Liu Wei, sang kultivator bayangan, bangkit dari abu klannya yang dibantai dengan Pedang Penyerap Jiwa di tangannya. Dibimbing oleh dendam dan ambisi akan kekuatan absolut, dia mengarungi dunia kultivasi yang kejam untuk mengungkap konspirasi di balik pembantaian keluarganya. Teknik-teknik terlarang yang dia kuasai memberinya kekuatan tak terbayangkan, namun dengan harga kemanusiaannya sendiri. Di tengah pertarungan antara takdir dan ambisi, Liu Wei harus memilih: apakah membalas dendam dan mencapai keabadian lebih penting daripada mempertahankan sisa-sisa jiwa manusianya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pralam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertarungan di Kuil Seribu Kabut
Kabut tebal menyelimuti lereng Gunung Hua Wu, membuat bahkan kultivator tingkat tinggi sulit membedakan antara langit dan tanah. Di tengah kabut itu, Liu Wei bergerak seperti bayangan, Pedang Penyerap Jiwa yang kini dibungkus kain hitam terikat erat di punggungnya.
"Kau yakin tempat ini aman?" dia berbisik pada Guru Feng yang berjalan di sampingnya.
"Kuil Seribu Kabut telah menjadi tempat netral selama ribuan tahun," Guru Feng menjawab, suaranya hampir tak terdengar di tengah kabut tebal. "Bahkan Sekte Awan Hitam menghormati kesuciannya."
Liu Wei tidak sepenuhnya yakin. Setelah apa yang dia lihat dalam visi tentang masa lalu, dia tahu betapa liciknya Sekte Awan Hitam bisa menjadi.
Mendadak, Guru Feng berhenti. Di hadapan mereka, sebuah gerbang batu kuno muncul dari kabut. Ukiran-ukiran rumit menghiasi permukaannya, menggambarkan pertarungan antara makhluk-makhluk mitologis.
"Kita sudah dekat," Guru Feng bergumam. "Wei'er, apapun yang terjadi di dalam, ingat - jangan biarkan Pedang Penyerap Jiwa lepas dari genggamanmu."
Liu Wei mengangguk, tangannya secara refleks bergerak ke gagang pedang yang tersembunyi. Getarannya, meski tertutup kain, masih bisa dia rasakan - seolah pedang itu gelisah, atau... takut?
Mereka melangkah melewati gerbang. Kabut di dalam area kuil lebih tipis, memungkinkan Liu Wei melihat bangunan-bangunan kuno yang tersebar di area tersebut. Di tengah kompleks, sebuah pagoda sembilan tingkat menjulang tinggi, puncaknya menghilang dalam kabut.
"Guru Feng," sebuah suara mengejutkan mereka.
Seorang biksu tua dengan kepala botak mengkilap muncul seolah dari udara kosong. Liu Wei segera memasang posisi siaga, tapi Guru Feng mengangkat tangannya.
"Biksu Hui Chen," dia membungkuk hormat. "Sudah lama."
Biksu itu tersenyum, matanya yang sipit nyaris menghilang. "Lima puluh tahun, kalau tidak salah. Dan ini pasti..." dia menatap Liu Wei, "putra Mei Xue?"
Liu Wei membungkuk canggung. Ada sesuatu dalam tatapan biksu ini yang membuatnya tidak nyaman - seolah dia bisa melihat menembus segala topeng dan pertahanan.
"Kami membutuhkan bantuanmu, Hui Chen," Guru Feng berkata langsung. "Tentang..."
Sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, suara ledakan dahsyat mengguncang seluruh kompleks kuil. Kabut di sekitar mereka berputar liar, dan Liu Wei bisa merasakan hawa membunuh yang kuat mendekat.
"Mereka di sini," Biksu Hui Chen berkata tenang, seolah hanya membicarakan cuaca. "Lebih cepat dari yang kuperkirakan."
Dari segala arah, sosok-sosok berjubah putih muncul dari kabut. Para tetua Sekte Awan Hitam - paling tidak sepuluh orang, Liu Wei menghitung cepat.
"Pengkhianat!" salah satu dari mereka menunjuk Liu Wei. "Serahkan Pedang Penyerap Jiwa dan kami akan memberimu kematian yang cepat!"
Liu Wei menarik pedangnya, membiarkan kain pembungkusnya jatuh. Cahaya ungu gelap dari retakan pedang itu menyinari kabut di sekitar mereka.
"Wei'er," Guru Feng berbisik, "ingat apa yang kuajarkan. Pedang itu bukan sekedar senjata..."
"...dia adalah perpanjangan dari jiwaku sendiri," Liu Wei menyelesaikan kalimatnya.
Dan dengan itu, pertarungan dimulai.
Dua tetua menyerang bersamaan, pedang qi mereka membelah udara dengan kecepatan yang bahkan sulit diikuti mata biasa. Tapi Liu Wei telah siap. Dengan Teknik Bayangan Sejati yang telah dia pelajari, dia melebur dengan bayangan sendiri, membuat serangan mereka menembus udara kosong.
"Mustahil!" salah satu tetua berseru. "Teknik itu telah hilang sejak Era Kaisar Bayangan!"
Liu Wei muncul di belakang mereka, Pedang Penyerap Jiwa terayun dalam gerakan mematikan. Tapi alih-alih menebas, pedang itu... menyerap bayangan kedua tetua itu sendiri.
Teriakan kesakitan memenuhi udara saat kedua tetua itu jatuh berlutut, energi spiritual mereka tersedot ke dalam pedang.
Sementara itu, Guru Feng dan Biksu Hui Chen menghadapi tetua lainnya. Guru Feng bergerak dengan keanggunan yang mematikan, setiap gerakannya efisien dan mematikan. Biksu Hui Chen, di sisi lain, hanya berdiri diam, tapi setiap tetua yang mencoba menyerangnya seolah terhalang oleh dinding tak terlihat.
"Mantra Seribu Buddha," Liu Wei mendengar salah satu tetua berbisik ketakutan. "Dia... dia adalah..."
"Ya," Biksu Hui Chen tersenyum, membuka matanya sepenuhnya untuk pertama kali. Dan Liu Wei terkesiap saat melihat bahwa mata itu... sepenuhnya putih. "Aku adalah Yang Terakhir dari Para Penjaga."
Mendadak, udara di sekitar mereka menjadi berat. Liu Wei merasakan tekanan spiritual yang luar biasa, membuatnya hampir berlutut.
"Wei'er!" Guru Feng berteriak. "Pedangnya!"
Liu Wei melihat ke Pedang Penyerap Jiwa di tangannya. Retakan di permukaannya kini bersinar semakin terang, dan dia bisa merasakan... sesuatu mencoba keluar.
"Sudah dimulai," Biksu Hui Chen berkata tenang. "Keputusan harus dibuat, Anak Muda. Sekarang."
Liu Wei tidak mengerti, tapi instingnya mengatakan apa yang harus dia lakukan. Dengan satu gerakan cepat, dia menggores telapak tangannya dengan ujung pedang, membiarkan darahnya mengalir ke permukaan yang retak.
Seketika, dunia di sekitarnya membeku. Kabut, para tetua, bahkan Guru Feng dan Biksu Hui Chen - semuanya berhenti bergerak.
Dan dalam keheningan itu, Liu Wei mendengar sebuah suara - suara yang dia kenali dari visinya.
"Akhirnya," suara Kaisar Bayangan bergema dalam kepalanya. "Kau siap."
Pedang Penyerap Jiwa bersinar semakin terang, retakan di permukaannya perlahan menutup. Dan Liu Wei merasakan arus informasi membanjiri pikirannya - rahasia-rahasia kultivasi yang telah hilang selama berabad-abad.
Karena pada akhirnya, Pedang Penyerap Jiwa bukanlah sekedar senjata.
Dia adalah kunci menuju takdir yang telah menunggu selama lima ratus tahun.