Meski sudah menikah, Liam Arkand Damien menolak untuk melihat wajah istrinya karena takut jatuh cinta. Pernikahan mereka tidak lebih dari sekedar formalitas di hadapan Publik.
Trauma dari masa lalu nya lah yang membuatnya sangat dingin terhadap wanita bahkan pada istrinya sendiri. Alina Zafirah Al-Mu'tasim, wanita bercadar yang shalihah, menjadi korban dari sikap arogan suaminya yang tak pernah ia pahami.
Ikuti kisah mereka dalam membangun rasa dan cinta di balik cadar Alina🥀
💠Follow fb-ig @pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mempertahankan
Pukul 06:20
Alina keluar dari kamar dengan langkah tenang, gamis muslimah longgar berwarna beige yang ia kenakan terbalut sempurna di tubuhnya. Hijab dan cadar berwarna kunyit menutupi wajahnya, hanya menyisakan sepasang mata yang tegas.
Suaminya yang arogan, di malam pertama memintanya untuk tidak membuka cadar di hadapannya, permintaan yang tidak lazim bagi seorang suami.
Alina tahu bahwa dalam syariat, seorang suami dan istri berhak menikmati keindahan pasangannya. Namun, sikap dingin dan acuh Liam, yang seakan membatasi dirinya dari hubungan batin mereka, membuat Alina memilih menahan diri.
Ia tak akan menunjukkan wajahnya di hadapan Liam hingga pria itu benar-benar menerima dirinya sebagai istri, bukan sekadar bagian dari permainan citra atau status.
Jika suatu hari, Liam memutuskan untuk menceraikannya setelah tujuan pernikahan ini tercapai, Alina siap. Meski pahit, ia sudah menyiapkan hati untuk menghadapi kemungkinan itu. Setidaknya, kehormatan dan harga dirinya tetap terjaga, tidak tersentuh oleh sikap Liam yang menyakitkan.
Rasanya berat memikirkan semua ini, ada kesedihan yang menghantui tiap langkahnya. Namun, Alina meneguhkan diri. Ini semua dia lakukan demi kebahagiaan keluarganya, terutama ayahnya yang sudah tua dan memiliki riwayat jantung. Alina tak ingin menambah beban pikiran ayahnya dengan cerita tentang kesedihan dan sakit hatinya. Semua ia pendam dalam diam, karena demi ayahnya, Alina rela berkorban.
Setiap keputusan yang ia ambil, setiap kesabaran yang ia jalani, hanya untuk menjaga hati orang tuanya. Dan meski kesepian dalam pernikahan ini begitu menusuk, Alina akan tetap bertahan, menjalani harinya dengan keteguhan yang selalu ia simpan di balik hijab dan cadarnya.
Wanita itu melangkah menuju dapur, dinding-dinding rumah yang sunyi memperjelas setiap suara gerakannya.
Di dapur, ia membuka lemari dan mulai menyiapkan bahan-bahan untuk sarapan. Roti, telur, dan sayuran segar ia olah dengan tangan terampil, hasil didikan orang tuanya sejak kecil. Di sebelahnya, air mendidih dalam panci kecil, siap untuk teh hangat.
Setelah sarapan siap, Alina menuangkan teh hijau ke dalam cangkir porselen. Uap hangat menguar, menyebarkan aroma menenangkan, memberi secercah kehangatan di pagi yang sepi. Ia pun lantas membawa sarapan itu ke meja makan.
Sarapan untuk dirinya dan Liam tersusun rapi di atas meja, meskipun hatinya masih terluka oleh sikap dan kata kata suaminya, Alina tetap menjalankan tugasnya sebagai istri, tanpa pernah mengabaikan tanggung jawabnya.
Tanpa menunggu suaminya yang mungkin masih terlelap, Alina duduk dan mulai menyantap sarapan. Gigitannya pada roti panggang hangat terasa sederhana, ditemani teh hijau yang pelan-pelan menghilangkan keletihan di dalam hatinya.
Ia lalu meraih ponsel,
Alina menekan tombol panggil pada ponselnya, menghubungi ayahnya yang selalu menjadi sandaran hatinya. Ia menunggu beberapa saat, hingga terdengar suara serak namun penuh kehangatan dari ujung telepon.
"Halo, Assalamualaikum, Nak, apa kabar?" sapa ayahnya, sharanya pelan dan swdikit bergetar, mengisyaratkan kondisi kesehatannya.
"Waalaikumsalam, Yah," Alina menjawab lembut.
"Alhamdulillah, Alina baik-baik saja. Ayah sendiri bagaimana? Apa sudah minum obat pagi ini?"
Hening sejenak, kemudian ayahnya terbatuk pelan sebelum menjawab,
"Sudah, Alina. Jangan khawatir. Ayah baik-baik saja, meskipun akhir-akhir ini sedikit sering merasa lelah."
Kening Alina berkerut di balik cadarnya, ia tahu ayahnya selalu berusaha tampak kuat di depannya.
"Ayah harus lebih banyak istirahat. Jangan terlalu memaksakan diri, ya. Kalau ada apa-apa, segera bilang ke aku."
Ayahnya, Pak Hamza tertawa keci.,
"Kamu ini selalu khawatir. Ayah baik-baik saja, Nak. Justru Ayah yang khawatir denganmu. Bagaimana keadaanmu? Apakah Liam memperlakukanmu dengan baik?"
Mendengar pertanyaan itu, Alina terdiam sejenak, dia menghela napas berat. Htinya terasa terjepit, namun ia berusaha menutupinya dengan senyum tipis meski tak terlihat di balik cadar.
"Alhamdulillah, Yah. Semua baik-baik saja di sini," jawabnya, berusaha terdengar setenang mungkin.
Di sebrang wajah Pak Hamza tampak ragu, ia lalu bertanya lagi,
"Kamu yakin, Nak? Ingat, kamu bisa ceritakan apa saja pada Ayah. Jangan biarkan dirimu menanggung semua sendirian."
Alina menghela napas dalam-dalam, hatinya terasa berat. Namun, ia tak ingin ayahnya khawatir lebih dari yang sudah dirasakannya.
"In sya Allah Alina bahagia di sini, Yah, Terima kasih, Yah,"
Alina tersenyum kecil, meskipun air matanya menggenang di sudut matanya.
"Doakan Alina selalu sabar, ya, Yah"
"Ayah selalu mendoakanmu, Nak. Setiap hari, setiap malam."
Alina memeluk ponselnya ke dada, merasakan betapa berartinya kehadiran ayahnya. Hanya ayahnya yang tersisa, satu-satunya tempat ia bisa bersandar sejak kepergian sang ibu. Di balik hijab dan cadarnya, mata Alina mulai berkaca-kaca, tapi ia segera menguatkan diri.
Setelah sambungan telepon terputus, Alina menaruh ponselnya di atas meja, lalu dengan tenang melanjutkan sarapannya.
Namun, kedatangan Liam tiba tiba mengejutkannya. Pria itu muncul dan langsung duduk di depannya dengan piyama kusut dan rambut yang masih berantakan. Matanya yang sayu mengerjap nampak sekali di baru bangun dan langsung beranjak turun.
“Menelpon siapa?” tanya Liam tanpa basa-basi, suaranya berat dan kaku, khas bangun tidur.
“Ayahku,” jawab Alina singkat, tetap menjaga ketenangan.
“Apa yang kalian bicarakan? Mengadu tentang sikapku, ya?” Liam melontarkan pertanyaan sinis sambil meraih roti panggang di depannya.
“Ya, aku bilang pada ayahku bahwa kau pria arogan dan keras kepala.” jawab Alina, tegas.
Liam yang hendak mengigit roti itu mendadak menghentikan gerakannya, dia mendongak dan menatap Alina, seringai sinis muncul dari sudut bibirnya.
"Ahh.. Kau tahu aku memang seperti itu, tapi, kau tidak akan pernah mengadukan itu pada siapapun juga, kau sudah menandatangi perjanjian itu bukan? Apapun yang terjadi dalam rumah tangga kita tidak ada seorangpun yang boleh tahu, sampai aku menceraikanmu setelah skandal yang menimpaku berakhir!"
Alina diam tak merespon ucapan suaminya, dia mengangkat cangkir dengan kedua tangannya, meneguk teh berusaha menyembunyikan matanya yang berkaca kaca.
"Kau tenang saja Alina, aku pastikan kau tidak akan di rugikan dengan kerja sama ini. Ya, anggap saja ini bukan pernikahan tapi bisnis." sambung Liam, dia lalu mulai mengigit sarapannya, bersamaan dengan Alina menaruh kembali cangkirnya di atas meja.
Hening sejenak, Liam mengambil cangkir teh dan meneguknya. Tatapanya kembali pada Alina yang diam menunduk mengusap jarinya di bibir cangkir.
"Setidaknya kau tidak akan kehilangan keperawananmu setelah kita bercerai!"
Deg. Gerakan jari Alina terhenti, menatap suaminya dengan tegar, jantungnya berdebar cepat, siap mendengar kalimat yang akan membuat hatinya sakit lagi.
"tapi kau akan tetap mendapat harta bagian dari janji yang sudah kita sepakati bersama. Aku harap kau tidak lupa itu dan jangan pernah mencoba menghianatiku, ingatlah aku bisa dengan mudah menghancurkan hidup seseorang!" ancam Liam.
Alina sejenak memejamkan mata lalu menatap cangkir teh di depannya dengan perasaan yang hancur.
Bagaimana mungkin ia tetap setia pada janji yang ia buat pada dirinya sendiri, untuk hanya menikah sekali seumur hidup, jika perpisahan itu telah lama menjadi rencana suaminya? Bagaimana mungkin ia mempertahankan sesuatu yang sejak awal sudah ingin dihancurkan oleh Liam?
Namun jika memang itu takdirnya, Alina berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap tegar. Bukan karena cinta, karena ia tahu, mungkin Liam tak akan pernah memberi ruang bagi cinta itu untuk tumbuh.
Tapi bagi Alina, pernikahan adalah ibadah, ikatan sakral yang melampaui perasaan. Setiap langkah kecilnya, bahkan sekedar membuatkan teh untuk Liam, semuanya bernilai di hadapan-Nya, sebuah ibadah terpanjang yang Alina dambakan membawanya ke pintu surga.
Namun jika akhirnya pernikahan ini harus berakhir, maka Alina akan menerima dengan hati terbuka, Tapi selama belum ada kata talak yang terucap, ia akan tetap bertahan.
Bukan untuk Liam, melainkan untuk janjinya pada Allah, mengabdi kepada suami. Dan jika itu masih tak cukup, ia harus siap menghadapi kehancuran ini dengan kesabaran yang lebih besar.
"Semua manusia bisa berencana tapi takdirlah yang akan memutuskan." ucap Alina, dia bangkit dari kursi setelah bergolakan batinya.
Liam hanya tersenyum sinis mendengar kata kata Alina, seakan menyiratkan ketidakperduliannya pada takdir. Namun diam diam Ia memperhatikan punggung istrinya hingga menghilang di balik ruangan.
Seketika ekpresi wajahnya berubah, ia menghela napas berat sambil menyadarkan punggungnya di sandaran kursi, seolah tengah melepas beban berat yang memaksanya untuk bersikap seperti itu.
Bagaimana bisa ku tahan ikatan suci?
Jika dari awal kau telah merencanakan luka?
Aku bertahan, bukan karena harap
Pada hati yang tak pernah kau beri tempat.
Bukan cinta yang menjadi alasanku,
Tapi ikatan suci yang kulihat begitu jauh.
Setiap langkahku, tak kau hiraukan,
Namun tetap kugenggam, meski perlahan remuk di tangan.
Aku tak pernah diminta untuk mencintaimu,
Dan mungkin tak pernah kau inginkan cintaku.
Tapi pernikahan ini bukan hanya tentang kita,
Ada yang lebih besar dari rasa, yang tak kau jaga.
Jika akhirnya kau ingin pergi,
Aku akan merelakanmu dalam sunyi.
Namun selama tak ada kata talak,
Aku akan tetap di sini, meski hatiku retak.
Dalam diamku, aku berdoa,
Bukan hanya untuk kita, tapi untuk jalan-Nya.
Karena pada akhirnya, jika kau tak kembali,
Hanya Tuhan yang akan tetap di sisi.
~Alina Zafirah Al- Mu'tasim~
...[•••••]...
...Bersambung.......
ayo la firaun, ad yg halal gk usah lgi mikiri msa lalu yg gitu2 az. mncoba mengenal alina psti sangt menyenangkn krna dy wanita yg cerdas. semakin k sini alina akn mnunjukn sikp humoris ny dn liam akn mnunjukkn sikap lembut walau pn msih datar.
haaa, liam dengar tu ap kta raka. smga raka, kau memg sahabt yg tulus y raka. cuci trus otak liam biar dia meroboh degn sendiriny benteng tinggi yg ud dy bangun.
doble up kk😄
gitu dong alina, gk usah sikit2 nangis