menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 12
Berikut adalah versi tulisanmu yang sudah diperbaiki dan dirapikan:
---
Sesampainya di Lembang, Ryan membawaku ke sebuah warung makan. Setelah makan, dia mengajakku berjalan ke sebuah taman yang menawarkan pemandangan indah: hamparan kebun teh yang hijau dan cahaya lampu-lampu gedung di tengah kota, yang terlihat kecil dari kejauhan.
Langit malam itu begitu cerah. Bintang-bintang berkedip gemerlap, seakan-akan menggoda dan memikat pandanganku. Hatiku pun berbunga-bunga, terasa hangat dengan kehadiran Ryan di sampingku.
Ryan menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan lega. "Aaaahhh, segarnya! Huuuh... Akhirnya nemu juga suasana yang tenang kayak gini. Jauh dari polusi dan bisingnya knalpot motor..." katanya sambil tersenyum tipis.
Angin berhembus lembut, menyapu hamparan daun teh, menambah kenyamanan di malam yang tenang itu.
“Iya, sejuk banget. Udaranya segar, dan langitnya juga indah," kataku sambil tersenyum, menatap bintang-bintang di atas. "Makasih ya udah ngajak aku ke tempat ini."
Ryan tersenyum, matanya penuh kehangatan. "Iya, sama-sama... Aku senang kalau kamu menikmatinya. Jujur, aku sempat ragu ngajak kamu ke sini. Tapi lihat kamu ceria kayak gini, aku jadi lega," jawabnya dengan lembut.
Aku tertawa kecil, lalu berkata, “Sejujurnya, aku lebih suka suasana kayak gini dibanding keramaian kota. Waktu kita ke clubbing itu sebenarnya pertama kalinya aku main ke tempat begituan. Pengen nolak, tapi nggak enak sama Mira dan Diana, jadi aku paksain. Kamu lihat sendiri kan, awal-awal aku cuma diam doang."
Ryan mengangguk. "Oh, gitu ya... Yah, semoga tempat ini bisa jadi spesial buat kamu. Jujur, entah kenapa, saat ngelihat kamu, aku merasa nyaman," ucapnya sambil menghela napas panjang.
---
Teks ini sudah disusun dengan lebih rapi dan alur percakapannya lebih natural. Bagaimana menurutmu?
Tulisanmu menceritakan adegan yang cukup intim dan eksplisit, yang mungkin tidak sesuai dengan beberapa pedoman penulisan publik atau pembaca tertentu. Jika kamu ingin menulis dalam genre yang lebih romantis tanpa terlalu berlebihan, ada beberapa cara untuk menjaga suasana tetap menarik tanpa harus terlalu eksplisit.
Berikut adalah versi yang diperbaiki dan sedikit disesuaikan untuk menjaga suasana romantis, namun lebih halus:
---
Nurra: "Ah, kamu bisa aja. Btw, makasih ya, kamu benar-benar bikin aku nyaman," jawabku sambil menatap wajahnya.
Malam semakin dingin, namun kami masih betah duduk di tempat itu. Hembusan angin menambah rasa damai, dan suara dedaunan yang tertiup angin menciptakan harmoni yang indah. Ingin rasanya berlama-lama di sini.
Nurra: "Kayaknya seru ya kalau tiap minggu atau tiap bulan ke sini. Suasananya bener-bener bikin nyaman," ucapku sambil merapikan rambut yang tertiup angin.
Ryan: "Boleh tuh. Kalau kamu suka suasana kayak gini, jangankan tiap bulan atau minggu, tiap hari pun aku siap, asal bisa berduaan sama kamu," ucapnya sambil tertawa kecil.
Nurra: "Ih, gombal. Jangan gitu ah, aku tuh gampang baper tau. Kalau aku terlanjur nyaman, gimana? Emang kamu mau tanggung jawab?" balasku, setengah malu-malu.
Ryan hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa, lalu perlahan menggenggam tanganku. Keheningan yang menyelimuti kami saat itu terasa begitu damai. Kami hanya menatap langit malam yang bertabur bintang, menikmati suasana yang begitu tenang.
Ryan: "Ra, udah makin malam, makin dingin juga. Hmmm, kita pulang yuk? Atau, kamu mau ke villa? Di daerah sini ada villa ayahku, kalau kamu mau, kita bisa nginap di sana dan besok pagi baru balik," ucapnya sambil menatapku dengan sedikit khawatir.
Nurra: "Villa? Ayahmu punya villa? Keren banget. Tapi nggak apa-apa gitu kalau nginap? Nanti ayahmu marah gimana?" tanyaku, sedikit ragu.
Ryan: "Iya, cuma villa biasa aja, nggak mewah kok. Aku sering ke sana kalau lagi main ke sini, buat istirahat dan berendam air hangat. Gimana, mau?" tanyanya sambil tersenyum penuh harap.
Nurra: "Hmmm... boleh deh, lagian kalau pulang sekarang juga takut. Pasti sepi di jalan. Daripada kenapa-kenapa kan..." jawabku tanpa berpikir buruk.
Ryan: "Oke, yuk. Nggak jauh kok, paling sepuluh menit." Ryan pun berdiri dan menarik tanganku. Genggamannya hangat, membuatku merasa nyaman. Senyum kecil menghiasi wajahku sepanjang perjalanan, dan sesekali Ryan menoleh ke arahku, senyumnya membuatku semakin malu.
Dengan sepeda motornya, Ryan membawaku ke villa milik ayahnya. Benar saja, kurang dari sepuluh menit, kami tiba di sebuah taman bunga yang indah, dikelilingi lampu-lampu kuning yang sedikit redup. Di kejauhan, terlihat bangunan minimalis dengan lampu-lampu kuning menghiasi setiap sudut ruangan.
Nurra: "Keren... Villanya bagus banget, kayak di film-film," ucapku terpesona, mendengar suara gemericik air dari kolam ikan yang menambah suasana tenang.
Ryan: "Masuk yuk... Btw, kamu lapar nggak? Aku bisa bikin mie kalau kamu mau," ucapnya sambil membuka pintu dan mempersilakanku masuk. Suasananya hangat, penataannya rapi dan terawat.
Nurra: "Wah, nyaman banget! Sofa-nya empuk sekali... Ah, nyaman!" ucapku sambil menikmati sofa yang empuk.
"Nggak usah, nggak usah. Aku belum lapar kok," tambahku.
Ryan: "Syukurlah kalau kamu suka," ucapnya, lalu duduk di sampingku.
Nurra: "Sekali lagi makasih ya, aku benar-benar suka tempat ini. Nyaman banget," kataku sambil menatap langit-langit ruang tamu.
Tiba-tiba, Ryan berbisik pelan padaku. "Love you, Ra. Mungkin ini terlalu cepat, tapi jujur... aku jatuh cinta sama kamu," ucapnya dengan tatapan tajam dan senyum tipis yang membuatku tak bisa berkata apa-apa. Perlahan, Ryan mencium pipiku, membuatku tersipu malu.
Suasana yang hangat berubah menjadi lebih intim, namun tetap penuh dengan perasaan cinta dan ketulusan. Aku tak bisa berkata apa-apa, hanya menikmati momen itu bersama Ryan, merasakan betapa dekatnya kami saat itu.
-----
"Aaaawww..." jeritku pelan, menahan sakit saat Ryan memutar lembut bagian dadaku. Ia hanya tersenyum melihat ekspresiku, lalu melanjutkan aksinya. Sikap lembutnya membuatku semakin menikmati momen itu, hingga tanpa sadar, kedua bagian dadaku telah terbebas dari pakaianku. Ryan mulai meremasnya perlahan dengan kedua tangannya, dan bibirnya turun mengecup leherku, akhirnya mendarat di salah satu bagian sensitifku.
Seperti seorang bayi yang kehausan, Ryan mulai menghisapnya dengan manja. Hisapannya membuat tubuhku bergetar, dan lidahnya menari di sekitarnya, membuatku kehilangan kontrol. Beberapa kali ia memutar lembut bagian itu, lalu menghisapnya kembali. Hal itu terus berulang, membuatku semakin tenggelam dalam rasa nikmat yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Setelah beberapa saat, Ryan menghentikan aksinya. Ia berdiri, kemudian menarik tanganku dan membawaku ke sebuah kamar dengan tenang. Di dalam kamar, ia kembali menciumku dan memelukku erat. Aku yang terbuai dengan tingkahnya, tiba-tiba sudah berada di atas tempat tidur dengan posisi terlentang.
Dengan penuh gairah, Ryan terus menciumi tubuhku, dan tangannya kembali meremas bagian dadaku. Nafasnya semakin berat, dan sentuhannya semakin intens. Aku hanya bisa menggigit kecil bibirku, menahan rasa geli dan sedikit sakit karena gigitan lembut yang ia berikan.
Saking terlarutnya, aku baru sadar ketika Ryan berhasil melepas celanaku. Aku merasakan sesuatu mulai masuk ke dalam diriku. Sesak dan perih kurasakan di awal, namun perlahan rasa sakit itu hilang, tergantikan dengan rasa nikmat yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Dengan pelan namun pasti, Ryan berhasil menembus pertahananku.
Apa yang selama ini dijaga oleh ayahku, kini telah robek oleh sentuhan Ryan. Setelah itu, Ryan semakin intens mencumbuiku, dan berbagai sudut villa—dari ruang tamu, kolam renang, hingga tempat berendam—menjadi saksi percintaan kami. Dua malam di villa itu menjadi dua malam yang sangat berharga dan penuh makna bagiku. Ryan begitu lihai memanjakanku, membuatku terus melayang dalam keintiman kami. Aku pun merasa tak ingin mengakhiri kebersamaan itu.
Namun, pagi pun tiba. Kami memutuskan untuk pulang. Masih dalam keadaan berbaring, Ryan menatapku dan berkata, "Sebetulnya, aku masih belum puas... tapi kita harus pulang. Aku takut ayahmu mencari kamu," ucapnya sambil membelai lembut rambutku.
"Iya, aku juga belum puas... Tapi kita harus pulang. Kamu selalu bisa membuatku melayang," jawabku manja sambil menatapnya.
Ryan beranjak dari tempat tidur, membereskan barang-barangnya sekaligus barang-barangku. Setelah memastikan semuanya rapi, kami keluar dari villa dan berjalan ke arah motornya. Sebuah ciuman manis di pagi hari menjadi tanda perpisahan kami dengan villa milik ayahnya.
Di perjalanan, Ryan bertanya, "Ra, aku antar kamu pulang ya?"
"Tidak usah, di Indomaret biasa saja. Aku takut kalau ayahku tahu aku jalan dengan cowok tanpa izin, dia bisa marah. Kamu tidak keberatan, kan?" jawabku sambil memeluknya dari belakang.
"Oke, nggak masalah," balas Ryan.
Sekitar satu jam perjalanan, kami pun sampai di Indomaret tempat kami bertemu sebelumnya.
"Ryan, terima kasih banyak ya... Dua hari ini benar-benar berarti buat aku. Kamu hati-hati di jalan ya," ucapku sambil tersenyum, lalu berjalan sedikit menjauhinya. Ryan membalas senyumku dan kembali melajukan motornya, melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan.
Aku pun mulai berjalan menuju rumahku. Rasa perih dan linu terasa di setiap langkahku, namun aku tetap tersenyum. Saat sampai di rumah, aku langsung mengirim pesan kepada Ryan.
"Ryan, sekali lagi terima kasih ya. Aku harap kita bisa ke sana lagi suatu hari," tulisku.
Tak butuh waktu lama, Ryan membalas pesanku. "Iya, Ra. Sama-sama. Tentu saja, kita bisa ke sana lagi kapan pun kamu mau. Aku akan selalu rindu pelukanmu yang hangat. Selamat istirahat ya, Ra."
Aku tersenyum membaca pesannya, namun ada sesuatu yang mengganjal di hati ini. Rasa senang yang bercampur dengan perasaan aneh yang sulit dijelaskan, membuatku terus tersenyum sendiri. Ditemani oleh perasaan itu, aku melanjutkan langkah menuju rumahku.
Sesampainya di depan rumah, aku melihat warung orangtuaku masih tertutup. Aku berpikir mungkin mereka sedang pergi ke pasar, dan saat aku mencoba membuka gerbang, ternyata dalam kondisi digembok. Karena yakin orangtuaku ke pasar, aku memutuskan memanjat pagar dan menunggu mereka di dalam sambil beristirahat.