Tiga tahun lalu, Agnia dan Langit nyaris menikah. Namun karena kecelakaan lalu lintas, selain Agnia berakhir amnesia, Langit juga divonis lumpuh dan mengalami kerusakan fatal di wajah kanannya. Itu kenapa, Agnia tak sudi bersanding dengan Langit. Meski tanpa diketahui siapa pun, penolakan yang terus Agnia lakukan justru membuat Langit mengalami gangguan mental parah. Langit kesulitan mengontrol emosi sekaligus kecemburuannya.
Demi menghindari pernikahan dengan Langit, Agnia sengaja menyuruh Dita—anak dari pembantunya yang tengah terlilit biaya pengobatan sang ibu, menggantikannya. Padahal sebenarnya Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa karena desakan keluarga yang meragukan ketulusan Agnia.
Ketika Langit mengetahui penyamaran Dita, KDRT dan talak menjadi hal yang kerap Langit lakukan. Sejak itu juga, cinta sekaligus benci mengungkung Dita dan Langit dalam hubungan toxic. Namun apa pun yang terjadi, Dita terus berusaha bertahan menyembuhkan luka mental suaminya dengan tulus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh
Kehamilan Dita cukup menjadi angin segar untuk Langit sekeluarga. Karena semenjak mengetahui kehamilan Dita, hidup Langit jadi lebih tertata. Langit sudah memiliki jadwal tidur teratur, selain Langit yang jadi makin menyayangi Dita.
Akan tetapi, kata cerai masih menjadi yang akan keluar dari bibir Langit, di setiap pria itu cemburu kepada Dita. Baik karena ketika Dita hanya tak terlihat dan tak terjangkau pandangannya. Atau malah ketika Dita sedang bersama laki-laki lain, bahkan itu saudara Langit sendiri.
Jika ada penghargaan istri tersabar, keluarga Langit sepakat Dita layak mendapatkannya. Dita bahkan masih bisa mengajak Langit bercanda, meski sebelumnya, Langit baru saja teriak-teriak memarahinya. Hanya saja, seperti biasa, Langit akan langsung sibuk meminta maaf. Tak jarang, sambil bersimpuh, tangis penyesalan menyertai permintaan maaf Langit kepada Dita.
“Nanti kita mampir ke toko buah sekalian beli makan buat ibu dan adik-adik kamu,” ucap Langit.
Hari ini, Langit sengaja mengajak Dita mengunjungi keluarga istrinya itu. Andai tidak ada halangan, rencananya, weekend ini mereka akan menginap di kontrakan ibunya Dita.
Setelah biasanya menjadi asisten bahkan nyawa untuk Langit. Karena Dita juga membantu suaminya mengurus pekerjaan kantor, kini giliran Langit yang akan mengenal dekat keluarga Dita.
Dita sangat menghargai setiap perubahan emosi sang suami. Bukan hanya ketika suaminya menyikapinya dengan manis. Namun juga ketika Langit sedang emosi. Sebab Dita akan selalu belajar dari apa yang sudah terjadi, termasuk hal-hal yang sangat melukainya.
“Mas, menurut Mas. Aku perlu dandan, enggak?” tanya Dita sengaja menggoda suaminya.
Kemanjaan Dita sekaligus ketergantungannya kepada Langit, menjadi salah satu alasan Langit makin fokus memperhatikan Dita. Karena kedua kenyataan tersebut membuat Langit merasa berguna bahkan dihargai oleh Dita.
“Enggak dandan pun, kamu sudah cantik banget!” jawab Langit sengaja mendekati Dita kemudian buru-buru merapikan alat make up sang istri yang memenuhi meja rias kamarnya. Ia tak mengizinkan Dita merias wajah jika mereka akan pergi keluar rumah.
“Istri itu cerminan suami. Makin istrinya cantik dan bahagia, makin berhasil juga suaminya!” ucap Dita.
“Jadi, kamu enggak percaya kalau tanpa rias pun, kamu tetap cantik?” balas Langit.
“Andai aku tambah cantik, Mas juga yang senang, kan? Apalagi, aku pakai cadar. Sementara yang buka cadarku hanya Mas!” ucap Dita yang kemudian mendekap manja tubuh sang suami dari samping kiri. Kemudian, ia meraih lipstik merahnya dari meja, dan siap memoleskannya ke bibir Langit.
“Buat apa?” panik Langit.
“Ya biar pas Mas nyegel wajahku, bekasnya lebih kentara. Bisa buat jadi tanda, oh itu suaminya rutin nyegel! Bahagianya, suaminya paham gimana bahagiain istri!” ucap Dita.
“Iya kalau mereka mikir gitu. Kalau yang ada, aku dikira mau mangkal, gimana?” sewot Langit yang langsung membuat Dita tertawa.
Langit berangsur mengambil lipstiknya dari tangan kanan Dita. Ia memakaikan lipstik itu dengan hati-hati. Sementara Dita kembali memeluknya erat menggunakan kedua tangan. Dita masih memperlakukan Langit penuh kemanjaan.
Setelah menjalani pengobatan ke tiga, obat yang Langit konsumsi dari sang dokter memang jauh lebih bereaksi. Namun, Langit tetap belum bisa mengontrol emosi karena kecemburuannya. Selebihnya, semuanya sungguh baik-baik saja. Asal Langit tidak cemburu, Dita dan Langit layaknya pasangan saling cinta pada kebanyakan. Layaknya kini, Langit tak segan mengecup-ngecup gemas bibir sang istri yang sebelumnya baru saja ia poles lipstik merah, hingga bibir berisi itu tampak makin seksi.
“Ya sudah, ayo kita berangkat!” sergah Langit bersemangat. Saking semangatnya, ia lupa. Bahwa kesibukannya mengecup-ngecup bibir Dita, membuat bibirnya juga turut dihiasi lipstik. Barulah setelah telunjuk tangan kanan Dita mengelus bibir Langit, pria itu ingat.
“Banyak, ya? Enggak apa-apa, enggak usah dihapus. Biar orang-orang tahu, istriku paham, dan memang pintar membahagiakan aku!” ucap Langit benar-benar manis. Saking manisnya, wajah sang istri yang belum tertutup cadar dan ada di hadapannya, jadi bersemu.
Sekitar satu jam setengah kemudian, Dita dan Langit sudah memasuki gang sempit yang menjadi jalan menuju kontrakan keluarga Dita. Sampai sana, keduanya langsung disambut oleh seorang pria paruh baya berpenampilan rapi. Pria tersebut langsung membantu mereka memboyong barang bawaan. Koper yang awalnya Langit seret, pria itu ambil berikut dua kantong besar yang Dita bawa. Langit jadi menggandeng Dita dengan leluasa, tak lama setelah koper yang ia bawa, diambil alih.
Ibu Darsem yang sedang istirahat sambil berbaring, langsung kikuk dan tak berani menyapa Dita apalagi Langit.
“Bu, ... ini Mas Langit, suami aku. Maaf baru datang karena Mas Langit juga sedang sakit,” ucap Dita sambil menyalami tangan kanan sang mama dengan takzim.
“Tampangnya khas orang yang merasa sangat berdosa. Semoga kalau dia memang enggak bisa baik ke Dita, biar dia mati saja karena penyakitnya?” batin Langit sambil ikut menyalami tangan kanan kanan ibu Darsem. “Sehat, Bu? Katanya kemarin baru kontrol?”
Ibu Darsem mengangguk-angguk canggung. Kepada Langit yang ia ketahui sangat kaya, mau tak mau ibu Darsem menjawab. Selain itu, sebelumnya ibu Darsem mengenal Langit sebagai kekasih Agnia. Meski sekarang sekarang, Langit justru telah jadi menantunya.
“Sampai sekarang aku masih sulit percaya. Bahwa pria kaya raya seperti mas Langit, justru suami Dita,” batin ibu Darsem yang meski masih diam, tetap aktif memperhatikan interaksi sang putri dengan Langit.
Untuk sekadar berbicara, Langit dan Dita melakukannya dengan berbisik-bisik. Sementara dari cara keduanya berkomunikasi, ibu Darsem tak menemukan tanda-tanda Langit terpaksa kepada Dita.
“Ibu mau aku siapkan makan? Tadi aku beli bebek sama daging sapi kukus. Dokter bilang, HB Ibu rendah dan Ibu wajib konsumsi daging merah,” ucap Dita yang jadi sedih.
Alasan Dita sedih bukan karena sakitnya sang ibu. Melainkan karena sang ibu ia pergoki diam-diam mengawasi interaksinya dan Langit. “Bukannya bahagia, kok Ibu Biasa saja, ya? Kalau aku tanya pun, Ibu tetap enggak jawab. Hanya ke Mas Langit saja Ibu mau jawab.
Siang menjelang sore, Mita pulang sekolah. Ia pulang lebih dulu ketimbang sang adik. Sebab ia tak sampai ikut acara pramuka layaknya sang adik. Awalnya Mita malas-malasan bahkan itu untuk sekadar melangkah ke kontrakan. Namun setelah melihat ada dua pasang sepatu, satu sepatu perempuan dan satu sepatu laki-laki ada di teras depan pintu kontrakan, kedua mata Mita langsung melotot.
“Itu sandal mahal, itu! Jangan-jangan mbak Dita dan suami kayanya, datang!” pikir Mita langsung semangat memastikan.
Mita buru-buru melepas sepatu kemudian kaus kaki panjang warna hitamnya. Pak Fajar dan merupakan pria paruh baya yang ditugasi bantu-bantu di sana oleh orang tua suami Dita, langsung menyambutnya.
“Pak Fajar, si mbak Dita sama suaminya, datang?!” sergah Mita sangat penasaran.
“Iya, Mbak Mita. Namun tolong jaga sikap Mbak jika di depan Mas Langit!” sergah pak Fajar tetap santun, meski kenyataan Mita yang ugal-ugalan, membuatnya kurang nyaman.
“Mas? Masa dipanggil Mas? Mbak Dita nikahnya sama kakek-kakek, kan? Lagian masa ada orang kaya, selain kakek-kakek yang mau sama mbak Dita?” pikir Mita.
Mita yang awalnya melangkah buru-buru karena tak sabar, reflek berhenti melangkah hanya karena ia melihat Langit. Pria sangat tampak itu baru keluar dari kamar ibu Darsem. Hanya diam saja dan berdiri di depan pintu kamar, di mata Mita, Langit sangat tampan.
“Dia yang di diskotik itu, kan? Dia bela-belain ke sini, cuma buat ketemu aku?!” batin Mita kegirangan.
(Assalamualaikum. Bab dua puluh dan artinya, retensinya dihitung ya ❤️. mohon dukungannya, cukup baca runtut saja, jangan lompat-lompat ya ❤️)