Hi hi haaayyy... selamat datang di karya kedua akuu... semoga suka yaaa 😽😽😽
Audrey dipaksa menggantikan adiknya untuk menikah dengan seorang Tuan muda buangan yang cacat bernama, Asher. Karena tuan muda itu miskin dan lumpuh, keluarga Audrey tidak ingin mengambil resiko karena harus menerima menantu cacat yang dianggap aib. Audrey yang merupakan anak tiri, harus rela menggantikan adiknya. Namun Asher, memiliki rahasia yang banyak tidak diketahui oleh orang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qaeiy Gemilang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sarapan
Pagi sekali Audrey sudah bangun. Walaupun malam dia selalu tidur dengan tidak nyenyak, Audrey mencoba untuk bangun pagi-pagi selama dua hari ini. Terlalu dini jika mengharapkan patung es itu mencair.
Mungkin, dengan dirinya bersikap baik, Asher bisa mencair tanpa harus dia beri sianida.
“Sudah semuanya, sekarang aku akan bersiap-siap ke rumah ayah untuk memperingati hari kematian ibu. Dan sekaligus menanyakan perihal biaya pengobatan nenek,” gumam Audrey yang sudah menyajikan sarapan dan kopi di atas meja.
Tidak peduli Asher memakannya atau tidak. Audrey hanya menjalankan tugasnya menjadi seorang istri. Jika semua yang dilakukan oleh Audrey tidak dihargai, maka setidaknya dia telah mencoba.
“Mandi dan bersiap!” Seru Audrey dengan senyum yang terukir di bibir plumnya.
Sebelum Audrey melangkah kembali ke gudang, sorot mata Audrey menyisir keadaan ruangan. Namun netranya tidak menemukan Asher. “Tumben, sampai jam begini pria itu belum bangun?”
Setelah mencari-cari keberadaan Asher namun dia tidak menemukan pria itu, Audrey memutuskan untuk segera mandi, bersiap-siap. Setelahnya, Audrey menulis note di sebuah kertas HVS yang dia ambil dekat dengan bufet televisi.
“Asher, aku ingin minta izin pergi ke rumah ayahku. Aku sudah mencarimu namun kamu tidak ada. Mungkin karena kamu tidak ingin bertemu denganku karena aku menjijikkan. Aku minta maaf. Aku sudah buatkan sarapan untukmu. Aku pamit!” tulis Audrey.
Setelah merasa semuanya beres, Audrey segera meninggalkan rumah. Sementara Asher, mengintip Audrey di balik kaca jendela di kamarnya. Setelah melihat kepergian Audrey, Asher segera keluar dari kamarnya.
Saat Asher berada di dapur, dia menemukan surat Audrey di atas meja, mengambilnya dan membacanya. “Cih,” Asher berdecih, bibirnya tersenyum sinis setelah membaca pesan Audrey. Asher meremas kertas tersebut lalu membuangnya.
“Kalau bukan tentang perjanjian, siapa yang mau menikahi wanita yang membosankan sepertimu,” gumam Asher.
Pria itu menatap makanan di atas meja dengan wajah tanpa ekspresi. Namun, ada satu yang membuat Asher tertarik yaitu, pie isi daging. Pelan, tangan Asher terulur meraih kue tersebut.
“Lumayan enak untuk makanan sampah seperti ini,” gumam Asher yang sudah mengunyah kue tersebut.
Tok tok tok
Mendengar suara ketukan pintu, Asher segera menekan tombol kursi rodanya menuju ke arah pintu. Saat pintu terbuka, Franklin sudah berdiri di depan pintu tersebut.
“Tuan, aku sudah mengamankan orang itu.” Lapor Franklin.
“Hmm... Kerja yang bagus. Tahan dia sampai waktunya tiba,” ucap Asher.
“Baik, Tuan.
*
Sementara Audrey, dia kini sudah tiba di kediaman ayahnya. Sebenarnya, dia tidak ingin menginjakkan kakinya lagi di rumah tersebut. Tapi karena keterpaksaan, dia harus pergi.
“Tenangkan dirimu. Tidak akan terjadi apa-apa.” Audrey mencoba meyakinkan dirinya.
Wanita itu menarik nafas dalam-dalam lalu melangkah tegap memasuki rumah yang sebelumnya menjadi neraka untuknya.
Sesampainya di dalam rumah, Audrey melihat Callie sedang mengambil foto tas-tas mahalnya yang berjejer di atas karpet berbulu. Sesekali, Callie mengambil foto Selfi bersama dengan tas mahal yang dia pamerkan.
Hati Audrey menjerit, kedua tangannya terkepal melihat hal itu. Tidak ada acara untuk ibunya, di kediaman ini tampak sepi. Lalu, untuk apa dia datang kemari? Dan harus melihat benda-benda mahal yang dipertontonkan oleh adik tirinya?
“Callie...” Panggil Audrey dengan bibir bergetar.
Callie yang tengah ber-selfie ria pun menoleh. “Oh... Kakak? Kapan kamu datang? Kamu ke sini dengan siapa?” Tanya Callie yang pura-pura terkejut.
“Kenapa kamu tega melakukan ini padaku?” Ucap Audrey.
Satu alis Callie naik ke atas. “Apa yang aku lakukan? Kau sinting, ya? Datang-datang kau berwajah begitu dan menuduhku,” ucap wanita itu sinis.
Audrey mencoba menahan emosinya agar tidak meledak. “Di mana ayah? Aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin menanyakan, bagaimana bisa pengobatan nenek dihentikan? Aku sudah menggantikanmu menikah. Lalu apa yang kalian lakukan padaku, hah!” Pekik Audrey dengan leher tercekat.
Callie tertawa kecil, mengejek Audrey, “ Ayah? Dia sedang bersantai sejenak setelah pekerjaan yang banyak. Lagipula, apa hakmu menanyakan soal pengobatan nenek? Ayah sudah cukup membantu. Dan kau menggantikan ku menikah? Wah, sungguh bodoh! Apa yang berharga darimu, huh? Kamu menikah dengan pria lumpuh itu, bukankah sudah menjadi suatu kehormatan untuk wanita sampah sepertimu, Audrey?”
Audrey mencoba mengendalikan kemarahannya, “Cukup, Callie. Apakah kau tidak memiliki belas kasihan? Aku sudah membayar harga yang mahal demi keluarga ini, dan yang kusaksikan hanya kejahatan hatimu. Callie, aku juga punya batas kesabaran!”
Callie bergumam, “Batas? Hahaha...!” Callie terkekeh. “Memangnya, apa yang bisa kamu lakukan, bodoh! Dan oh... lya, di mana suamimu yang miskin, lumpuh dan tak berguna itu, Kak? Apakah kamu malu membawanya bersamamu?”
Audrey merasakan air mata mulai menggenang, tetapi dia berusaha keras untuk tidak menangis di depan Callie. “Mungkin aku bodoh, Callie. Tetapi setidaknya aku masih punya hati dan rasa kasih sayang pada sesama. Suamiku mungkin lumpuh, tetapi aku tidak akan pernah malu membawanya. Tidak seperti dirimu yang malu karena tidak ingin menikah dengannya!”
Mendengar jawaban Audrey, Callie hanya mengerutkan kening dan tersenyum penuh kemenangan. “Ya, benar juga... Karena kamu itu bodoh, jadi pantas jika mendapatkan pria seperti Asher.”
“Callie, sudahlah!” seru Audrey. “Aku hanya ingin bicara dengan ayah. Bahkan saat seperti ini, kenapa kau harus terus mencemooh ku? Apakah hidupmu tidak bahagia hingga kau selalu ingin menjatuhkanku dengan hinaan agar aku terpancing dan sakit hati?”
Callie melirik Audrey dengan pandangan meremehkan. “Hahaha... Ingin menjatuhkanmu, hah? Tanpa aku menjatuhkanmu, kamu sudah jatuh lebih dulu. Karena kamu bodoh dan payah!”
Audrey menutup matanya sejenak, menarik nafas panjang, dan mengepalkan tinjunya. “Baik, Callie. Aku tidak akan berbicara denganmu lagi. Cukup katakan di mana ayah?”
“Untuk apa kau mencariku?” Ucap Dax yang datang dengan istrinya, Brianna.
Audrey memutar tubuhnya, dia menatap wajah ayahnya dengan tatapan menusuk. “ Ayah, kau tidak memperingati kematian ibu, dan kenapa ayah berhenti membiayai pengobatan nenek? Kenapa?” Sentak Audrey meminta kepastian ayahnya.
“Heh, kau itu sudah menikah. Dan kami sudah tidak punya urusan denganmu. Apalagi membiayai pengobatan nenekmu. Memang dia ibuku atau ibu dari suamiku, hah?” Ujar Brianna.
Dax menatap Delisa dengan tatapan tajam, “Anna benar, Audrey. Kau sudah menikah dan kini menjadi tanggung jawab suamimu. Aku sudah membantu dengan memberikan persetujuanku untuk pernikahanmu. Itu sudah cukup. Sekarang, kau harus mencari solusi lain untuk pengobatan nenekmu.”
Audrey menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa sakit yang melanda hatinya. “ Jadi, ini yang kalian inginkan? Membuatku menanggung segalanya sendiri? Aku melakukan ini untuk keluarga, agar Callie tidak perlu menikah dengan Asher. Jadi ini rencana kalian dan balasan kalian?”
Dax menghela nafas dan menutup matanya sejenak. “Audrey, cukup, nenekmu itu sebentar lagi akan mati. Jadi untuk apa aku harus membuang uangku untuk biaya orang yang mau mati, hah?”
Audrey merasa kedua kakinya melemah, serangan demi serangan yang ia terima kini telah menyebar ke setiap pori-porinya. “ Kenapa kalian bisa sekejam ini? Bukankah kita keluarga, ayah?” Tanya Audrey dengan suara parau, usahanya menahan tangis semakin tak tertahankan.
Dax bercekak pinggang. “Kau itu keras kepala seperti ibumu dan nenekmu. Kau masih saja tidak tahu bagaimana hidup ini berjalan. Tidak ada yang gratis. Apalagi, urusan dengan pengobatan nenekmu itu sangatlah mahal!”
Audrey merasa emosinya akan meledak mendengar ucapan ayahnya. “Ayah, sejak kecil aku tidak pernah menuntut apa-apa dari kalian. Dan lagi, kau bilang pengobatan nenek sangat mahal? Bagaimana dengan Callie yang kalian manjakan dengan barang-barang mewah yang harganya 20 kali lipat dari harga uang cuci darah nenek-“
Plak!
mampir juga dikarya aku ya jika berkenan/Smile//Pray/