Abimana jatuh cinta pada seorang gadis cantik bernama Sarah Candra sejak pertemuan pertama dimalam mereka berdua dijodohkan.
Abimana yang dingin tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia menyukai Sarah.
Hal itu membuat Sarah khawatir, jika ternyata Abiamana tidak menyukai seorang wanita.
Berbagai hal ia lakukan agar mengetahui kebenarannya. Sampai pada akhir dimana Abi menyatakan perasaannya dan mengajak ia menikah.
Berbagai ujian menghampiri keduanya, hingga sempat terancam membatalkan pernikahan yang sudah disusun jauh-jauh hari, hingga kembalinya sang mantan kekasih yang meminta nya untuk kembali dan menyebar rahasia yang dilakukan Sarah jika ia menolak.
Akankah hubungan keduanya berhasil hingga ke jenjang pernikahan? Ataukah keduanya akan mencari jalannya masing-masing?
Simak terus disini, yah! 🖐️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khairunnisa Nur Sulfani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjalanan Hidup
Jam menunjukkan pukul 13 siang, matahari semakin meninggi dengan terik yang begitu menyengat kulit. Terlihat seorang pria tengah menyeka keringat dibawah sebuah pohon sambil membersihkan botol plastik yang baru di dapatnya dengan mengubek di tempat sampah.
Terlihat ia tengah kehausan, sementara air minumnya tersisa tinggal separuh. Itu bukan air mineral yang dibelinya dengan menyisihkan sedikit uangnya. Itu hanya air sumur yang ia isi ke dalam botol setiap harinya saat akan bekerja, yang mana kebanyakan orang tidak meminum air sumur karena rasanya yang aneh. Tapi begitulah keadaan ekonomi, yang mengharuskannya untuk berhemat.
Lelaki itu dikenal dengan nama Banyu Gesang, dikenal sebagai seorang pemulung harian di Desanya. Ia memiliki seorang putra bernama Abimana.
Abimana adalah anak tunggal yang memilih ikut dengan bapaknya setelah kedua orangtuanya berpisah, dan memutuskan untuk berhenti sekolah karena ekonomi yang tidak mencukupi.
Abimana bukan anak piyatu, ibunya masih hidup, tetapi melarikan diri karena tidak tahan dengan kehidupannya yang miskin.
Ia muncul kembali dengan embel-embel akan mengurus Abimana, tetapi dengan syarat mereka harus bercerai.
Abimana yang kala itu masih kecil, mungkin anak seusianya tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Tapi siapa sangka, Abimana kecil itu mengerti.
Anak kecil itu mengerti, ia menangis, meraung kepada ibunya agar tidak pergi. Namun, ibunya bersikeras berpisah dan tak lupa meninggalkan cacian juga hinaan kepada mantan suaminya itu.
Akan tetapi, begitulah lelaki itu, Banyu Gesang. Ia tidak membenci Ibu Abimana, ia hanya tertunduk lesu membenarkan perkataannya. Ia sama sekali tidak kesal, atau hendak memaki kembali. Memangnya apa yang akan di dapatkannya? Apakah akan merubah keadaanya? Begitulah pikirnya.
Tidak, ia tidak menaruh dendam sama sekali!.
Ia hanya berharap, kelak Abimanalah yang bisa merubah keadaan ekonomi-nya, menata keluarga bahagianya, agar tidak ada satupun yang bisa merendahkan dirinya, termasuk Ibunya.
Ia tidak menahan Abimana agar tetap bersamanya, karena ia tahu, hidup yang akan di jalani Putranya adalah kehidupan yang berat jika ia memaksa untuk terus tinggal bersamanya. Ia tidak tega membuat anaknya harus memilih, karena sejatinya sang anak membutuhkan kedua orangtuanya.
Hingga akhirnya ia pergi ke belakang rumahnya, dan membiarkan Abimana dan Ibunya berbincang, juga membiarkan keputusan itu sepenuhnya berada di tangan Abimana sendiri.
Bukan itu tidak berat, ia sangat menyesali kehidupannya yang seperti ini yang tidak kunjung mengalami perubahan hingga istrinya tidak tahan.
Istrinya benar jika meminta berpisah, pun benar jika meminta Abimana ikut bersamanya. Ia yakin, hidup yang akan dibuatnya untuk anaknya adalah kehidupan yang layak dan masa depannya tentu akan jelas akan seperti apa dan bagaimana.
***
Ia menghembuskan nafas berat, beruntung pun menyesali peristiwa kemarin. Saat ia pikir Abimana akan meninggalkannya dan memilih pergi bersama Ibunya.
Ia tidak yakin mengapa bocah kecil itu begitu bijak saat menegaskan keputusannya itu. Bahkan ia tidak melihat ada sedikitpun keraguan saat ia mengutarakan keinginannya.
"Ayah, apa yang Ayah pikirkan?." tanya Abimana saat ia tengah melamun.
"Ah, tidak. Hanya memikirkan apa yang sedang terjadi dan berlalu begitu saja."
"Ayah, hidup itu memang tidak mudah, kita hanya perlu melewatinya. Tidak mudah, namun semua akan baik-baik saja." Ia tersenyum mendengar penuturan dari anak lelakinya. Anak lelaki yang belum cukup dewasa tapi dengan pemikiran yang luar biasa.
"Ayah bersyukur, meski tidak diberi harta yang banyak dan tempat yang layak. Kau, kau lebih dari segalanya, tetapi ayah bingung dengan keputusanmu. Mengapa kamu tidak ingin ikut Ibu?"
"Bukankah Ibu meninggalkanmu, Ayah. Pasangan hidup yang pernah dipilihnya. Lalu apa alasan Ibu mengajakku pergi bersamanya?!."
"Kau tahu, Nak. Seorang anak tidak pernah menjadi masa lalu bagi Ibunya. Berbeda dengan pasangannya yang kapan saja bisa saja berubah menjadi asing. Kau darah dagingnya. Tentu saja, kau adalah segalanya bagi Ibu."
"Itu tetap sama saja, Ayah, jika kau tidak ada, bagaimana aku bisa ada di tengah kalian." Ayah tersenyum, ia tahu bahwa putranya sedang belajar menikmati pahitnya kehidupan diumurnya yang cukup masih muda sekali.
"Ayah, ketika aku dewasa nanti. Aku akan menjadi orang yang sukses. Aku akan membahagiakanmu, selalu." Tutur Abimana kecil. Ayah tersenyum menahan keharuan atas ucapan putra kecilnya.
***
Setelah kepergian istrinya, kehidupan Banyu Gesang bersama putranya Abimana tidaklah kunjung membaik. Ia masih sibuk mencari botol-botol plastik untuk dijualnya demi keberlangsungan hidup keluarga kecilnya. Ia menghembuskan nafas kasar sesekali melihat ke arah langit.
Terdiam beberapa saat sambil berdoa agar umurnya panjang agar bisa membesarkan Abimana. Tanpa terasa air matanya jatuh kala melihat ada seorang Ayah dan putranya yang sedang bermain, putera yang besarnya sama persis sebesar Abimana.
Ia merasa sedih sekali untuk Abimana. Merasa gagal menjadi seorang Ayah, dan gagal untuk memberikan hal yang terbaik untuk Abimana, yang dimana itu memang harus dilakukan oleh seorang Ayah.
Ia melihat Ayah itu mengabulkan semua keinginan putranya tanpa harus memikirkan besok akan makan apa.
Saat akan melanjutkan pekerjaannya, Banyu Gesang dihampiri oleh mantan istrinya. Ia cukup terkejut dari mana mantan istrinya tahu keberadaannya saat ia tidak pernah memberitahukannya. Ia yakin, kedatangannya kali ini pun bukan untuk bermaksud baik-baik.
"Kau terkejut, bukan? Dari mana aku tahu tempat ini. Ayolah, Ayah Abi. Memangnya siapa orang di Desa ini yang tidak tahu, kamu si tukang cari botol bekas."
"Ada apa, Luna? Katakan saja, ada apa kamu kesini?" tanyanya pada mantan istrinya.
"Berikan Abi padaku. Atau jika tidak, aku akan membawa kasus ini pada Pengadilan, biar mereka yang mengurusnya." imbuhnya.
"Luna, tidak bisakah kamu membiarkan Abi padaku saja. Aku akan mengurusnya dengan baik." jelas Banyu Gesang.
"Mengurusnya katamu? Memangnya apa pekerjaanmu? Apakah kehidupanmu membaik? Tidak, kan?." ungkap Luna dengan mencecarnya dengan banyak pertanyaan yang menyudutkan.
"Dengar, Ayah Abi. Aku tidak egois memikirkan ini. Aku bahkan membiarkannya denganmu jika kamu adalah orang kaya. Tetapi kenyataannya adalah tidak." imbuhnya.
"Ia bahkan harus berhenti bersekolah dan membantumu melakukan pekerjaan ini. Apakah kamu pernah memikirkan kesehatannya! Tidak pernah, kan? Lalu apa masalahnya, aku akan menyekolahkannya dan mengurusnya dengan baik." lanjut Luna dengan nada penuh penghinaan.
Lelaki di dalam Mobil segera turun dan menghampiri mereka. Ia adalah suami kedua dari Luna. Ia menghampiri mereka dengan wajah yang tidak suka. Entah apa yang di pikirkannya, tetapi nampaknya ia tidak sabar untuk segera beranjak dari tempat kumuh dan kotor itu.
"Ada apa, Luna? Apa ia mempersulitmu?." tanyanya sesampainya disana. Ia melirik Banyu Gesang dengan tatapan merendahkan.
"Dengar, Banyu. Aku adalah orang yang cukup sibuk. Kamu membuang waktu kamu untuk berada disini. Aku tidak akan segan untuk melaporkanmu ke Polisi. Karena membuat anak kecil di bawah umur untuk bekerja secara paksa disini. Aku bahkan tidak ingin kesini jika Luna tidak memaksanya." terangnya angkuh dengan penuh ancaman.
"Apa maksudmu melaporkannya ke Polisi? Aku tidak memaksa Abi untuk bekerja. Aku tahu aku adalah seorang Ayah yang gagal dan miskin."
"Meski begitu, aku tetap ingin membahagiakannya hingga ia sukses." tambah Banyu menjelaskan.
"Kau sangat egois rupanya. Aku paham akan keinginanmu. Tapi bisakah kau melihat kenyataannya dulu? Abi tidak bahagia bersamamu. Itu hanya akan menghancurkan masa depannya!." Lanjut Ayah sambung dari Abi itu.
Setelah lelah membicarakannya dengan Banyu Gesang, mereka berdua memilih beranjak pergi dengan begitu kesalnya. Mereka bahkan memaki sesaat sebelum beranjak dari sana.
***
Hari-hari yang berlalu setelah hari itu, membuat Banyu Gesang memikirkan perkataan kedua-nya. Ia membenarkan tudingan itu, bahwa Abimana tidak bahagia bersamanya. Itu sama saja dengan menghancurkan masa depannya dengan sengaja.
"Ada apa, Ayah? Mengapa Ayah melamun, apa Ayah sakit?." tanya Abimana.
Ia menatap ke arah anaknya itu, kemudian menariknya secara paksa dengan sedikit menyeret ke arah belakang rumah. Ia sengaja bersikap kasar agar Abimana pergi dengan keinginannya sendiri.
Abi memintanya berhenti, namun ia tetap menariknya dengan paksa meski sebenarnya itu pun bertentangan dengan hatinya.
"Dengar, Abi. Pergilah pada Ibumu. Kamu sangat merepotkanku disini. Aku lelah harus bekerja keras demi menghidupimu dengan kenakalanmu ini." Bentaknya dengan keras.
Sungguh hatinya pun menangis sebab menjadi penyebab anaknya menangis seperti sekarang ini. Namun, menahan Abi hari ini, hanya akan membuat Abi kecil ini menangis di masa dewasanya nanti, ia tidak menghendaki demikian untuk putranya.
"Tidak, Ayah. Sungguh kamu kenapa? Apa Ayah sakit? Aku tidak akan nakal lagi." ujar Abi kecil sambil terisak.
Ia pergi meninggalkan putranya karena tidak ingin Abi melihatnya bersedih juga. Ia tidak sampai melakukan itu pada Abimana. Namun hidup Abimana akan tetap terus berlanjut.
"Maafkan Ayah, Nak. Maafkan Ayah miskinmu ini, Nak!. Ayah tidak bisa melakukan banyak hal denganmu, kecuali mengajakmu mencari botol."
"Ayah gagal, Nak. Maafkan Ayah. Tapi kau harus pergi menuju Ibumu. Ia menyediakan banyak mimpi dan akan membantumu mewujudkan mimpi itu. Sekali lagi maafkan Ayah, Nak." ujarnya sambil terisak sambil sesekali memukul ke arah dadanya menyalahkan ketidakmampuannya menyiapkan hidup yang nyaman. Ia terus terisak tak tertahan saat sendirian.
"Barangkali, Ayah terlalu berani memilikimu. Sedang kehidupan Ayah sendiri tidak jelas akan seperti apa kedepannya. Menahanmu, adalah membiarkan hari gelap menyeretmu menuju kegelapan tanpa setitik cahaya."
"Menyeretmu hingga tidak bisa melepaskan diri meski kau berontak ingin melarikan diri. Bagaimana bisa Ayah melakukan itu, Nak. Semoga kau bisa mengerti Ayah dan memaafkan ku, Nak."