[Update tiap hari, jangan lupa subscribe ya~]
[Author sangat menerima kritik dan saran dari pembaca]
Sepasang saudara kembar, Zeeya dan Reega. Mereka berdua memiliki kehidupan layaknya anak SMA biasanya. Zeeya memenangkan kompetisi matematika tingkat asia di Jepang. Dia menerima hadiah dari papanya berupa sebuah buku harian. Dia menuliskan kisah hidupnya di buku harian itu.
Suatu hari, Zeeya mengalami patah hati sebab pacarnya menghilang entah kemana. Zeeya berusaha mencari semampu dirinya, tapi ditengah hatinya yang terpuruk, dia malah dituduh sebagai seorang pembunuh.
Zeeya menyelidiki tentang masa lalunya. Benarkah dia merupakan seorang pembunuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 | Uji Coba Kompetisi
“Ayo, berangkat!” kataku kepada papa.
Hari ini aku akan melaksanakan uji coba kompetisi matematika yang kuikuti. Tempatnya di SMA Negeri 1 Bilona, sekolah favorit di kota ini. Aku teringat lagi pada Kairo karena dia dulu bersekolah di sana.
Papa menyetir di sampingku. Tak ada percakapan di antara kami berdua. Sampai di sebuah lampu merah, mobil berhenti.
“Zee, bagaimana sekolahmu?” tanya papa membuka obrolan.
“Baik,” jawabku singkat sambil membaca buku catatanku.
“Apa kamu nyaman di sana?”
“Iya. Kan Papa yang daftarin aku ke sana.” Aku membalik halaman buku.
“Papa berpikir untuk memindahkanmu ke sekolah di luar negeri.”
Aku menoleh ke arah papa, “kenapa?”
Lampu merah berubah menjadi hijau. Papa menancap gas lalu mobil berjalan kembali.
“Tidak apa-apa. Papa ingin menjadi dekat kembali dengan Zeeya seperti dulu ...” papa berhenti bicara sejenak, “... apa ada masalah di sekolah? orang asing yang mengancam Zeeya, mungkin? ”
Aku tertegun, kenapa papa bisa tahu kalau aku ada masalah di sekolah. Terlebih lagi masalah orang yang mengancamku. Aku harus tetap merahasiakan darinya sebab ada rasa takut pada perasaanku.
“Tidak ada.”
Mobil menepi di depan sekolah favorit itu. Terlihat ramai sekali murid di sana dengan seragam yang berbeda-beda. Pasti mereka dari sekolah lain yang juga mengikuti uji coba kompetisi.
“Pa, aku turun ya ...” aku membuka pintu mobil.
“Iya, hati-hati. Nanti kalau sudah selesai, tunggu Papa saja. Papa akan menjemputmu.”
Aku tersenyum kepada papa dan berpamitan. Mobil yang dikendarai papa melaju meninggalkanku. Aku membuka HP-ku, mengecek apakah Pak Kurnia memberi pengumuman sekarang.
‘Untuk anak-anak yang sudah sampai. Tim 1 dan tim 2 matematika berkumpul di depan ruang Kelas XI IPA 4. Segera berkumpul ya ...’
Aku berkeliling di sekolah yang luas itu mencari ruang kelas yang dimaksud.
Ada yang memanggilku dari belakang, “Zeeya ...”
Aku membalikkan badan dan terlihat seorang cewek berlari menghampiriku.
“Zeeya! Kita ketemu lagi, nih!” ucapnya.
“Eh, kamu?” aku merasa tidak kenal dengan cewek itu.
“Aku Sarah. Masa kamu lupa, sih!”
Aku mengingatnya sejenak, “oh ... kamu anak yang waktu itu saat aku mencari Kairo di sini.”
“Iya. kamu ikut uji coba juga?” Sarah bertanya padaku.
Aku mengangguk, “kamu tau ruang Kelas XI IPA 4, nggak?”
“Ya tau lah. Aku kan sekolah di sini. Mau aku antar?”
“Iya. Terima kasih,” ucapku.
Akhirnya ada yang mengantarku menuju tempat uji coba. Sebenarnya aku anak yang mudah sekali tersesat di tempat baru. Untunglah aku bertemu Sarah.
.........
“Itu kelasnya, Zee. Sampai sini aja ya,” kata Sarah menunjuk salah satu ruang kelas.
“Iya. Terima kasih, Sarah.”
Di depan ruang kelas itu, tampak Satya dan Dela sudah menunggu. Aku menyapa mereka. Satya tersenyum padaku, sedangkan Dela tidak peduli dengan kedatanganku.
“Satya, di mana Pak Kurnia? Aku mau bertemu beliau, mengabari kalau aku sudah datang.” Aku mencari-cari sosok guru itu.
“Itu, di sana lagi ngobrol sama guru sekolah lain.” Satya menunjuk dengan dagunya, “nanti aja ketemunya. Pak Kurnia tau kalau kamu sudah datang, kok.”
“Oh, ya sudah.” Aku mengurungkan niatku untuk bertemu beliau, “Satya ... aku minta maaf soal kemarin.”
“Nggak papa kok. Nisa udah cerita semua masalahmu ke aku. Aku bakal ikut bantu kalau aku bisa.”
“Terima Kasih, ya ...” aku merasa lega dengan ucapannya itu.
Dela menyela pembicaraan kami berdua, “guys, ayo masuk ke ruangan. Semua peserta udah pada masuk, tuh.”
Kami berdua mengangguk. Aku dan Satya mengikuti Dela untuk masuk ke ruangan. Lalu kami memilih bangku yang sekiranya nyaman untuk ditempati.
Dua setengah jam berlalu, kami sudah menyelesaikan soal-soal pada uji coba kali ini. Kemudian kami bertiga beriringan keluar ruangan.
“Bagaimana uji cobanya tadi?” tanya Pak Kurnia saat kami baru saja keluar ruangan.
“Aman kok, Pak,” ucap Satya sambil mengacungkan jempolnya.
Tubuhku terasa lemas sehabis mengerjakan soal, begitu pun dengan Dela.
“Baiklah kalau begitu. Kalian boleh langsung pulang saja ke rumah. Tidak usah kembali ke sekolah. Absensi sudah Bapak sampaikan pada wali kelas kalian masing-masing. Hati-hati jika pulang sendirian,” kata Pak Kurnia.
Satya menatap Dela yang tampak lemas dari tadi, “Dela, kamu nggak pulang?”
“Nggak. Aku mau kembali ke sekolah bareng Pak Kurnia. Ada ulangan harian hari ini,” jawab Dela.
“Oh ... kalau kamu, Zee?” Satya balik menatapku.
“Aku mau nunggu papa menjemputku.”
“Gimana kalau pulang bareng aku aja? Biar kamu nggak kelamaan menunggu. Aku bonceng naik sepeda motor.” Satya menawarkan padaku.
“Nggak deh. Aku mau nunggu papaku aja,” jawabku.
“Ya udah, aku temani kamu menunggu.”
“Eh, nggak usah ...”
“Udah! Ayo, aku antar.”
Aku mengangguk lalu kami berjalan menuju gerbang depan sekolah.
.........
Kami menunggu cukup lama sambil mengobrol ringan. Ternyata Satya orangnya enak diajak ngobrol. Bukan seperti saudara kembarku, Reega. Dia hanya diam saat diajak ngobrol, hanya menjawab ala kadarnya saja.
“... kamu udah nelpon papamu?”
“Sudah. Papaku kenapa lama sekali, ya?” aku cemberut.
Kualihkan pandanganku ke arah jalan raya. Aku menoleh ke kanan lalu ke kiri. Belum ada tanda-tanda mobil papaku lewat.
Tiba-tiba HP-ku berdering. Aku segera mengangkatnya tanpa kulihat dulu nomor yang meneleponku itu.
‘Hallo, Pa?’
‘Zeeya, ini aku.’
Aku sempat kaget karena yang menjawab bukan suara papaku.
‘Eh ... Kairo?’
‘Iya aku Kairo.’
Aku terkejut hingga menutup mulutku. Satya memandangku heran.
‘Kamu ke mana saja selama ini, Kai? Aku sangat mengkhawatirkanmu!’
‘Apa kamu masih di sekolahku? Aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Datanglah menemuiku di gerbang belakang sekolah, dekat lapangan olahraga.’
‘Kai ...’
Kairo menutup teleponnya. Tanpa pikir panjang, aku berlari menuju tempat yang Kai katakan. Tempat pertama kali yang aku datangi saat bolos waktu itu bersama Hansel.
Dari kejauhan, aku dapat melihat seorang yang kukenal. Kairo, dia mengenakan hoodie yang sama dengan yang dia pakai waktu terakhir kali kita bertemu. Mataku berkaca-kaca ketika melihatnya.
“Kai!!!” Aku mempercepat lariku lalu jatuh dalam pelukannya.
Kairo balas memelukku dengan erat. Sepertinya kami sudah berpisah lama sekali. Aku bahagia bisa bertemu kembali dengannya.
“Kamu pergi ke mana, Kai?” aku melepas pelukannya, “aku mencarimu selama ini.”
“Maaf telah meninggalkanmu, Zee. Aku terpaksa melakukannya.”
“Ah ... akhirnya aku merasa tenang, Kai. Kamu baik-baik saja.” Aku menghela nafas lega.
“Ada yang ingin aku katakan padamu, Zee ...” Wajah Kairo tampak cemas. “Sepertinya, aku tidak bisa berada di dekatmu lagi.”
Kairo membuatku penasaran. “Ke-kenapa?”
“Kamu akan dalam bahaya jika bersamaku. Aku akan pergi lagi setelah ini. Aku menyempatkan diri untuk menemuimu agar kamu tidak merasa khawatir denganku.”
“Maksudmu, Kai?” aku tidak mengerti dengan ucapannya, “ada apa denganmu? Kenapa aku dalam bahaya? Tolong katakan padaku!”
“Aku tidak bisa mengatakannya sekarang ... mulai sekarang, kau harus melupakanku. Lupakan semua hal tentang aku! Jagalah dirimu sendiri, Zee.”
Sebuah mobil mendekat pada kami berdua.
“Aku memesan taksi. Sampai di sini saja pertemuan kita. Maafkan aku, Zee ... tidak mengapa jika kamu membenciku, asalkan itu bisa membuatmu aman. Semua kebaikanmu padaku tidak akan pernah kulupakan.” Kairo masuk ke dalam mobil yang tiba di hadapan kami berdua.
“Kai, apa kamu akan meninggalkanku lagi? Kai tolong jawab aku! Aku tidak ingin berpisah denganmu lagi, Kai ...”
Kairo tidak menggubrisnya. Dia menutup pintu mobil. Aku hanya terdiam melihat kepergian Kairo. Wajahku tertunduk lemas. Baru saja aku bertemu orang yang paling berharga bagiku. Tapi dia pergi meninggalkanku begitu saja.
“Zeeya! Papamu datang menjemput,” Satya berlari memanggilku.
Aku telah menyuruh Satya untuk berjaga di gerbang depan. Jika papaku datang, dia bisa dengan segera memanggilku. Pada akhirnya, aku pulang dengan perasaan hancur berkeping-keping.
.........
dari judulnya udah menarik
nanti mampir dinovelku ya jika berkenan/Smile//Pray/
mampir di novel aku ya kasih nasihat buat aku /Kiss//Rose/