Tristan dan Amira yang berstatus sebagai Guru dan Murid ibarat simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Tristan butuh kenikmatan, Amira butuh uang.
Skandal panas keduanya telah berlangsung lama.
Di Sekolah dia menjadi muridnya, malam harinya menjadi teman dikala nafsu sedang meninggi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @Alyazahras, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamu Kenal Reyhan?
"Amira!" teriak Reyhan sambil melihat punggung Amira yang kian menjauh.
Amira, kamu tidak sungguh-sungguh mengatakannya, kan? Kamu hanya meluapkan amarah padaku setelah lama tidak bertemu. (Batin Reyhan meringis)
Hatinya sakit bagai tertusuk ribuan duri saat mendengar Amira berkata 'cinta sudah tidak aku rasakan lagi'.
Tristan menyipitkan matanya dari kejauhan. Dia memperhatikan Reyhan yang sedang termenung dan Amira yang pergi menjauh.
"Rey!" panggil Tristan sambil berjalan mendekat.
Reyhan mengusap kasar wajahnya. Dia tidak ingin pamannya melihat keadaannya yang kacau. Reyhan mengontrol suasana hatinya, baru berbalik membalas tatapan Tristan.
"Paman!" seru Reyhan ceria sambil memeluk Tristan. "Pasti Paman heran melihat aku di sini dengan pakaian olahraga. Nanti aku ceritakan."
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Tristan dengan menaikan sebelah alis.
Dia tidak tertarik dengan bagaimana Reyhan bisa menjadi guru olahraga tanpa memberitahunya terlebih dahulu, Tristan malah tertarik dengan apa yang sedang Reyhan lakukan di situ. Terlebih dengan keberadaan istrinya.
"Ah, tadi ada masalah kecil. Aku memergoki murid laki-laki yang sedang merokok. Sayangnya mereka sudah kabur," jelas Reyhan.
Tristan memperhatikan gerak-gerik dan sorot mata Reyhan dengan seksama, mungkinkah dia menemukan kebohongan di dalamnya.
"Sudah, ayo kita kembali. Aku masih ingin tebar pesona pada murid perempuan, hahaha. Mereka sangat antusias saat melihatku. Pantas saja Paman betah jadi Guru di sini! Banyak daun muda yang segar-segar."
Reyhan menggiring paksa Tristan yang masih tidak enak hati.
°°°
Jam pelajaran Biologi.
Tristan sedang menulis jawaban esay di papan tulis dengan melingkarkan syal di lehernya. Semua murid di kelas 12 MIPA-2 mengkoreksi PR mereka masing-masing. Apa sama dengan jawaban yang Tristan tulis.
Tidak ada yang berani membahas tentang tanda merah di leher Tristan. Semuanya omong kosong. Para murid malah jadi kikuk, tidak seperti ucapan mereka yang katanya akan meminta penjelasan pada Tristan begitu jam pelajarannya. Namun, mana? Nihil! Tidak ada yang berani mengajukan pertanyaan.
Tristan kembali duduk di kursi setelahnya. "Koreksi jawaban kalian yang salah dengan yang di papan tulis. Saya jelaskan satu persatu setelahnya."
Para murid segera merevisi jawaban mereka yang salah. Keadaan kelas tentram dan damai karena semua sedang menulis.
Diam-diam Tristan memperhatikan Amira yang juga sedang menulis. Amira melihat ke papan tulis, kemudian menyalin ke buku. Melihat lagi ke papan tulis dan disalin kembali ke buku, begitu seterusnya.
Lama-lama Amira risih karena dari ekor matanya dia bisa melihat Tristan yang terus-menerus memperhatikannya.
Amira sampai beralih menyalin (mengintip) tulisan Uci karena tidak ingin melihat ke depan sana. Tristan pun tahu Amira sedang menghindarinya.
"Amirah, saya menunggu kamu di ruangan saya. Kenapa kamu tidak datang?" tanya Tristan, memecah keheningan.
Amira menarik napas berat, lalu melirik malas pada Tristan. "Gak keburu, Pak."
"Ke mana kamu saat jam istirahat?"
Deg!
Amira menelan saliva sambil berusaha mengontrol emosi. Jangan sampai Tristan menyadari dia sedang menutupi sesuatu.
"Keluar," jawab Amira sekenanya. "Ada apa emang, Pak? Aku buat kesalahan lagi?"
Tristan tidak menggeleng, tidak mengangguk. Hanya menaikan sebelah alisnya saja. Mengisyaratkan, 'sudah tahu masih tanya'.
"Ada tugas tambahan buat kamu. Nanti saya kirim di chat. Kamu masuk Grup Biologi, kan?" katanya basa-basi.
Amira yang tahu dan sadar dia salah pun hanya mengangguk. "Iya, Pak."
"Ra," bisik Uci. "Amira, aku minta maaf~" rengeknya sambil menarik ujung lengan baju Amira dengan wajah menyesal.
Amira cuek bebek, seolah tak mendengar. Dia fokus saja menulis di buku tulis. Tidak menganggap keberadaan Uci.
"Aku udah beresin kesalahpahamannya, kok. Aku bilang sama temen-temen, aku cuma bercanda, kamu gak bener-bener tinggal di Mid Level. Mereka percaya, sumpah!" jelas Uci dengan nada lirih.
Amira masih tidak menghiraukannya. Uci bagai bicara dengan angin.
"Ih, Amira!" seru Uci kesal campur gemas. Bibirnya sampai mengerucut. Karena kesal diabaikan, dia berbalik memunggungi Amira.
Amira menyunggingkan senyumnya. Biarkan Uci menyesal untuk beberapa saat dulu. Tingkahnya yang lucu membuatnya sedikit terhibur.
°°°
Malam hari.
Amira sedang mengerjakan PR bahasa Indonesia sambil tengkurap di atas ranjang dengan mengenakan rok rempel hitam selutut dan crop top putih berkancing. Dengan potongan bajunya yang seperti itu, membuat pinggang Amira jadi terlihat. Rambutnya dicepol ke atas dan membiarkan anak-anak rambutnya berantakan.
Sebelumnya Amira sudah menghubungi Bi Desi, menanyakan kabar ibunya dan adiknya. Ibunya masih belum sadarkan diri dan keadaannya masih belum stabil. Jadi dia berbincang dengan Syifa-adiknya yang memiliki kelainan.
Setiap Amira bicara dengan Syifa, dia seperti bicara dengan anak usia 4 tahun karena pertumbuhan Syifa memang terhambat. Bicaranya belum terlalu jelas, padahal usia Amira dan Syifa hanya berbeda 2 tahun saja. Yang seharusnya Syifa bisa menjadi teman curhatnya, malah seperti anak kecil.
Namun begitu, Amira sangat menyayangi Syifa. Rasa sayangnya pada sang adik tidak bisa dibandingkan dengan apa pun.
Jika Tristan tahu yang Amira tanggung bukan hanya ibunya saja, entah bagaimana.
"Huff, pantun apalagi, ya? Mana harus beres hari Senin. Cuma ada waktu besok. Sabtu-Minggu harus balik kampung jenguk Ibu," gumam Amira berkeluh-kesah.
Saat sedang begitu, ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk. Amira buru-buru memeriksanya.
Begitu dilihat, ternyata dari Reyhan.
'Sampai bertemu besok di Sekolah.'
Amira meremas ponselnya dengan emosi menggebu. Ternyata Reyhan masih belum paham juga dengan ucapannya barusan di ruang terbengkalai belakang sekolah.
Dia termenung sesaat sambil memikirkan kejadian-kejadian hari ini di Sekolah yang sangat mengejutkan. Reyhan kembali dan menjadi guru olahraga-nya, belum lagi dengan kenyataan kalau Reyhan ternyata adalah keponakan Tristan.
Bagaimana jika Reyhan memberitahu Tristan mengenai hubungan mereka di masa lalu? Bagaimana jika Tristan tahu kalau Reyhan yang pertama kali merusak kesuciannya, bukan Tristan.
Semua pertanyaan itu bersarang di kepala Amira. Amira yang semula tenang, berubah menjadi cemas dan takut. Tangannya berkeringat, perutnya melilit sakit, wajahnya memucat.
Tiba-tiba saja terdengar suara pintu kamar terbuka. Amira buru-buru menyembunyikan ponselnya ke bawah bantal dan menoleh.
Tristan datang dengan mengenakan kemeja biru dongker dan celana hitam. Dia melepas syal yang terus melilit di lehernya, lalu meletakkannya di meja belajar Amira.
Matanya lagi-lagi melihatnya dengan tatapan menguasai.
"Tumben malem Jumat ke sini?" sindirnya sambil membuang muka dan kembali membuka-buka buku bahasa Indonesia.
Tristan tergoda saat melihat pose Amira dan lekuk pinggangnya yang ramping. Dia merayap mendekati, lalu mendekap Amira dari belakang. Kepalanya disandarkan pada punggung Amira, sedangkan tangannya melingkar di pinggang Amira.
Tristan bagai merengkuh sesuatu yang kecil karena tubuhnya 2 kali lipat lebih besar dari tubuh Amira.
"Kamu tahu apa kesalahanmu, Amirah? Senang mempermainkan saya, ya? Malam ini saya datang khusus menghukummu," bisik Tristan. Lehernya masih merah-merah.
"Memangnya di mana letak kesalahanku? Tanda merah di lehermu itu? Itukan aku buat tanpa sadar," bualnya beralasan.
Tristan menggelengkan kepalanya. "Kamu sengaja."
"Tidak. Kamu juga pernah meninggalkan tanda seperti itu ditubuhku, bahkan lebih dari 3 dan kamu sendiri bilang kalau itu tanpa sadar dilakukan. Iya, kan?" jelas Amira protes.
"Tapi, saya tidak pernah meninggalkannya di leher," ucap Tristan penuh sensual sambil melepas kancing crop top Amira.
"Ya pokonya sama saja. Hey, perhatikan tanganmu!" Amira menyentil lengan Tristan dengan kesal. Namun, kekuatan Amira tidak berasa apa-apa bagi Tristan.
"Amirah, kamu kenal Reyhan?"
Deg!
Pertanyaan itu seketika menghantam jiwa Amira sampai jantungnya terasa terpukul.
"Tidak," jawab Amira dengan ekspresi dingin.
"Sungguh?" bisik Tristan meragukan.
Amira jadi langsung diam tak berkutik. Tristan memanfaatkan kesempatan itu untuk meremas dadanya yang bulat, padat berisi.
Amira mengangguk perlahan. "Aku baru kenal barusan di Sekolah. Katanya dia keponakanmu. Em ... apa itu benar? Hehe...."
"Hm, dia anak Kak Arslan (Kakak Tristan) yang kuliah di luar negeri. Baru kembali Minggu lalu. Menurutmu apa dia tampan? Semua murid sepertinya beralih mengidolakan dia," ucap Tristan sambil memeloroti crop top Amira.
"Tidak setampan suamiku," bisik Amira malu-malu.
Aktivitas Tristan langsung terhenti. "Apa? Saya tidak dengar."
Amira menggelengkan kepalanya sambil mengulum senyum.
"Apa?" pinta Tristan dengan nada manja. Dia gigit bahu Amira. Grek!
"Akh, sakit!"
"Kamu bilang apa barusan?" Tristan mengulangi pertanyaannya.
"Dia tidak setampan kamu. Kamu terlalu sempurna dibandingkan dengannya. Kamu sendiri tahu kualitas dirimu seperti apa, masih bertanya pula, huft!" gerutu Amira sambil memutar bola matanya.
Tristan tersenyum lebar sambil membenamkan wajahnya di punggung Amira.
"Ugh, Tan, berat! Aku tidak bisa bernapas," kata Amira sambil berusaha meloloskan diri.
"Tidak bisa bernapas? Saya berikan napas buatan mau?" celetuk Tristan sambil membalikkan tubuh Amira.
Amira terlentang dan Tristan langsung mengecup bibirnya, kemudian perlahan menyesapnya dengan erotis.
"Bagaimana? Masih kurang?" goda Tristan sambil tersenyum usil.
Wajah Amira memerah sambil menutup bibirnya dengan punggung tangan.
"I-itu sih bukan napas buatan! Aku malah semakin kehilangan oksigen," ujar Amira sambil membuang muka karena sekujur tubuhnya mulai panas dingin.
...
BERSAMBUNG!!
tp amira tnpa sepengetahuan ibunya dia lnjutin sekolh,,
iya kah thor