Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12 - Terganggu Kenangan Lama
Meski terlihat amat menikmati makan malamnya, Tuan Minos masih menyisakan makanan di piringnya. Membuat Naina bertanya-tanya saat membersihkan meja panjang, dan suaminya itu sudah tidak ada di sana.
“Kenapa? Bukankah dia makan dengan lahap?” Naina mencengkram tepian meja, memandangi piring dengan sisa-sisa makanan di sana.
Sebelumnya di tengah-tengah aktivitas makan malam, Tuan Minos mendadak pergi begitu saja tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Tora pikir Tuannya tersebut hanya pergi sebentar, tapi sampai detik ini dia tidak kembali lagi.
“Aku rasa bukan karena dia tidak menyukai masakanmu.” Tora mencoba untuk menghibur. “Bisa saja dia sudah kenyang?”
Naina tidak butuh pujian tentang masakan yang sudah susah payah dibuatnya, tidak meminta agar makanannya disanjung-sanjung, hanya dihargai dengan cara dihabiskan itu lebih dari cukup. Dan jika menggunakan alasan suaminya sudah kenyang itu tidak mungkin.
Selama tinggal di sini, Naina sudah melihat bagaimana pria berwujud monster tersebut menghabiskan makanan. Bahkan jika itu daging busuk, makanan basi ataupun makanan yang tak mungkin bisa ditelan oleh manusia.
“Entahlah. Tapi sudah memakan makananku saja mestinya aku merasa bersyukur. Setidaknya dia mau mencicipi. Lain kali aku akan membuat makanan yang lebih lezat,” balas Naina seraya mengukir senyum tulus.
Tora mengangguk samar, mencoba memahami perasaan gadis itu. “Baiklah. Aku harap kamu tidak berkecil hati.”
Naina hanya membalas dengan anggukan singkat.
“Setelah membereskan semuanya, kamu bisa segera istirahat. Makanan yang tersisa jangan dibuang. Karena masih ada aku yang siap menampung semua makanan itu. Aku begitu menikmati makananmu, rasanya sangat luar biasa!” puji Tora sembari mengacungkan sayapnya ke depan.
Naina tertawa kecil. Merasa senang jika itu hanya upaya Tora untuk menghibur.
“Kenapa kamu tertawa? Tidak percaya aku bisa memakan semua makanan itu? Lihat besok pagi, semua makanan itu akan tandas tak bersisa,” sahut Tora begitu yakin percaya diri.
“Baiklah. Aku akan sangat senang jika besok pagi makanan itu bisa habis tak bersisa.” Naina angguk-angguk percaya.
Kemudian sambil menenteng beberapa piring kotor menggunakan nampan, Naina hendak berderap pergi meninggalkan ruang tengah. “Kalau begitu, selamat malam!”
“Selamat malam, Naina,” balas Tora, menunggu sampai punggung gadis tersebut menghilang dari pandangan.
Setelahnya barulah Tora terbang melesat ke ruangan Tuan Minos. Ingin bertanya apa hal yang membuatnya mendadak pergi di tengah-tengah aktivitas makan malam yang masih berlangsung, padahal sebelumnya Tuannya itu pantang mundur sebelum makanan yang ada di meja habis.
“Tuan, Ada apa?” Tora langsung melontarkan pertanyaan setelah melihat Tuan Minos terduduk lesu di pojok ruangan, kepalanya tertunduk muram.
Dalam pencahayaan remang-remang, Tora masih bisa melihat jelas terangnya mata biru milik Tuan Minos. Kini mata indah itu menunjukkan tatapan sendu, beberapa bulir tertahan dan menggenang di sana.
“Tuan?” Tora semakin mendekat, kepalanya meliuk-liuk, semakin tenggelam ke dalam sorot mata Tuannya tersebut.
“A-aku merasa hidup kembali.” Akhirnya Tuan Minos berbicara, tapi suaranya terdengar parau tertahan.
Kedua tangannya diangkat, ia pandangi lamat-lamat. Dalam penglihatannya apa yang dipandangi menampilkan kenangan yang amat lampau, Tuan Minos seperti kembali ke masa lalu, mengenangnya dengan berusaha untuk tidak menangis.
“Rasa masakan itu...” Perkataannya menggantung, Tuan Minos mengusapkan kedua tangannya ke wajah, cairan lengket ia rasakan pada kedua telapak tangan. “... Membawaku pada ingatan lama.”
Tora langsung paham kemana arah pembicaraan tersebut. Sedikit banyaknya pasti Tuan Minos merasa rindu dengan kenangan itu.
“Kenapa gadis itu bisa membuat makanan dengan rasa yang mirip dengan makanan dari seseorang yang berusaha tak ingin kukenang?” Tuan Minos mengusap kasar wajahnya, membuat rongga yang menganga mengucurkan darah, melintasi lehernya yang kehitaman.
“Mirip. Tidak ada yang berbeda sama sekali. Aku benar-benar tidak mengerti. Dan ini sangat menyiksaku!” Kini giliran rambut putihnya yang ia acak-acak, membuat sebagian tercabut dari kulit kepala.
“Tuan, perasaan dari kenangan yang muncul jangan ditahan dan jangan pernah dilawan. Cukup biarkan mengalir saja.” Tora sebisa mungkin memberi saran yang entah akan berefek atau tidak.
Tuan Minos mengangguk. “Kau benar, Tora. Semakin dilawan, ini semakin membuatku gila. Di sisi lain aku membenci ini semua, tapi di sisi lain juga aku merasa terobati karena sadar semua kenangan itu tak pernah bisa terulang. Aku bingung, benar-benar bingung harus bagaimana.”
Dengan ragu, Tora bertanya, “Apa Tuan sekarang sudah yakin bahwa Naina menjadi petunjuk atas jawaban yang selama ini Tuan cari?”
Biasanya Tuan Minos akan mengelak dan menolak mentah-mentah, tapi kali ini kepalanya mengangguk mantap. Dalam tatapannya tidak ada keraguan yang hinggap.
“Aku semakin ingin mencari cara untuk membuatnya berada dalam situasi yang bisa menghasilkan jawaban dari rasa penasaran ini. Dan rencanaku hanya ingin membebaskannya berkeliaran di luar tapi dengan tujuan dan perintah dariku, lalu menekannya dengan cara apapun untuk melihat sejauh mana dia akan bertahan,” balas Tuan Minos setelah berpikir cukup lama.
“Baik, Tuan. Apapun itu aku akan mendukungmu selalu.” Tora memelankan suaranya untuk melanjutkan ucapan, “... Meskipun mungkin jika harus membuat gadis itu terluka.”
Ada perasaan tidak rela yang dirasakan Tora, rasanya tidak sanggup jika gadis se-baik dan se-patuh Naina harus diperlakukan seperti itu. Padahal sebelumnya Tora tidak pernah merasa kasihan pada wanita manapun yang pernah menyandang status sebagai istri dari Tuannya, tapi anehnya dengan Naina berbeda.
Melihat Tuan Minos beringsut dari duduknya, Tora terbang ke belakang. Melihat apa yang akan dilakukan Tuannya.
“Mau kemana, Tuan?” Tora bertanya karena Tuannya itu berjalan keluar ruangan.
Menaikan tudungnya, Tuan Minos menjawab sebelum tubuhnya melintasi bingkai pintu, “Ingin merasa hidup kembali.”
Tora akhirnya membuntuti Tuan Minos, menontonnya dari jauh saat pria itu berhenti di meja panjang ruangan utama. Matanya menyipit saat mengamati betapa beringasnya Tuan Minos melahap semua makanan yang tersisa di meja panjang tersebut.
Cara makannya brutal, tidak lagi memakai sendok atau pun garpu. Semua makanan ia ambil menggunakan tangan, memasukkannya ke dalam mulut meskipun masih penuh. Mengunyahnya hingga berceceran ke mana-mana. Meja panjang itu bergetar, membuat piring-piring dan benda lainnya berkelontangan.
Dan belum ada lima menit, semua makanan di sana benar-benar tandas tak bersisa. Tora yang menonton dari pegangan tangga seketika langsung melotot, paruhnya terbuka lebar, terkejut bukan main.
Tuan Minos mengusap mulutnya yang belepotan menggunakan punggung tangan, pandangannya langsung mendarat pada gagak yang bertengger di pegangan tangga.
“Beritahu gadis itu untuk membuat makanan lebih banyak lagi. Harus ada ikan dan tetap dimasak seperti ini setiap hari!” titah Tuan Minos dengan dada yang kembang kempis.
Tora mengangguk semangat. “Baik, Tuanku.”
“... Pada akhirnya makanan itu benar-benar habis. Tapi yang akan diketahui Naina itu adalah ulahku. Aku jadi penasaran bagaimana reaksi Naina saat tahu suaminya begitu menikmati makanan dengan cara seperti ini,” kekeh Tora dalam hati.
***