NovelToon NovelToon
Sebatas Istri Bayangan

Sebatas Istri Bayangan

Status: tamat
Genre:Tamat / Mengubah Takdir / Keluarga / Suami Tak Berguna / Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:11.6k
Nilai: 5
Nama Author: rose.rossie

Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.

Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13

Setelah bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang tuduhan, aku memutuskan hari ini tidak akan seperti hari-hari sebelumnya. Selama ini, Bu Ningsih, mertuaku, selalu menuduhku sebagai penyebab kenapa Dion dan aku belum memiliki anak. Setiap kali datang ke rumah, Bu Ningsih tak pernah lupa menyisipkan sindiran tentang aku yang dianggap mandul. Awalnya, aku mengabaikan semua ucapan itu, berpikir bahwa waktu akan menjawab semuanya. Namun, setelah bertahun-tahun menikah dan belum juga dikaruniai anak, tuduhan itu semakin berat untuk kutanggung.

Aku tidak pernah mendengar Dion membelaku. Ia diam, seolah-olah setuju dengan ibunya. Akhir-akhir ini, ia semakin sering terlihat murung setiap kali ibunya membahas tentang keturunan. Ada saat-saat ketika aku merasa suamiku itu ikut menyalahkanku.

Namun hari ini, aku tidak akan tinggal diam lagi. Aku bertekad untuk mencari kepastian. Jika memang aku yang bermasalah, aku akan menerima kenyataan itu. Tapi jika tidak, aku tidak akan membiarkan mertuaku terus-menerus menjadikan aku kambing hitam. Aku tidak ingin hidup dengan terus-menerus merasa bersalah atas sesuatu yang mungkin bukan salahku.

Aku duduk di ruang tunggu klinik kandungan, jantungku berdegup kencang. Meski gugup, ada rasa lega juga yang menyertai. Lega karena akhirnya aku akan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sebuah jawaban, apapun itu, lebih baik daripada ketidakpastian yang selama ini menekan dadaku. Aku ingin tahu apakah aku benar-benar mandul seperti yang selalu disindirkan oleh mertuaku atau tidak.

Perawat memanggil namaku, dan aku masuk ke dalam ruang periksa. Dokter kandunganku, dr. Retno, adalah seorang wanita yang terlihat bijaksana dengan senyum ramah di wajahnya. Setelah beberapa sesi konsultasi dan tes, akhirnya kami sampai pada momen yang paling kutunggu—momen kebenaran.

"Bu Kirana," kata dr. Retno dengan tenang setelah memeriksa hasil tes laboratorium. "Dari hasil yang saya dapatkan, saya bisa memastikan bahwa tidak ada masalah dengan kesuburan Anda."

Aku mengerjap, mencoba mencerna kata-katanya. "Jadi… saya tidak mandul, Dok?"

"Tidak," jawabnya sambil tersenyum. "Anda sehat, dan semua hasil tes menunjukkan bahwa Anda memiliki kemungkinan besar untuk bisa hamil secara alami. Mungkin perlu waktu, tetapi berdasarkan kondisi medis, Anda tidak mengalami masalah apapun."

Aku menahan napas. Perasaan lega membanjiri tubuhku, namun di saat yang sama, rasa marah juga muncul. Selama ini, aku telah diperlakukan tidak adil oleh Dion dan mertuaku. Mereka selalu menjadikanku target tuduhan tanpa pernah benar-benar mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Terima kasih, Dok," ucapku sambil menggenggam hasil tes dengan erat. Aku tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya. Aku akan membawa hasil ini pulang dan menunjukkan kepada Dion dan Bu Ningsih. Tidak ada lagi tuduhan yang bisa mereka lontarkan kepadaku.

---

Aku tiba di rumah dengan hati penuh tekad. Ketika aku membuka pintu, aku melihat Bu Ningsih sedang duduk di ruang tamu layaknya di rumah sendiri, seperti biasa, menunggu Dion pulang kerja. Wajahnya yang kaku dan selalu dingin menyambut kedatanganku. Tatapan matanya seperti biasa—menghakimi.

"Kamu dari mana saja?" tanyanya dengan nada tajam, seperti biasa.

Tanpa menjawab, aku berjalan mendekat dan meletakkan hasil tes dari dokter di atas meja. "Bu, saya baru pulang dari dokter kandungan," ucapku datar namun tegas. "Ini hasilnya. Saya tidak mandul."

Bu Ningsih memandangku dengan ekspresi terkejut. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan nada yang agak bergetar.

"Saya sudah melakukan pemeriksaan lengkap, Bu. Dokter mengatakan bahwa saya sehat dan subur. Tidak ada masalah dengan kesuburan saya. Jadi, jika selama ini kita belum memiliki anak, itu bukan karena saya."

Dia menatapku dengan sorot mata tajam, jelas tidak siap mendengar jawabanku. "Jangan bicara sembarangan, Kirana. Anak saya sehat. Jangan-jangan ini hanya caramu melempar kesalahan!"

Aku menahan napas, mencoba menenangkan diriku sebelum menjawab. "Bu, saya tidak melempar kesalahan. Saya hanya ingin memperjelas bahwa selama ini Ibu selalu menyalahkan saya, tanpa ada bukti. Sekarang saya punya buktinya bahwa saya sehat. Jika Ibu ingin terus menyalahkan seseorang, mungkin kita perlu mempertimbangkan semua aspek, bukan hanya menyudutkan saya."

Bu Ningsih terdiam, jelas terkejut dengan pernyataanku yang tegas. Dia menatap lembaran hasil tes yang ada di meja, lalu menatapku kembali dengan tatapan penuh amarah.

"Jadi, kamu sekarang menyuruh anak saya diperiksa juga?" tanyanya tajam.

"Saya hanya bilang, kita tidak bisa terus saling menyalahkan tanpa tahu kebenarannya, Bu," jawabku dengan tegas. "Jika Dion juga diperiksa, mungkin kita akan tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Bu Ningsih membanting hasil tes di meja. "Kamu berani bicara begitu padaku?! Kamu pikir kamu siapa di rumah ini? Jangan lupa, kamu belum bisa memberikan anak untuk keluarga ini. Dan sekarang kamu malah menyuruh anakku untuk diperiksa?!"

Amarah Bu Ningsih mulai memuncak, tapi kali ini aku tidak akan mundur. "Bu, saya hanya ingin kita jujur pada diri sendiri. Kita ingin punya anak, kan? Ini tentang keluarga kita, bukan hanya tentang saya."

Tiba-tiba, pintu depan terbuka, dan Dion masuk. Wajahnya terlihat lelah, tapi ekspresinya berubah ketika dia melihat suasana tegang di antara aku dan ibunya.

"Ada apa ini?" tanyanya, berjalan mendekat dengan kebingungan.

Aku menatapnya dengan tajam. "Aku baru pulang dari dokter kandungan. Ini hasil tesku. Dokter bilang aku tidak ada masalah dengan kesuburan. Aku sehat, Dion."

Dion membaca hasil tes yang ada di meja, lalu menatapku dengan ekspresi bingung. "Jadi, kamu sudah periksa?"

"Ya," jawabku tegas. "Dan sekarang, jika kita memang serius ingin punya anak, aku pikir kamu juga harus diperiksa. Kita berdua perlu tahu kondisi kita."

Dion terdiam, menatap hasil tes di tangannya. Aku bisa melihat kekecewaan dan kebingungan di matanya. Dia mungkin tidak pernah menduga bahwa aku akan mengambil langkah ini. Di sisi lain, Bu Ningsih tidak bisa menahan amarahnya.

"Kamu tidak perlu mendengarkan Kirana, Dion!" seru Bu Ningsih. "Anak laki-laki keluarga ini selalu sehat. Ini cuma akal-akalan istrimu saja untuk mengelak dari tanggung jawab!"

Dion tampak bingung di antara aku dan ibunya. "Tapi, Bu… kalau memang Kirana sudah diperiksa, mungkin… mungkin aku juga perlu periksa."

Bu Ningsih langsung meledak. "Kamu tidak perlu periksa! Kamu sehat! Jangan sampai kamu ikut termakan oleh omongan istrimu!"

Namun, sebelum Dion sempat berkata apa-apa, ponselnya berbunyi. Dion merogoh kantongnya dan mengangkat telepon, masih dengan ekspresi tertekan. Aku memperhatikan diam-diam saat wajahnya berubah ketika mendengar suara di ujung telepon.

"Ya, aku akan segera ke sana," katanya singkat, sebelum menutup telepon dan berbalik ke arah kami. "Aku harus pergi. Ada urusan penting di kantor."

Tanpa menunggu jawaban, Dion melangkah keluar rumah dengan cepat, meninggalkanku dan Bu Ningsih dalam keheningan yang penuh ketegangan. Aku tahu ada sesuatu yang disembunyikan Dion, dan aku tidak suka perasaanku tentang itu.

Begitu pintu tertutup, Bu Ningsih menatapku dengan tatapan dingin. "Kamu pikir kamu bisa memenangkan Dion dengan hasil tes ini? Kamu tidak tahu siapa yang sebenarnya mengendalikan pernikahan ini, Kirana. Jangan harap Dion akan berpihak padamu."

Aku menatapnya tanpa kata-kata, merasakan ketakutan menjalar di hatiku. Tapi kali ini, aku tidak akan membiarkan rasa takut menguasai diriku. Entah apa yang sebenarnya terjadi, aku akan menemukan jawabannya. Apa sebenarnya yang disembunyikan oleh Dion?

1
Welsa Putri
dtggu lanjutannya
roserossie: Tunggu malam ini ya😘
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!