun Arania. Aku akan mengajak mu ke tempat perbelanjaan terbaik di kota ini...."
"Nanti kita akan makan apa ya enaknya? Kamu mau apa, sayang?..."
"Kita akan sering pergi bersama seperti ini..."
Sepanjang perjalanan, Rendra tanpa henti terus berbicara dan tertawa pada Arania untuk membangun keakraban mereka kembali. Arania yang seolah mendengarkan setiap perkataan suaminya, namun dibalik itu sebenarnya pikiran semrawut terus melanda kepalanya. Ia memikirkan apakah ia harus senang atau sedih saat ini?. Atau apakah hubungan ini akan baik bagi mereka nanti ke depannya? Dan hal-hal lain yang terus terbayang di kepalanya.
"Iya, mas."
Arania tetap berusaha menyahut dan berusaha fokus dengan setiap ucapan suaminya di tengah kesemrawutan pikirannya itu. Dengan laju mobil yang semakin kencang seakan mengiringi kembali lamunan nya yang menarik pandangannya terlarut dalam pikirannya sendiri.
Saat mereka telah berada di pusat perbelanjaan. Di tengah Rendra yang sangat antusias memilih serta mengambil barang-barang keperluan mereka. Pikiran serta pandangan gadis itu kembali tak fokus. Seolah ada magnet yang menarik dirinya ke luar dari badannya, seakan kini raga tanpa jiwa yang entah kemana. Gadis itu hanya patuh, menggangguk dan tersenyum saja pada perkataan Rendra, pada pilihan serta keinginan Rendra, tanpa berkomentar apapun selain berkata 'iya' atau 'baiklah'.
Tanpa Rendra sadari atau Rendralah yang tidak peka akan keadaan disekitarnya hingga dia tidak mengetahui bahwa wanita muda yang berjalan bersama itu terus murung dan merenung di balik senyumnya. Seperti halnya ketidakpekaannya kepada Gladys yang selama ini tidak pernah mencintainya. Rendra tidak mampu menangkap itu semua. Yang ia tau ia hanya mencintai dan menyayangi keduanya dengan tulus. Itu saja.
Arania yang murung terus berpikir serta melamun tanpa henti. Di benak wanita itu, ia tak menyangka bahwa pesan terakhir sang Ayah akan membuatnya pada posisi yang serumit ini. Apalagi suatu saat bila hubungan mereka diketahui oleh Gladys, entah apa jadinya, membuat pikiran semakin kacau dan tidak tenang.
Setelah puas berbelanja keperluan mereka serta mengisi perut, kini mereka kembali pulang. Pukul 9 malam mereka telah sampai di halaman rumah. Saat masih berada di dalam mobil Rendra menyuruh Arania membawa beberapa paperbag untuk sekedar berpura-pura. Sebenarnya Rendra tak tega menyuruh istri mungilnya membawa paperbag. Karena dia sendiri mampu membawa semuanya. Namun lagi-lagi karena ingin hubungan mereka tak ketahuan, kini mereka kembali bersandiwara menjadi pelayan dan majikan.
"Loh, kok kalian pulangnya bisa barengan, neng?" Tanya bik Erna saat Arania masuk terlebih dulu ke dalam rumah. Bik Erna nampaknya melihat Arania turun dari mobil sang majikan.
"Tadi aku lagi jalan di persimpangan, aku bertemu tuan, kemudian tuan mengajak aku naik ke dalam mobilnya dan kita pulang barengan." Ungkap Arania mulai berbohong. 'Maafkan aku ya Allah..' batinnya.
"Oh, jadi begitu. Bibi kira kalian pergi bersamaan." Ujar bik Erna yang mulai percaya pada perkataan Arania.
"Itu mana mungkin bi."
"Bagaimana urusan neng dengan saudaranya? Apakah ketemu?"
"Iya kami sudah bertemu dan menyelesaikan urusan kami."
Tak lama Rendra pun masuk ke dalam rumahnya. Terlihat istri mungilnya dan bik Erna sedang terlibat percakapan.
"Arania.. tolong bawakan belanjaan saya ke atas." Ujar Rendra seraya memberikan sebagian lagi barang bawaannya pada Arania.
"Baik tuan." Arania menerima lagi paper bag itu kemudian ia membuntuti Rendra yang sudah berjalan menuju lift yang terletak di sebelah tangga. Namun seketika Rendra berhenti dan Arania hampir saja menubruk dada bidang yang kokoh itu. Rendra berbalik badan menatap ke arah bik Erna yang masih berada di ruangan itu.
"Bik, ini sudah malam. Lekaslah beristirahat dan selesaikan pekerjaan besok." Ucap Rendra tegas. Tak heran ia memerintah sang pelayan untuk lekas beristirahat karena saat ini ia ingin bersama dengan Arania.
"Baik tuan." Ucap bik Erna patuh, kemudian segera berjalan menuju ke arah belakang.
Rendra tersenyum saat melihat bik Erna telah pergi, kemudian tatapan mata yang tadinya tajam kini berubah menjadi teduh ketika berdua bersama Arania.
"Bibi sudah pergi, sekarang biar mas saja yang membawa semua barang-barang itu."
"Aku akan membantu mas membawa ini." Ujar Arania.
"Sayang..." Rendra memohon. Arania terpaksa memberikan semua barang-barang itu pada suaminya. Setelah itu iapun hendak pergi ke kamarnya yang berada di belakang.
"Arania..." Panggil Rendra saat gadis itu telah sedikit menjauh darinya. Arania kembali berbalik badan mengarah pada suaminya dari tempatnya berdiri.
"Kamu mau kemana?" Tanya Rendra dengan muka sedikit kesal.
"Mau ke kamar, kan tadi mas bilang ini sudah malam dan harus beristirahat. Jadi aku akan kembali ke kamar belakang."
"Ck, itu kan untuk bibi bukan untuk mu." Jawab Rebdra.
"Lalu?"
"Kamu harus bersamaku sekarang."
"Ini masih jam 9, mas."
"Ck, tapi mereka sudah kusuruh untuk istirahat. Jadi kita bebas." Sahut Rendra.
Arania memasang wajah yang cemberut, itu membuat Rendra menjadi gemas pada istri imutnya ini.
"Katanya jam 11, ini bahkan masih jam 9" gerutu Arania seraya berjalan mendekati sang suami di depan lift yang pintunya telah terbuka.
Rendra tersenyum hangat, "Kata pak ustadz, membahagiakan suami berpahala loh. Apalagi membahagiakan di ranjang." Ujar Rendra seraya mengangkat sebelah alisnya. Di hati pria itu tersenyum kala berhasil menggoda istri sirinya yang kini tersipu malu dengan pipi yang merona merah.
***